Selasa, 14 April 2015


Oleh: Fadel Basrianto
Mahsiswa Jurusan Politik Pemerintahan UGM dan aktif di Komunitas Muhammadiyah Muda Bulaksumur

12 April 2015 adalah hari dimana puncak rangkaian acara peringatan Harlah PPP ke-42 digelar. Mulai pagi hingga sore hari masyarakat Yogya cukup dibuat tidak tenang oleh suara-suara knalpot khas kampanye konvensional. Acara puncak harlah yang diselenggarakan oleh DPW PPP DIY bertujuan untuk menegaskan dukungan DPW PPP DIY kepada Djan Faridz sebagai ketua umum PPP. Seperti diketahui publik, PPP saat ini sedang mengalami perpecahan dengan dua kutub utama yakni Kubu Romi dan Kubu Djan Faridz.

Namun, bagi saya hal tersebut tidak lebih menarik dibanding kemampuan dan kamauan PPP yang berani “mengkooptasi” kelompok-kelompok informal seperti penjaga keamanan pasar, petugas  parkir, dan pekerja sektor informal lainnya untuk menjadi basis resmi PPP ditengah merebaknya fenomena catch all party yang mensyaratkan kesantunan berpolitik, mempunyai visi kebangsaan, inklusif dan hal indah lainnya yang enak untuk didengar.

Peringatan Harlah PPP yang dipusatkan di Stadion Kridosono ini mengumpulkan puluhan atau bahkan ratusan laskar-laskar PPP se-DIY dan beberapa dari kota lain yang total anggotanya berjumlah ribuan orang. Massa Joxin, Laskar Suara Jihad, Hamka Darwis, GPK Kota, dll berkonvoi mengelilingi kota dari markasnya masing-masing menuju Stadion Kridosono. Mereka datang ke Kridosono untuk mendengarkan orasi dari Syukri Fadoli (Ketua DPW PPP DIY) dan Dja’far Alkatiri (DPP PPP). Kedua tokoh PPP tersebut memuji atas militansi pemuda Islam yang mencintai dan memperjuangkan PPP didaerahnya. Bahkan menurut Dja’far yang mengaku telah mengelilingi Indonesia mengatakan bahwa baru di Yogyakarta, ia menemukan dukungan yang luar biasa hebatnya dari pemuda untuk PPP.

Publik telah mengenal para pemuda yang memakai sorban saat berkampanye dan kadangkala ada tato di lengan tangannya bukanlah pendukung karbitan. Mereka benar-benar menjadi pendukung PPP yang militan. Hal tersebut tidak bisa lepas dari ketergantungan mereka dengan elite-elite PPP akan pekerjaan informal yang mereka jalani saat ini. Dalam berpartai, kedudukan mereka sejajar dengan pendukung partai lainnya seperti pendukung Golkar yang berstatus PNS maupun pendukung PKS yang masih berstatus mahasiswa. Namun, pekerjaan mereka yang menurut norma umum “tidak terhormat” menjadikan mereka dalam kegiatan berpartai dipandang sinis oleh masyarakat.

Dalam peringatan harlah yang ke-42, mereka keluar dari kegiatan politik keseharian yang mereka jalani seperti menjadi penjaga keamanan pasar, petugas parkir, kernet bus ,dll yang mereka lakukan tanpa menggunakan atribut partai. Hari ini mereka muncul ke permukaan secara tegas “menghijaukan” jalanan Yogyakarta. Dengan membawa atribut partai seperti bendera partai, bendera laskar, dan aksesoris pendukung lainnya secara cepat mereka memperlihatkan kepada kita bahwa mereka merupakan pendukung real PPP. Saya yakin, sekalipun perilaku mereka tidak menunjukkan kesopanan, intensitas hujatan kepada mereka akan lebih tinggi ketika mereka menggunakan atribut partai ketimbang saat mereka menjalani aktivitas sehari-hari. Kemunculan mereka dari under cover Yogya ke permukaan setidaknya memberikan signal kepada kita akan eksistensi mereka baik secara informal maupun diwilayah formal yang perlu kita rasakan.

Terakhir, saya ucapkan selamat hari lahir yang ke-42 PPP. Melihat riuhnya Yogya pada hari ini memperlihatkan para aktor politik informal masih memberikan dukungan mereka dan bersetia kepadamu. Tinggal bagaimana caramu untuk mendidik mereka untuk berpartai yang tak sekedar mementingkan jumlah suara, lebih jauh tentang etik yang perlu dijaga dan dipertahankan.

Yogyakarta, 12 April

0 komentar: