Jumat, 26 Juni 2015


Oleh: 
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Peneliti ASEAN Studies Center UGM dan Aktif di Komunitas Muhammadiyah Muda Bulaksumur

Pada tanggal 13-15 Juni 2015, persis di akhir pekan terakhir sebelum Ramadhan, Majalah Suara Muhammadiyah menggelar sebuah 'gebrakan': Muhammadiyah Expo. Tidak biasanya, acara ini digelar di Jogja City Mall, tepat di pusat keramaian kota Yogyakarta. Selama 2 hari, Muhammadiyah menggelar aneka Talk Show dan expo beberapa produk amal usaha yang ada di kota Yogyakarta.

Menurut catatan Fadel Basrianto, ada semacam perdebatan di kalangan internal Muhammadiyah terkait dengan pemilihan tema dan, terutama, tempat acara ini. Tidak biasa, memang, Muhammadiyah menggelar acaranya di Mall. Biasanya, Muhammadiyah menggunakan fasilitas amal usaha semacam Kampus, PKU, atau sekolah. Terkadang dengan melakukan pawai atau karnaval. Oleh sebab itu, aktivitas semacam Muhammadiyah Expo ini bisa dibilang semacam 'dobrakan' atau, meminjam bahasa Fadel,testing the water.

Apakah aktivitas semacam ini keliru? Dalam artikelnya di Muhammadiyah Bulaksumur,Fadel menutup tulisannya dengan sebuah optimisme, bahwa Muhammadiyah harus terus menggalakkan dan memasifkan acara semacam ini. Alasannya, biar Muhammadiyah bisa merangkul kembali kaum kelas menengah relijius yang menjauh dari ormas Islam sembari tetap menjaga basis jamaah persyarikatan untuk menghasilkan kebermanfaatan yang lebih besar.

Analisis Fadel menarik, namun memicu sebuah pertanyaan lanjutan: jika Muhammadiyah perlu 'merangkul' massa kelas menengah muslim yang menjauh dari ormas Islam semacam Muhammadiyah atau NU, model gerakan semacam apa yang perlu dilakukan? Apakah terbatas hanya dalam bentuk expo di Mall atau bisa diduplikasi dalam model-model yang lain? 

Muhammadiyah dan "Ruang Publik"
Dalam tulisannya, The Structural Transformation of Public Sphere, Jurgen Habermas memperlihatkan munculnya kontribusi penting 'ruang publik' (public sphere) dalam transformasi masyarakat Eropa. Menurut Habermas, proses yang kerap disebut 'modernisasi' di kalangan masyarakat Eropa itu tercipta justru oleh peran penting kelompok-kelompok jurnalisme politik, salon, Kafe, dan arena-arena dimana orang bisa berkomunikasi dan menggagas hal-hal baru yang tidak terpikirkan di dalam konteks masyarakat Eropa yang mengalami transisi. Tentu Ruang Publik tidak terbatas dengan hal-hal borjuis semacam itu: Habermas mencatat adanya 'tindakan komunikatif' yang memungkinkan ruang publik tersebut terbuka di masyarakat. 

Ruang publik vital dalam proses 'modernisasi' dan sebetulnya juga pernah menyelip dalam sejarah Indonesia. Muhammadiyah pertama kali tampil ke hadapan masyarakat Indonesia dengan mendobrak ruang-ruang publik ini. Di awal-awal kemunculannya di Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan membuka sekolah-sekolah, yang tadinya hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan para priyayi, kepada rakyat biasa. Muhammadiyah mencoba membuka kanal publik dengan menjadikan pendidikan agama inklusif, terbuka untuk semua kalangan. 

Di sisi jurnalisme, Muhammadiyah menceburkan diri pada penerbitan-penerbitan alternatif pada masa itu dengan menerbitkan Suara Muhammadiyah -majalah yang hingga kini sudah berusia satu abad. Menariknya, Suara Muhammadiyah pula yang mendobrak aktivitas Muhammadiyah Expo dengan menggelarnya di Mall. Di kalangan elit priyayi, Kyai Dahlan masuk sebagai Ketua Bidang Kerohanian Boedi Oetomo, organisasi yang kerap diidentikkan dengan kejawen dan priyayi Jawa. Di kalangan masyarakat yang secara ekonomi marjinal, Muhammadiyah membuka PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) dan pelbagai panti asuhan untuk menampung anak-anak yatim dan piatu. 

Pendek kata, jika diperhatikan, semangat Muhammadiyah di awal pendiriannya sangat erat dengan semangat untuk membuka 'ruang publik'. Tentu, dengan membuka fasilitas-fasilitas umum semacam Rumah Sakit, Sekolah, organisasi, hingga yang kemudian institusi pendidikan tinggi, Muhammadiyah mencoba untuk menjadi modernizing agent di Indonesia. ini tentu tak terlepas, mengingat Kyai Dahlan sejak awal bercita-cita untuk membangun perspektif Islam yang 'berkemajuan'.

Kyai Dahlan dan murid-muridnya seperti Kyai Fakhruddin atau Ki Bagus Hadikusumo paham betul apa konsekuensi membangun 'Islam Berkemajuan' ini; Muhammadiyah harus tampil ke publik. Oleh sebab itulah, kita bisa memahami mengapa Kyai Dahlan harus bersusah payah membangun kontak dengan Boedi Oetomo, dan Kyai Fakhruddin kemudian bergerak melalui penerbitan semacam Islam Bergerak atau Medan Moeslimin(ya, Hadji Fakhruddin adalah Wakil Hadji Misbach yang terkenal dengan gagasan-gagasan Islam yang progresif itu), dan Ki Bagus Hadikusumo terjun ke jalur politik. 

Namun, seiring dengan perjalanan waktu, modernizing agent ini bertambah banyak. Di politik muncul Masyumi. Di wilayah ekonomi, berkembang institusi-insitusi keuangan syariah. Lalu perkembangannya, berkembang fashion Islami dan ragam skema bisnisnya di alam kapitalisme yang berkembang tahun 1970-an. Lalu muncul gerakan-gerakan yang lebih muda semacam Tarbiyah atau Hizb Tahrir yang berdakwah di sekolah-sekolah. Sementara itu, Muhammadiyah mapan dengan berbagai amal usahanya dan di kemudian hari 'terlokalisir' ke dalam wadah-wadah organisasional yang kompleks. Ya, sebagai organisasi besar, wajar jika Muhammadiyah disibukkan dengan dirinya sendiri.

Tetapi ada satu fakta juga yang sulit disangkal: berkembangnya kelas menengah baru yang merupakan bagian dari proses modernisasi lanjutan. Tahun 1980an adalah era yang disebut-sebut sebagai ahli ekonomi politik internasional sebagai 'post-fordisme', dimana orang mulai berproduksi dengan marketing dan jasa. Kelas entrepreneur mulai tumbuh dari sini, berdampingan dengan kelas profesional yang sudah bertumbuh sejak sebelumnya. Di kalangan anak muda, orientasi mulai bergeser dari aspirasi-aspirasi massa menjadi aspirasi bisnis atau profesi.

Mungkin, dari sinilah Fadel mengatakan bahwa 'kelas menengah' mulai menjauhi organisasi-organisasi massa keagamaan, karena bisa jadi pencapaian diri mereka tidak lagi didapatkan melalui ormas keagamaan, tetapi justru lewat organisasi profesi atau dunia kerja. 

Oleh sebab itu, hal yang susah dibantah adalah bahwa di luar aktivitas-aktivitas organisasionalnya yang luar biasa progresif (seperti "Jihad Konstitusi", MDMC, atau Universitas), Muhammadiyah seperti 'kehilangan momentum' di sisi-sisi kelas menengah baru ini. Di sisi lain, Muhammadiyah juga harus menghidupi Cabang dan Rantingnya yang kompleks. Akibatnya, karena aktivitas organisasional ditambah basis massa 'tradisional'-nya yang banyak itu, intensitas gerakan publik Muhammadiyah mulai sedikit demi sedikit berkurang. Peran publik Muhammadiyah di kalangan 'kelas menengah baru' ini sedikit demi sedikit digantikan oleh gerakan-gerakan yang lebih muda semacam Tarbiyah atau Salafi yang menawarkan 'spiritualitas' di tengah kehidupan perkotaan yang gersang.

Salah satu manifestasi dari masalah ini dapat kita lihat pada konflik yang mengemuka antara Muhammadiyah dan Gerakan Tarbiyah di pertengahan 2000an. Sebetulnya, jika kita telaah secara lebih seksama, masalah terletak di perebutan ruang publik yang sedikit demi sedikit mulai masuk merebut massa-massa kelas menengah baru Muhammadiyah.

Gerakan Publik Baru
Maka dari itu, aktivitas semacam Muhammadiyah Expo atau Muhammadiyah Goes to Mallini dapat kita lihat sebagai sesuatu yang positif untuk membangkitkan kembali 'gerakan publik Muhammadiyah'. Sasarannya adalah kelas menengah baru yang bisa jadi akar biologisnya adalah Muhammadiyah namun tercerabut dari kemuhammadiyahan karena proses modernisasi. Namun, tentu saja dengan tidak mengesampingkan aset-aset Muhammadiyah yang sudah ada selama ini. 

Mengapa merangkul kelas menengah baru ini penting? Saya mengajukan dua alasan: potensi SDM yang luar biasa dan bisa jadi, mereka lahir dari kultur dan subkultur Muhammadiyah. Sejauh pengamatan saya ketika menghadiri penutupan Muhammadiyah Expo, banyak pengunjung Mall yang sebetulnya tahu dengan Muhammadiyah (ini obrolan yang sempat saya dengarkan ketika menonton pidato Dien Syamsuddin dari lantai 2). Bisa jadi, mereka adalah putera-puteri Muhammadiyah juga. Namun, proses modernisasi mengantarkan mereka jauh dari persyarikatan. Acara semacam Muhammadiyah Goes to Mall ini bisa merekatkan kembali jarak yang tercipta antara mereka dan persyarikatan.

Dan tentu saja kiprah 'Gerakan Publik Muhammadiyah' ini diperluas tidak hanya di Mall,tetapi juga infrastruktur modernitas yang lain. Ini penting karena sejatinya, sebagaimana sering didengung-dengungkan, Muhammadiyah adalah gerakan modernis! Mungkin, ada kalanya Muhammadiyah menggelar aktivitas di Kafe, Angkringan, atau tempat-tempat nongkrong anak muda. Atau mungkin dengan memanfaatkan teknologi informasi dan membangun startup. Bisa juga, gerakan publik ini diarahkan ke Mesjid-Mesjid Kampus (yang sekarang sudah sering sekali digunakan sebagai konsolidasi gerakan Islam lain), SMA, atau arena-arena publik keagamaan lain. Sebab, di sinilah pijakan Muhammadiyah terasa minim.

Muhammadiyah tidak kekurangan aset. Ada banyak orang cerdas di Muhammadiyah (karena tentu saja Muhammadiyah punya banyak Universitas). Muhammadiyah juga tidak kekurangan tokoh. Yang diperlukan mungkin adalah kreativitas untuk mampu merangkul semua kalangan di dalam Persyarikatan. Sembari, di saat yang bersamaan, mengokohkan fondasi ideologis ke-Muhammadiyah-an untuk bisa diterjemahkan ke ruang publik.

Di sinilah tantangannya. Mampukah Muhammadiyah mentransformasikan cita-cita ideologis, sebagaimana sering ditulis dan diceramahkan oleh Dr. Haedar Nashir, misalnya, ke dalam strategi untuk merangkul anak-anak muda Muhammadiyah ini?

Maka dari itu, kembali pada konteks Muhammadiyah Goes to Mall, saya sepakat dengan Fadel bahwa aktivitas semacam ini perlu dirutinkan dan dimasifkan. Tentu dengan 'bentuk' yang bervariasi. Pada intinya, kreativitas dan kemampuan membaca zeitgeist -jiwa zaman- menjadi hal yang perlu dibangkitkan kembali di dalam diri Persyarikatan. Langkah menuju ke arah sana sudah dibuka oleh Suara Muhammadiyah. Dobrakan-dobrakan yang lebih progresif akan senantiasa kita nantikan ke depan.

Nashrun minallah wa fathun qariib. 

Catatan
1. Tulisan Fadel Basrianto tersebut bisa dibaca di laman Muhammadiyah Bulaksumur,"Muhammadiyah Goes to Mall: Tepatkah?" lihat http://muhammadiyahbulaksumur.blogspot.com/2015/06/muhammadiyah-goes-to-mall-tepatkah.html

0 komentar: