Jumat, 31 Juli 2015


Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Peneliti ASEAN Studies Center UGM dan Aktif di Komunitas Muhammadiyah Muda Bulaksumur

Lima tahun silam,  Heru Prasetia menulis artikel menarik tentang Muhammadiyah di blog beliau. Judulnya "Saya dan Muhammadiyah". Tulisannya agak lama, memang, ditulis ketika Muhammadiyah menggelar Muktamar satu abadnya di Yogyakarta. 

Yang menarik, tulisan itu mengupas Muhammadiyah dari perspektif Nahdhatul Ulama, yang selama ini sering dianggap vis-a-vis dengan modernisme Muhammadiyah. Sehingga, lahir sebuah perspektif yang sangat berbeda dari tulisan-tulisan lain tentang Muhammadiyah.

Saya pun menjadi tertarik untuk membahas masalah ini dari sudut pandang sebaliknya –perspektif “Muhammadiyah” tentang NU. Tentu saja, dengan perspektif yang sangat subjektif. Saya lebih memilih menceritakan lewat jalur pengalaman, karena pengalaman-lah yang membentuk kearifan kita dalam menempuh kehidupan.
*****

Saya lahir di sebuah lingkungan Muhammadiyah yang kental di Kalimantan Selatan -sebuah daerah basis Nahdhatul Ulama di Kalimantan. Sebagai keluarga "Muhammadiyah", tentu saja lingkungan keluarga saya sangat menolak tradisi-tradisi yang "tidak diajarkan dalam Qur'an dan Sunnah", yang artinya jatuh pada TBC -Takhayul, Bid'ah, Churafat.

Dengan konstruksi dan didikan keluarga yang bersemangat keagamaan modernis tersebut, wajar jika kemudian saya tumbuh besar sebagai seorang yang memperjuangkan visi modernisme dalam keagamaan, yaitu bersikap kritis terhadap realitas umat.

Saya masih ingat betul, tulisan pertama yang saya tulis dan dipublikasikan ketika SD (walau hanya untuk level majalah dinding sekolah)  berjudul singkat: Bid'ah; tulisan tersebut mengupas perilaku yang mengada-ada dalam agama.

Ini adalah keresahan pertama saya terhadap realitas keagamaan yang dipengaruhi oleh pelbagai tradisi keagamaan yang saya persepsikan tidak sesuai dengan Qur'an dan Sunah, yang, tentu saja, sangat dipengaruhi oleh doktrin anti-TBC dari Muhammadiyah. Ketika itu, saya masih bersekolah di SD Muhammadiyah di daerah.

Lambat laun, saya masih memegang teguh pemikiran keagamaan modernis tersebut, walau saya kemudian pindah ke Sekolah Menengah Pertama. Di sana, semua guru agama berpaham keagamaan tradisionalis, atau sering disebut NU, yang dulu banyak saya kritik ketika SD. Tentu saja saya kemudian menjadi siswa yang cerewet, banyak tanya, baik ketika mata pelajaran Agama Islam atau pengajian agama yang dilakukan oleh sekolah tiap Jumat pagi.

Waktu itu, issue-issue keagamaan di masyarakat memang cukup kental mengupas fenomena-fenomena sepele dalam tajuk ibadah mahdhah. Masalah seperti Qunut, Tahlilan, Yasinan, Tarawih 23 raka'at, dan lain sebagainya sering berserimpung dengan aktivitas ibadah di masyarakat.

Perbincangan biasanya akan semakin "panas" jika bicara soal hari raya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa metode hisab dan rukyat yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan NU akan berbenturan ketika Idul Fitri atau Idul Adha. Pasalnya, yang menggunakan metodehisab pasti akan berhari raya terlebih dulu, asalkan hilal sudah lewat 0 derajat melalui hisab. Sementara NU mensyaratkan harus terlihat mata. Ini juga sering menjadi masalah yang agak pelik di masyarakat.

Perdebatan di tengah masyarakat yang muncul sederhana: kalangan NU mengatakan bahwa "ini amalan yang sudah dikerjakan oleh orang-orang tua dulu", sementara Muhammadiyah berkata "amalannya tidak ada dalilnya di Qur'an dan Sunnah". Jangan salah. Hal-hal seperti ini justru seringkali membawa riak-riak di tengah masyarakat antara kubu NU dan Muhammadiyah.

Di penghujung akhir SMP, saya mulai aktif di pengajian-pengajian Muhammadiyah meski belum terlalu sering, karena kesibukan ujian akhir nasional. Muhammadiyah di Banjarmasin identik dengan pengajian; tiap-tiap mesjid mesti punya agenda pengajian, dan itu dikoordinasikan di tingkatan daerah. Jadi, tiap mesjid punya agenda pengajian di hari yang berbeda. Saya mula-mula aktif di Mesjid Hasanuddin Majedie (yang punya pemahaman keagamaan segaris dengan Muhammadiyah) lalu ke Mesjid Al-Jihad, yang memang merupakan mesjid Muhammadiyah tulen.

Pada forum-forum pengajian itu, saya justru mendapatkan penguatan "ideologi" anti-TBC yang selama ini saya pegang teguh. Akan tetapi, pada forum pengajian itu, pembahasan mengenai hal-hal keagamaan dilakukan secara ilmiah, dengan mengupas dasar dan dalil yang ada, disertai argumentasi rasional. Hal ini membuka pintu masuk bagi saya untuk mengkaji masalah-masalah yang dulu saya kritik, secara lebih terbuka, dan membuka pikiran.

Pun ketika di masa SMA, saya masih aktif di forum-forum pengajian itu. Tapi seiring keaktifan, persepsi saya mengenai aktivitas keagamaan kaum "nahdhiyyin" mulai berubah menjadi lebih "ilmiah", alih-alih fanatik. Apalagi, di masa SMA ini saya juga bersentuhan dengan aktivitas kaum "harakah", dari Hizbut Tahrir, kemudian ke Tarbiyah yang sampai sekarang masih saya "sentuh". Dan tentu saja dengan beberapa kawan dan "guru" yang berlatar NU.

Kebetulan salah seorang kawan dekat saya adalah seorang nahdhiyyin tulen, pernah nyantri di pondok pesantren NU terkenal di Jawa Timur ketika SMP. Dengannya, saya banyak terlibat perdebatan, yang kadang-kadang juga geje; seputar masalah-masalah keagamaan. Dan ini menarik; dua perspektif yang cukup "fanatik" pada waktu itu bertemu, tapi secara fair terdiskusikan dalam beberapa kesempatan.

Meski demikian, perhatian saya ketika SMA ini lebih terfokus pada masalah-masalah organisasi. Saya waktu itu menjadi Ketua MPK di sekolah, yang sedikit-banyaknya tidak lagi berhadapan dengan problem-problem keagamaan, tetapi sosial. Misalnya, anggaran sekolah yang tidak transparan, dugaan korupsi, sampai pungutan yang tidak jelas -komersialisasi- atas nama biaya pendidikan. Jadi, tidak banyak lagi mengurusi problem di atas.

Di masyarakat saya juga memilih aktif di Angkatan Muda Mesjid Al-Jihad, sebuah organisasi remaja mesjid yang cukup dikenal di level Kota Banjarmasin. Keaktifan tersebut dilanjutkan bahkan ketika Pemuda Muhammadiyah Cabang diaktifkan kembali pada tahun 2007, menjelang Musyawarah Daerah yang juga saya ikuti ketika itu. Jadi, ketika SMA saya sudah menentukan pilihan keagamaan, walau juga di sisi lain aktif di kegiatan-kegiatan "harakah" yang waktu itu mendominasi SMA.

Di sini, gaya pandang saya soal "nahdhiyyin" menjadi lebih berbeda lagi; masalah-masalah paham keagamaan tetap menjadi isu yang krusial, tetapi aktivitas keduanya lebih sering dilakukan di ranah sosial. Membangun sekolah, membangun Rumah Sakit, membangun Universitas. Tentu dengan berbagai dinamika. Sehingga,  walau berbeda paham keagamaan, masyarakat, NU dan Muhammadiyah berada di aras yang sama dan, jika mau jujur, idealisme kebangsaan yang setara. Hanya basis komunal yang membedakan.

Pemahaman soal nahdhiyyin sedikit demi sedikit berkembang ketika saya menjalankan ibadah 'umrah di penghujung masa SMA. Umrah memberi saya insight baru soal agama, yang lebih terbuka, sebab di sana aktivitas keagamaan sangat beragam. Orang India melakukan shalat dengan gaya mazhab Hanafi mereka, orang-orang Syiah dengan ritual mereka yang khas ketika sa'i, dan lain sebagainya. Ketika umrah, saya seakan-akan dituntut untuk menerima pluralitas paham keagamaan, dalam ranah besar Islam.

Selepas SMA, saya melanjutkan studi di sebuah universitas yang cukup terkenal di Yogyakarta. Di sini, saya menemukan fenomena lain lagi. Di Yogyakarta, rupanya, semua mesjid dalam tatacara shalatnya lebih dekat ke Muhammadiyah. Saya sempat salah mendefinisikan mesjid dekat kontrakan sebagai mesjid Muhammadiyah, ternyata bukan. Jama'ahnya berlatar belakang afiliasi yang beragam. Tapi, tatacara shalatnya tidak berbeda.

Belakangan, saya semakin memahami bahwa persoalan Muhammadiyah-NU tidak menjadi masalah yang terlampau besar di sini. Relasi Muhammadiyah-NU begitu cair; tidak diiringi oleh nuansa-nuansa konflik, apalagi kekuasaan, seperti di Kalimantan Selatan. Justru, yang membuat saya agak terkejut, konflik yang terjadi adalah antara Muhammadiyah dan Tarbiyah, dua komunitas yang sebetulnya menjadi tempat persinggahan organisasional saya ketika SMA.

Ketika kuliah, pikiran saya soal Muhammadiyah-NU lambat laun terabaikan, melihat kondisi. Ketika kuliah, saya memang memilih untuk tidak aktif dalam kegiatan Muhammadiyah, terutama di kampus. Walaupun masih rajin mengikuti pengajian di beberapa tempat. Keaktifan saya justru lebih banyak di komunitas tarbiyah, walau di sana juga tidak jadi siapa-siapa, hanya sekadar menuntut ilmu. Apalagi, ketika kuliah saya semakin banyak "melahap" teks-teks keilmuan, baik dalam ilmu politik hingga filsafat. Ini semakin mempengaruhi mindset saya soal nahdhiyyin dan muhammadiyin.

Namun, dengan keterlibatan di "tempat lain" tersebut, saya justru menemukan banyak hikmah. Pemikiran yang semakin plural, tidak lagi memonopoli kebenaran hanya pada entitas tertentu, menjadi semakin kuat saya rasakan. Islam tidak lagi ditafsiri hanya dalam perspektif yang "tunggal", tetapi bisa jadi dipersilangkan hingga muncul pertemuan-pertemuan. Islam tidak lagi dibingkai hanya dalam kerangka ideologis, tetapi juga ontologis, yang mensyaratkan kita untuk berpikir.

Namun, harus diakui, kegalauan dan keterlibatan di banyak "tempat" itu kemudian menggeser cara pandang saya terhadap kaum Nahdhiyyin, yang dulu saya kritik banyak ketika sekolah. Pikiran saya semakin terbuka dengan pemikiran kawan-kawan yang berlatar Nahdhiyyin dan tampil sebagai intelektual kampus terkemuka. Apalagi saya berkenalan dengan post-tradisionalisme yang dipopulerkan oleh kawan-kawan PMII. Dari mereka saya belajar pemikiran kritis, yang mungkin hanya dapat saya temukan padanannya ketika kuliah.

Dan artinya, persepsi saya tentang Nahdhiyyin menjadi berubah secara drastis. Sikap oposisif dalam pemikiran menjadi mencair dalam beberapa hal tertentu. Ini membuktikan sebuah tesis yang sering saya pakai, sebetulnya: segala hal akan mengalami perubahan, kecuali perubahan itu sendiri.
 
*****

Muhammadiyah dan NU memang terbentang dalam sebuah jarak pemikiran yang berbeda. Di saat NU mengampanyekan kembali pada tradisi, Muhammadiyah menantangnya dengan pembaharuan (tajdid), kembali pada Qur'an dan Sunnah. Di saat NU berkata "tradisi harus dihormati", Muhammadiyah justru menjawab "tradisi yang tak sesuai dengan ajaran Islam, mesti dibersihkan". Dan seterusnya.

Tapi, pada ranah sosial, bentangan pemikiran itu menjadi terasa. Pengalaman saya menyatakan bahwa Nahdhiyyin dan Muhammadiyin boleh berbeda pendapat dalam hal keagamaan, tapi dalam soal sosial, tak ada alasan untuk memutus tali silaturrahim. Boleh-boleh saja jangkar modernisme Islam dilabuhkan oleh Muhammadiyah, tapi modernisme tersebut mesti berdialog dengan lokalitas; bersentuhan dengan tradisi yang telah lama hadir dalam tubuh umat Islam.

Bagi saya, Nahdhiyyin tetap menjadi sesuatu "yang lain". Tapi bukan berarti tak bisa disentuh. Nahdhiyyin mengajarkan pada kita untuk memperhatikan kebudayaan; tradisi. Oleh sebab itulah ia lahir menantang Muhammadiyah. Meski demikian, garis demarkasi antara agama dan budaya juga perlu diperhatikan. Tanpa garis demarkasi, yang terjadi ialah sinkretisme, perpaduan yang saling menenggalamkan antara budaya dan agama.

NU dan Muhammadiyah bukan sekadar entitas. Mereka adalah kebudayaan. Seseorang yang lahir dari kebudayaan, akan sulit melepaskan diri dari ikatannya yang kuat. Dan dari seorang warga nahdhiyyin saya belajar untuk tidak menenggelamkan habitus kebudayaan itu. Sebab, tanpanya, kita akan semakin jauh tereksklusi dari masyarakat. Padahal hidup bermasyarakat itu adalah sunnah (qudrat-iradat) Allah atas manusia di dunia ini. Dan sebagai konsekuensi logisnya, saya harus terjun ke masyarakat sebagai bagian dari keberbudayaan saya.

Relasi antara Muhammadiyah dan NU kini semakin mencair, terutama di Yogyakarta dan kota-kota besar yang dilabuhi oleh kapal globalisasi. Meski demikian, di daerah, masih ada banyak kegelisahan dan kerawanan sosial. Itulah sebabnya, dialog menjadi penting. Tanpa dialog, yang ada adalah eksklusi, sikap saling-menyalahkan, dan ujung-ujungnya ketegangan.

Kita tentu tak mengharapkan adanya konflik horisontal seperti terjadi di Timur Tengah, antara Sunni dan Syiah. Maka dari itu, warga NU dan Muhammadiyah harus bersikap terbuka satu sama lain. Begitu juga dengan aktivis-aktivis harakah itu. Jangan sampai kita semua jatuh pada kejumudan hanya karena monopoli kebenaran yang sebenarnya tak perlu.

"Al-Islam mahjuubun bil muslimiin", kata Syaikh Muhammad Abduh. Islam itu tertutup oleh umat Islam itu sendiri. Oleh sebab itu, pemahaman keagamaan yang universal dan transformatif perlu diarusutamakan. Tujuannya sederhana: agar Islam dipahami sebenar-benar sebagai diin, sebagai Islam, yang menerima pluralitas paham di dalamnya sebagai konsekuensi keberagaman.
 
*****

Membaca NU dari perspektif Muhammadiyah memang terasa sangat subjektif. Apalagi jika hanya berkaca dari pengalaman saya. Namun, saya menyadari, sepanjang perjalanan hidup saya, justru kedua organisasi ini yang mewarnai hidup dan memberi pijakan saya untuk bersikap.

Saya bisa jadi punya pemikiran yang sangat modern karena kuliah-kuliah yang saya ikuti. Akan tetapi, saya tidak bisa mengelak: saya dibesarkan dari kultur Muhammadiyah yang sangat kental dan bersentuhan dengan tradisi NU yang juga tak kalah kuat di Banjarmasin. Keduanya tidak serta merta harus kita pisahkan secara diametral, sehingga membuat kita menjadi Muhammadiyah jika menolak Nahdhiyyin. Kata seorang kawan, dalam hidup kita belajar. Dan dalam semangat pembelajaran hidup inilah, semangat untuk beragama secara kritis dapat dibentuk.

Selamat Bermuktamar, NU dan Muhammadiyah. Selamat mencerahkan bangsa Indonesia ke depan!

0 komentar: