Minggu, 28 Juni 2015



Oleh: 
Hafidz Arfandi
Alumni Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM dan Aktif di Komunitas Muhammadiyah Muda Bulaksumur

Metafora Gerakan Kyai Dahlan
Sosok KH. Ahmad Dahlan tidak bisa dilepaskan dari starting point hadirnya gerakan pembaharuan islam modernis di Indonesia. Kehadiranya telah memulai era pembaharuan islam yang berbasis pada kesadaran rasional spirirualistis atau salafy reformism. Kesadaran rasional spiritualistis merupakan pembauran dari dua komponen penting dalam penghayatan keberagamaan dimana menempatkan rasionalitas sebagai titik pijak pada upaya-upaya memperbaiki kondisi umat di berbagai bidang. Di sisi lain spiritualitas menjadi pijakan internal untuk mengembangkan kepribadian kolektif dan individual yang menekankan pada keutuhan ajaran tauhid. Keduanya berhasil memformulasikan satu dimensi keberagamaan yang berpijak pada nilai-nilai universal dalam ajaran islam sebagai sebuah etos kerja kemanusiaan dan peradaban.

Gerakan yang diperkenalkan Kyai Dahlan berpijak pada dua ranah strategis, pertama, pada ruang diskursus antara agama dan peran sosialnya. Dan, Kedua, praktis pembaharuan Muhammadiyah yang meletakan ajaran “pembaharuan replikatif” dalam praktik beragama. Diskursus agama dan peran sosial berhasil mengantarkan penyubliman nilai universal ajaran islam sebagai spirit etno-nasionalisme (spirit kemerdekaan otentik) pada zamanya. Penyubliman ini melahirkan adanya keinginan untuk meletakan kembali dasar-dasar tatanan masyarakat yang beradab pascakolonialisme. Hanya saja pilihan strategi yang diambil Kyai Dahlan bukanlah dengan model open confrontation, meminjam istilah Homi K. Bhabha, Kyai Dahlan memilih strategimimikri yang bermakna subversif terhadap orde kolonialisme.[1] Hal ini dilatarbelakangi perasaan optimistik Kyai Dahlan bahwa melalui Muhammadiyah, beliau berusaha membangun “ruang ketiga” yang berusaha melahirkan hibriditas dengan berusaha meletakan model-model pembaharuan dan kemajuan ala kolonialis. [2] Peniruan ini kemudian didomestifikasi dengan ide-ide pem-”beradaban ulang” yang sesuai dengan nilai ajaran islam.[3] Praktik ini terwujud dalam usaha pelayanan pendidikan dan kesehatan yang diberikan Muhammadiyah yang berusaha melawan sistem kasta “stratifikasi sosial” berbasis rasial yang diintroduksir oleh kebijakan kolonial. Selain itu, Muhammadiyah juga memperkenalkan tradisi organisasi modern untuk mengorganisir kekuatan pribumi dalam melakukan “self helping” sekaligus dengan menggandeng potensi sumber daya dari pihak kolonial.

Sosok Kyai Dahlan dalam pendekatan post-kolonial berusaha melawan ide diametral antara barat dan islam, sebaliknya menempatkan keduanya dalam satu ranah yang sekedar berkompetisi dalam diskusus
 tentang ide peradaban dalam masyarakat Hindia di kemudian hari.[4] Pelatakan dasar gagasan anti diametral inilah yang menjadikan ranah pembaharuan Muhammadiyah menjadi unik, Muhammadiyah tidak melihat kolonialisme sebagai sesuatu yang uniform dimana wataknya selalu jahat dan monolitik, namun, secara tegas menolak hegemoni kolonial yang mengintrodusir bahwa barat sebagai satu-satunya simbol kemajuan. Hegemoni kolonial ini telah secara sistematis meruntuhkan mental dan kepribadian merdeka di kalangan pribumi yang cenderung mengadopsi sekuleritas kebarat-baratan atasnama kemajuan.

Gagasan anti diametral ini juga berkonsekuensi pada upaya menabrak tradisi-tradisi pribumi yang disalahgunakan untuk mempertahankan status quodan feodalisme demi menjaga priveledge dan penguasaan sumber daya oleh sebagian para elit pribumi. Upaya Kyai Dahlan untuk menghapus berbagai tradisi kolektif pribumi yang cenderung pada pelestarian keserakahan atasnama supranatural menjadi landasan penting dimana “rational-spiritual” dihadapkan vis a vis dengan dua lawan sekaligus conservative pseudo spiritual (taqlid dan kolot)dan modernist secular.

Runtuhnya api pembaharuan agama
Sebagaimana dikatakan Fazlur Rahman (2000), bahwa gerakan modernis islam telah berhasil menempatkan islam dalam etos kerja kemanusiaan yang tinggi yang prestasinya belum terlampaui oleh gerakan-gerakan islam lainya di dunia. Pembaharuan berbasis modernitas telah mengantarkan fakta bahwa masyarakat yang cenderung bergerak maju akan terus membutuhkan instrumen-instrumen sosial yang adaptif untuk tatanan kehidupan sosialnya. Di sisi lain, kehadiran agama seharusnya menjadi pilar penting dalam menompang gerak kebudayaan manusia di setiap zamanya. Agama menjadi ruh bagi gerak evolusioner kebudayaan manusia yang dinamis dengan serangkaian ide universalnya. Salah satu keberhasilan gerakan Islam modern adalah menyelamatkan agama dari keterbelakangan dan menempatkanya pada posisi yang terhormat sebagai suprastruktur dari nilai-nilai rasional modern.

Belakangan  seiring dengan kelesuan pada gerakan-gerakan modernis Islam maka ada kecenderungan bangkitnya hegemoni revivalis islamisme yang selalu berpijak pada “imajinasi kemegahan sejarah peradaban Islam abad pertengahan” yang mengajarkan model primordial kolektif serta menganggap tafsir dirinya (kelompoknya) sebagai ajaran terbaik “khairu ummah” (paling sesuai dengan salafush shalih). Ajaranya juga selalu menghadirkan sentimen antagonistik terhadap seluruh kelompok yang diluar dirinya “the others” yang dianggap sebagai jelmaan musuh di masa lalu.

Gerakan-gerakan ini lahir dalam ruang keterbelakangan dan ketertindasan yang panjang yang melahirkan diskriminasi akibat adanya ketimpangan sosial, kemiskinan dan konflik-konflik yang berpijak pada sentimen rasial. Mereka dengan perasaan tertindas berusaha mengodifikasikan sebab-sebab keterbelakanganya melalui justifikasi sejarah masa lampau dan mereaktualisasikannya dalam konteks kekiniian dengan menihilkan berbagai dinamika sejarah. Sebagai sebuah politik identitas, mereka menempati posisi terhormat untuk berusaha merekonstruksi perlawanan fundamental dan upaya untuk bangkit. Hal ini menjadikan setiap upaya marginalisasi terhadap mereka atau kesengajaan untuk membatasi akses mereka menjadikan radikalisasinya semakin tumbuh. Sebagaimana dalam studi Muhammad Hafez, dalam Wictorowicz ((ed):2012) tentang lahirnya GIA di Aljazair. GIA yang merasa dimarginalkan dalam kontestasi politik demokratis memilih untuk melakukan pembunuhan massal yang irrational atasnama primordial kolektif dan sentimen politik

Sekulerisasi, bukan jawaban?
Dalam bukunya Sekulerisasi Ditinjau Kembali Norris dan Inglehart (2010) menunjukan dua fakta unik, pertama, bahwa sekulerisasi terus tumbuh di kalangan masyarakat-masyarakat modern khususnya di kalangan atas yang tidak memiliki rasa takut eksistensial “perasaan terancam”, di sisi lain agama terus berkembang dan diyakini oleh masyarakat-masyarakat yang secara sosial ekonomi berada di wilayah yang rentan baik karena kemiskinan, konflik bersenjata, maupun karena ketimpangan sosial yang eksis. Kedua, bahwa prediksi masa depan tentang peradaban agama akan tumbuh pesat seiring dengan pesatnya pertumbuhan demografis di negara-nonegara berkembang yang cenderung melahirkan ketakutan eksistensial, maupun pertumbuhan kelas marginal di negara-negara maju yang menyisakan ketimpangan sosial. Di sisi lain, mereka yang berperadaban sekuler modern cenderung memiliki pertumbuhan demografis yang melambat.

Analisis ini akan sangat menarik dicermati, dimana peradaban agama di masa depan akan cenderung bersinggungan dengan fakta pertentangan ekonomi politik dan pertarungan kelas-kelas sosial. Sebagaimana telah nampak di banyak negara Eropa misalnya, kecenderungan politik konservatif agama muncul seiring dengan pelambatan pertumbuhan ekonomi dan berdampak pada beban anggaran bagi negara kesejahteraan. Di Timur Tengah konflik agama terus bersinggungan dengan ruang politik rasial yang dipicu oleh ketimpangan antara suku yang kadang menganut aliran mazhab keagamaan yang berbeda “Sunni-Syiah” di Suriah, Iraq, Bahrain, Yaman, dll. Konflik-konflik tersebut seringkali memicu sentimen radikalisasi atasnama agama, sebagaiamana yang mulai terjadi di Eropa belakangan ini dimana banyak kalangan keturunan migran yang mulai terjebak pada “imajinasi radikalisme agama” dan “imajinasi abad pertengahan atau perang salib”.

Apakah persoalan ini akan selesai dengan sekulerisasi? Sekulerisasi terbukti tidak serta merta mampu memberikan ketentraman dan keadilan sosial yang diharapkan masyarakat dunia. Masyarakat dunia tetap memerlukan pluralitas agama dan budaya sehingga mereka memiliki ruang-ruang spiritual yang akan menopang tatanan kebudayaanya.

Menawarkan Ide Rational Spiritual
Ajaran Kyai Dahlan tentang doktrin rational spiritual atau Salafy Reformism memungkinkan jawaban yang cukup komprehensif untuk menyelesaikan persoalan dunia. Hal ini senada dengan apa yang dilakukan Paus franciscus XVI dengan berusaha mendamaikan konflik Kuba dan AS melalui pendekatan spiritual, budaya dan kemanusiaan pada dua negara menjadi contoh menarik bagaiamana menempatkan kembali agama bukan sebagai biang kerok pertikaian dan konflik antar ideologi, melainkan menjadi juru damai.

Bagi peradaban islam ada tiga “PR” besar, pertama, diperlukan upaya sesegera mungkin untuk mendamaikan konflik di kawasan Timur Tengah, Kedua, menyelesaikan masalah-masalah kemiskinan di sebagian besar negara berpenduduk muslim baik di Asia maupun Afrika. Ketiga, mengintroduksir lahirnya identitas muslim sebagai bagian integral dari citizen “warga suatu bangsa”.[5] Islam perlu dibaca kembali dalam formula-formula universalnya untuk mengedepankan “akhlaq” dan “adab” dalam ruang interaksi antar peradaban dan di internalnya untuk menyelesaikan ketegangan antar kelompok.

Penyelesaian konflik harus dimulai dengan menempatkan ruang rasional sebagai pijakan untuk merumuskan kesepahaman bersama. Di sisi lain agama yang diajarkan sebagai ideologi radikal harus disublimasi menjadi etos kerja kemanusiaan yang cenderung berpihak pada keadilan dan kemanusiaan tanpa sentimen-sentimen rasial dan agama.

Ajaran rational spiritual juga akan menjadi pendobrak untuk melawan conservative pseudo spiritual (taqlid dan kolot) yang mengajarkan hegemoni feodalisme atasnama agama. Pijakan teks-teks agama yang selama ini dijadikan landasan untuk membentuk sistem hirarkis yang melahirkan priveledgepara elit-elitnya dalam ruang ekonomi dan politik, rasanya perlu didobrak untuk mewujudkan masyarakat muslim yang egaliter dan berpijak pada nilai-nilai terbuka sebagai citizen. Selama ini pseudo-spiritualitas selalu dipaksakan untuk memobilisir sumber daya umat cenderung untuk dukung-mendukung dalam ruang politik bahkan sebagai instrumen untuk melegitimasi kekerasan sambil membangun sentimen politik identitas semu yang dilahirkan dari proses indoktrinasi kultural yang sistematis.

Masa depan peradaban dunia kini ada ditangan masyarakat beragama, merekalah yang kelak akan menentukan wajah dari dunia yang kita tinggali bersama, apakah menunjukan wajah indah penuh cinta kasih dan keselamatan, atau sebaliknya membawa kembali peradaban kita kembali ke era pertumpahan darah di abad pertengahan, tentunya ini menjadi refleksi untuk kita umat beragama dan menjadi “PR”, masihkah agama akan kita jadikan sarana legitimasi untuk merawat sentimen rasial dan konflik atau sebaliknya kita jadikan alat untuk merawat persaudaraan dan kemanusiaan,

Lakhaulawalaquwatta illa billah, kuntum khairu ummatin ukhrijatlinnasi tamuruna bil ma’ruf watanhauna anil munkar, wa tu minuna billah,,,

CATATAN AKHIR

[1] Konsep mimikri diletakan oleh dua pemikir post kolonial, Franzt Fanon (1961) dalam The Wretched of the earth dan Homi K. Bhabha (1994) The Location of Culture, keduanya menyoroti secara berbeda dimana Fanon lebih melihat mimikri sebagai wujud eksistensi penindasan kolonial yang memaksa bangsa terjajah mengikutinya sedangkan Baba, melihat mimikri sebagai sesuatu yang ambivalen dimana bangsa terjajah secara sadar ataupun tidak mengimitasi budaya kolonial tetapi memungkinkan adanya ruang subversif untuk mengintroduksir dirinya sendiri.  

[2] Ruang Ketiga digagas oleh Homi K. Bhabha (1994) dalam The Location of Culture sebagai ruang dimana antara kolonial dan pihak terjajah mungkin untuk berinteraksi secara emansipatoris dan menekankan humanitas untuk menciptakan pembauran budaya (hibriditas),

[3] adapun konsep pemberadaban ulang melalui reislamisasi ditawarkan oleh Naquib Al Attas (1993) dalam Islam and Secularism, wujud penolakan atas hegemoni kebudayaan kolonial yang berusaha mereduksi “adab” dari praktek kehidupan masyarakat koloninya yang dipraktekan melalui proses sekulerisasi.

[4] Counter hegemoni digagas oleh Edward W. Said (2006) dalam Orientalisme yang melihat bahwa proses emansipatoris dan humanisasi bangsa timur hanya bisa dilakukan dengan menjadikanya sebagai sebuah subjek yang berhak mendefinisikan dirinya,

[5] Gagasan terntang citizenship dan islam dilontarkan oleh Tariq Ramadhan (2004) dalam Western Muslim and The Future of Islam

1 komentar:

Anonim mengatakan...

New Vegas Casino Site - Choegocasino
Choegocasino Online Casino septcasino is a new gambling site that was established in 2016. It is currently operating with a total 바카라 사이트 of choegocasino 790 gaming machines