Jumat, 21 November 2014


Oleh: Kuntowijoyo

Kuntum khairo ummatin ukhrijat linnaasi ta’muruuna bil ma’ruuf wa tanhauna ‘anil munkar wa tu’minuuna billahi. 

Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah (Ali ‘Imran, 3:110).
Ada empat hal yang tersirat dalam konsep di atas, yaitu (1) konsep tentang  ummat yang terbaik, (2) aktivisne sejarah, (3) pentingnya kesadaran, dan (4) etika profetik.  Pertama, konsep tentang ummat terbaik (the  chosen people). Ummat Islam menjadi ummat terbaik (khaira ummah) dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebut dalam ayat itu; ummat Islam tidak secara otomatis menjadi the chosen people.
Ini tentu saja berbeda dengan konsep the chosen people dari Yudaisme, sebuah mandat kosong yang menyebabkan rasialisme. Sama-sama konsep tentang the chosen people, tapi Yudaisme menyebabkan  rasialisme, sedangkan konsep tentang ummat terbaik dalam Islam justru berupa sebuah tantangan untuk bekerja  lebih keras ke arah aktivisme sejarah.
Kedua, aktivisme sejarah. Bekerja di tengah-tengah manusia  (ukhrijat linnas) berarti bahwa yang ideal bagi Islam ialah keterlibatan ummat dalam  sejarah. Wadat (tidak kawin), uzlah (mengasingkan diri), dan kerahiban tidak dibenarkan. Demikian pula gerakan mistik yang berlebihan (ngungkurake kadonyan) bukanlah kehendak Islam, karena Islam adalah agama amal.
Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai ilahiyah (ma’ruf, munkar, iman) menjadi tumpuan aktivisme Islam. Peranan kesadaran ini membedakan etika Islam dari etika  materialistis. Pandangan kaum Marxis bahwa superstruktur(kesadaran) ditentukan oleh struktur (basis sosial/kondisi material) bertentangan dengan pandangan Islam tentang independensi kesadaran. Demikian pula pandangan yang selalu mengembalikan  pada individu (individualisme, eksistensialisme, liberalisme, kapitalisme) bertentangan dengan Islam, karena yang menentukan bentuk kesadaran bukan individu tetapi Tuhan. Demikian juga segala bentuk sekularisme, bertentangan dengan kesadaran ilahiyah.
Keempat, etika profetik. Ayat ini berlaku umum untuk siapa saja, baik individu (orang awam, ahli, super ahli) lembaga (ilmu, universitas, ormas, orsospol), maupun kolektivitas (jama’ah, ummat, kelompok masyarakat). Ilmu, sebagai pelembagaan dari pengalaman, penelitian dan pengetahuan , diharuskan melaksanakan ayat ini, yaitu amar ma’ruf (menyuruh kebaikan), nahi munkar (mencegah kejelekan), tu’minuna billah  (beriman kepada Allah). Ketiganya adalah unsur yang tidak terpisahkan dari Ilmu Sosial Profetik.

Ilmu Sosial Profetik harus merupakan gerakan yang sadar, yang buahnya akan dipetik dalam waktu lama. Di bawah dominasi ilmu-ilmu  sosial empiris-analitis Ilmu  Sosial profetik memang tidak akan populer. Mungkin melalui semacam “gerilya intelektual”, mirip dengan gerakan intelektual under ground dari sosiologi akademis di Uni Sovyet waktu negeri itu masih di bawah dominasi Marxisme ortodoks. Kalau gerakan intelektual bawah tanah di Uni Sovyet hambatannya fisikal, maka gerakan Ilmu Sosial Profetik hambatannya akan lebih bersifat mental, rasa rendah diri  intelektual.

Ilmu Sosial Akademis.
Dominasi pemikiran mengenai sistem di Amerika, sangat terasa pada PD 1 dan PD II. Setelah dalam PD I negeri itu keluar sebagai pemenang, Amerika menjadi sangat optimis dengan sistemnya, maka timbulah fungsionalisme dalam sosiologi. Optimisme akan “sistem Amerika” itu bertambah setelah Amerika juga menjadi pemenang PD II. Fungsionalisme dianggap sebagai satu-satunya ilmu sosial yang akademis, obyektif dan empiris.

Di Indonesia sendiri Fungsionalisme sangat populer pada era pasca -1965. Terutama setelah orde baru dikukuhkan, nama Talcott Parsons begitu dikenal akademisi Indonesia dan -sadar atau tidak- kita banyak mempraktekkan teori fungsionalisme dalam politik. Fungsionalisme sangat menekankan sistem, ekualibrium, adaptasi maintenance, dan latency. Sehingga ia nampak konservatif. Kecenderungan sistem itu adalah ideologi kaum borjuis.

Fungsionalisme berjasa besar dalam mengantarkan Amerika menuju welfare state. Namun tidak urung muncul  juga kritik terhadap fungsionalisme. Kritik itu diantaranya datang dari gerakan intelektual  The New Left pada akhir 1960-an yang merupakan kritik terhadap konservatisme kaum fungsionalis, karena tidak menekankan perubahan dan transformasi. The new left banyak dipengaruhi oleh Critical Theory dari Mazhab Frankfurt, suatu varian dari Marxisme Eropa. Sosiologi akademis juga bersifat elitis, terjerat pada profesionalisme organisasi, terikat pada lembaga-lembaga yang  mapan, dan hanya menjalankan tugas yang sudah rutin. Sebagai jalan keluar, Alvin W. Gouldner mengemukakan perlunya Reflexive Sociology (Alvin W Gouldner, The Coming Crisis of Western Sociology, 1970).

Keinginan akan ilmu-ilmu sosial yang lebih tanggap terhadap terhadap kebutuhan objek  penelitian rupanya sudah menjadi gejala umum. Fungsionalisme terlalu murni dan abstrak, sehingga analisis-analisis sosialnya mempunyai kaitan yang sangat rendah dengan masyarakat. Sosiologi akademis ternyata tidak value free sebagaimana diklaim oleh kaum fungsionalis, tetapi tetap berpihak.

Memilih  teori, pengumpulan data, klasifikasi data, dan intepretasi atas fakta, semuanya ternyata merupakan ketidakbebasan. Laporan-laporan sosiologi di Amerika berpihak kepada yang kuat. Misalnya berpihak kepada mayoritas orang kulit putih, tidak kepada kulit hitam. Netralitas ilmu sosial empiris-analitis patut diragukan. Ilmu sosial empiris-analitis  selalu memprodusir ilmu-ilmu yang nomologis, memerangkan saja tanpa mengandung nilai moral mengenai tujuan.

Michael Root dalam Philosophy of Social Science (1993) membedakan dua jenis  ilmu sosial, yaitu liberal dan perfeksionis. Disebut liberal, karena tidak berusaha mempromosikan satu cita-cita sosial, nilai kebajikan tertentu. Asal-ususl dari gagasan liberal dalam ilmu sosial ialah liberalisme dalam politik. Sebagai doktrin politik, liberalisme  dapat berjalan baik, tetapi liberalisme tidak pernah berlaku sebagai diharapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Mungkin dalam tingkat individual, penelitinya, ada usaha ke arah netralisme, tetapi itu tak pernah terjadi pada tingkat institusional.

Ilmu sosial perfeksionis,  sebaliknya, berusaha menjadi wahana dari cita-cita mengenai kebajikan, jadi ilmu yang partisan. Kalau ilmu sosial liberal berusaha netral  terhadap obyek penelitiannya  dengan menjadikannya sebagai obyek semata-mata, maka ilmu sosial perfeksionis justru  menghargai pandangan obyek penelitian, menjadikannya sebagai subyek. Ilmu sosial perfeksionis bersifat partisan, tidak value - netral.

Data yang baik dalam pandangan cita-cita liberal ialah yang bebas dari muatan nilai, moral dan kebajikan obyek penelitiannya. Akan tetapi, hal ini tidak pernah terjadi walaupun penelitinya telah berusaha keras. Reliabilitas (kebisa dipercaya)  dan validitas (keberlakuan) data yang terkumpul adalah yang sesuai dengan pandangan peneliti. Interview, mislanya, disusun menurut pandangan peneliti, menurut kerangka teoritis peneliti.

Contoh dari perfeksionalisme dalam ilmu sosial adalah Marxisme dan feminisme. Marxisme mencita-citakan masyarakat tanpa kelas, dan Feminisme masyarakat tanpa eksploitasi seksual. Keduanya mempunyai persamaan, yaitu antiekspoitasi dan antidominasi. Marxisme anti borjuasi, Feminisme anti laki-laki. Marxisme berjuang untuk kalangan buruh,  Feminisme berjuang untuk kaum perempuan. Contoh ini dapat ditambah dengan Freudianisme  yang mencita-citakan dunia tanpa tekanan jiwa, termasuk tekanan yang berupa agama, yang disebutnya sebagai ilusi. Ini hampir sama dengan  Marxisme yang menyebut kesadaran agama sebagai false consciousness. Marxisme, Freudianisme dan Feminisme sekarang mempunyai tempat yang terhormat dalam ilmu sosial, meskipun ketiganya termasuk perfeksionis.

Root (1993) mengususlkan untuk mengganti cita-cita liberal dengan perfeksionisme, yang communitarian, ilmu sosial yang memperhatikan nilai-nilai pada sebuah obyek penelitian, komunitas. Sementara Marxisme, Freudianisme dan Feminisme jelas cita-cita akhirnya –jadi juga perfeksionis— namun ketiganya mengandung teori yang deterministis. Marxisme mengandung determinisme ekonomis, Freudianisme determinisme biologis dan Feminisme determinisme sexual.

Masyarakat demokratis yang sebenar-benarnya ialah yang menyerahkan segala urusan pada komunitas yang bersangkutan. untuk keperluan itu Root mengusulkan yang paling cocok bagi ilmu  yang communitarian ialah ilmu-ilmu sosial jenis Participatory Research, bukan ilmu-ilmu sosial empiris analitis dan juga bukan ilmu-ilmu sosial terapan. Dengan demikian, kaitan antara yang mensuplai data dengan penggunaan penemuan tinggi.

Kritik-kritik terhadap ilmu sosial akademis (value free, empiris analitis, liberal) semuanya menunjuk kepada ilmu yang memperhatikan nilai (perfeksionis, berpihak) . Diusulkannya ilmu-ilmu yang communitarian  ialah supaya demokrasi benar-benar terwujud. Maka sebuah  ilmu yang mengandung nilai-nilai Islam dan berpihak kepada ummat adalah sah sebagai ilmu.

Prospek ilmu sosial profetik di masa datang  rupanya didukung oleh maraknya peradaban post modernisme. Seperti diketahui dunia modern dimulai dengan renaissance, suatu peradabanbaru yang mencoba keluar dari Abad Pertengahan. Ciri dari modernitas ialah antroposentrisme, semangat yang  menghargai nilai-nilai yang dibangun manusia sendiri, sebagai lawan dari teosentrisme Abad Petengahan, waktu orang mengunggulkan wahyu sebagai satu-satunya kebenaran.

Maka modernisme juga berarti differentiation (pemisahan). Pemisahan yang jelas ialah antara agama dengan ekonomi, agama dengan politik, dan agama dengan ilmu. Post modernisme menolak pemisahan semacam itu, karena salah sati dari post modernisme ialah de-differentiation (Scott Lash, Sociology of Post Modernisme, 1990:11-15; ia tidak  menyebut secara khusus pemisahan/penggabungan agama dan dunia). Kalau karakterisasi post modernisme itu benar, maka sebuah ilmu yang tidak memisahkan antara  agama dan ilmu  tentu akan akan mendapat tempat terhormat di masa datang. Desekularisasi akan memperoleh momentum untuk kembali ke peradaban.

Ilmu Sosial Profetik juga mempunyai peluang sebagai paradigma baru. Marxisme menawarkan paradigma baru dengan kaidahnya mengenai structure (basis material) dan superstruktur (kesadaran), dengan menyatakan bahwa struktur menentukan superstruktur. Kedudukan ekonomi ini menentukan kesadaran. Feminisme yang banyak dipengaruhi oleh Marxisme mengatakan bahwa seks itu menentukan kesadaran.

Ilmu Sosial Profetik membalikan rumusan itu dengan meletakkan kesadaran (superstructure) di atas basis sosial (structure), Marxisme dijungkirbalikkan. Ini akan begitu banyak pengaruhnya pada ilmu sosial  dan humaniora. Dengan cara ini Ilmu Sosial Profetik berkesempatan menjadi bagian dari sejarah pemikiran (barat). Pemikiran dalam filsafat ilmu sosial, dan humaniora adalah perdebatan antara idealisme dengan materialisme, anatara Hegelianisme dengan Marxisme, dan antara Eksistensialisme dengan Sosiologisme. Emile Durkheim yang menghargai agama dengan menjadikan collective sentiment sebagai dasar social action dapat menjadi langkah pertama menuju integrasi dengan sosiologi barat.

Asal-usul dari pikiran tentang Ilmu Sosial Profetik itu dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy. Dalam buku Membangun Kembali Pikiran Islam  dalam Islam (Iqbal, 1966:123) Iqbal mengungkapkan kembali kata-kata seorang sufi bahwa Nabi Muhammad SAW telah sampai ke tempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli mistik, tetapi ia kembali ke dunia untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya. Pengalaman keagaan yang luar biasa itu tidak mampu menggoda Nabi untuk berhenti. Akan tetapi, ia menjadikannya sebagai kekuatan psikologis untuk mengubah kemanusiaan.

Dengan kata lain, pengalaman religius itu justru menjadi dasar keterlibatannya dalam sejarah, sebuah aktivisme sejarah. Sunnah nabi berbeda dengan seorang mistikus yang puas dengan pencapaiannya sendiri. Sunnah nabi yang demikian itulah yang kita sebut dengan etika profetik.

Selanjutnya dari Roger Garaudy, filsuf Perancis yang menjadi muslim, kita belajar tentang filsafat profetik. Filsafat Barat tidak memuaskan, sebab hanya terombang-ambing di antara dua kubu, idealis dan materialis, tanpa kesudahan. Filsafat Barat (Filsafat Kritis) itu lahir dari pertanyaan; bagaimana pengetahuan itu dimungkinkan. Ia menyarankan untuk mengubah pertanyaan itu menjadi; bagaimana wahyu itu dimungkinkan. Dikatakannya bahwa satu-satunya cara untuk menghindari kehancuran peradaban ialah dengan mengambil warisan Islam. Filsafat barat sudah “membunuh” Tuhan dan manusia, karena itu dia menganjurkan supaya ummat manusia memakai filsafat kenabian dari Islam (Roger Garaudy, Janji-Janji Islam, 1982:139-168) dengan mengakui wahyu.

Ilmu Sosial Profetik harus membedakan diri dari dakwah. Bahasa dakwah berlaku umum, bahasa ilmu pesifik. Ketiga unsur (amar ma’ruf, nahi munkar, tu’minuna billah) masing-masing akan kita pilih arti yang punya social significance. Amar ma’ruf dalam bahasa  sehari-hari bisa berarti apa saja. Dari yang  sangat individual seperti berdoa’ berdzikir, dan sholat, sampai yang semisosial seperti menghormati orang  tua, menyambung persaudaraan, dan menyantuni anak yatim. Juga yang bersifat kolektif seperti mendirikan clean government, mengusahakan jamsostek, dan membangun sistem social security. Kita akan memakai kata emansipasi (dari bahasa latin, emancipatus, e berarti “keluar”, emancipare berarti “mengangkat”) yang berarti “pengangkatan”, “merdeka” dari hambatan”, atau “mengeluarkan dari ikatan menuju kemerdekaan” untuk menunjukkan kata itu hanya khusus dipakai untuk sesuatu yang mempunyai signifikansi sosial.

Nahi munkar dalam bahasa sehari-hari berarti apa saja yang mencegah dari mencegah teman mengkonsumsi ectasy, melarang carok, memberantas judi, menghilangkan lintah darat, membela nasib buruh dan mengusir penjajah.

Untuk itu kita memakai kata liberasi (bahasa latin liberare; berarti “memerdekakan”) artinya “pembebasan”, semuanya dengan konotasi yang mempunyai signifikansi sosial. Untuk tu’minuna billah dalam Al-Qur’an yang mempunyai arti khusus, kita akan menggunakan terminologi yang sangat umum, yaitu transendensi sebagai padanan.

Kata transendensi (bahasa latin trancendere; berati naik “ke atas”; bahasa Inggris to trancend ialah “menembus”, “melewati”, “melampauai”), artinya “perjalanan di atas atau di luar”. Kata ini meliputi istilah sehari-hari (misalnya orang yang kelewat-lewat kuatnya seperti Superman, altruisme  mengatasi individualisme), sastra transendental (sastra yang mencoba mencari realitas spiritual di balik gejala-gejala), filsafat transendental (Misalnya Kantanisme yang percaya pada pengetahuan apriori di luar pengalaman), gejala supernatural (misalnya ESP -Extra Sensory Perception dan PM - Transcendental Meditation), dan istilah teologis (misalnya soal ketuhanan, makhluk-makhluk gaib). Istilah teologislah yang kita maksudkan dengan transendensi.

Pilar Ilmu Sosial Profetik
Pilar dari Ilmu Sosial Profetik itu ada tiga, yaitu amar ma’ruf (emansipasi), nahi munkar (liberasi), dan tu’minuna billah (transendensi). Liberalisme mementingkan yang pertama, Marxisme yang kedua dan, kebanyakan agama yang ketiga. Ilmu Sosial Profetik mencoba untuk menggabungkan ketiganya, yang satu tidak terpisah dengan yang lain. Tema-tema penelitian dapat diambil dari ketiga pilar itu, baik tema yang  makro maupun mikro.

Penelitian sosial berdasar Ilmu Sosial Profetik sekarang ini sepatutnya mempunyai prioritas tersendiri, yaitu memecahkan persoalan umat menghadapi masyarakat industri (masyarakat kota, masyarakat global, masyarakat pengetahuan, masyarakat abstrak). Penelitian dapat berupa penelitian teoritis analitis (menghadapkan Al-Qur’an dengan realitas sosial; misalnya “Islam dan Industrialisasi”, “Islam dan Kelas Sosial”, dan “Islam dan Industrialisasi Budaya”), penelitian historis (menerangkan bagaimana sesuatu terjadi dengan perspektif Islam, misalnya “Pertumbuhan Nasionalisme Indonesia”, “Sejarah Pergerakan Buruh”, dan “Partai-partai Politik Indonesia”, dan  penelitian kasus yang partisipatoris (participant observation, grounded research, action research) dengan lokasi  kota, desa, jama’ah, pabrik, dan sebagainya; tentang topik apa saja asal ada prioritasnya.

Emansipasi
Dalam thema umum emansipasi dapat dilakukan penelitian tentang berbagai gejala sosial dan pemecahannya, yaitu dehumanisasi (obyektivasi teknologis, ekonomis, budaya atau negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminilitas), dan loneliness (privatisasi dan individuasi). Ketiganya perlu penelitian teoritis, historis, dan kasus. Dehumanisasi terjadi diantaranya karena dipakainya teknologi (baik berupa alat-alat fisik maupun methode) dalam masyarakat.

Jacques Ellul menulis sebuah buku The Technological Society (1954:1964) untuk menjelaskan  betapa jauh pengaruh teknologi itu dalam kehidupan. Penelitian di sebuah pabrik yang menggunakan mesin seperti pabrik tekstil, pabrik konveksi, dan pabrik rokok akan menjawab maalah objektivasi (manusia hanya menjadi obyek) dan otomatisme (manusia menjadi otomaton, bergerak secara otomatis tanpa kesadaran). Bagaiamana peranan serikat buruh, jama’ah masjid, dan perkumpulan-perkumpulan lain (yasinan, artisan, gaple, olahraga, macapatan) dalam mengangkat kembali martabat manusia, memanusiakan manusia? (Selama ini kita hanya kenal peranan politik serikat buruh).

Masyarakat teknologis juga masyarakat ekonomis, karena itu ekonomi menentukan stratifikasi, sistem pengetahuan dan lingkungan. Kedudukan ekonomi seseorang menjadi patokan ketika orang itu mencoba untuk menggolong-golongkan masyarakat. Sosiologi barat akan leluar dengan kelas atas-menengah-bawah. Marxisme dengan borjuasi dan proletariat. Mengenai sistem pengetahuan, dalam masyarakat ekonomis pandangan orang tercurah pada dua hal, yaitu work dan leisure.

Lingkungan masyarakat ekonomis  juga berubah. Masyarakat tradisional agraris mempunyai lingkungan yang alamiyah. Akan tetapi, lingkungan itu menjadi artifisial dengan industrialisasi karena ada kepentingan ekonomi, misalnya berdirinya pabrik-pabrik, jalan-jalan dan polusi. Dalam budaya masyarakat teknologis juga menyebabkan tranformasi. Banyak pejabat yang tidakmenyadari mass man, tidak saja di kota-kota besar tapi juga kota-kota kecil. Kerusuhan yang dipersangkakan mengandung SARA bisa jadi karena adanya manusia massa itu.

Selanjutnya, penelitian  mengenai dampak teknologi  ialah kemungkinan terjadi negara yang lebih efisien (positif, negatif) menjadi mungkin. Positif, bila kemajuan-kemajuan teknologi  berarti demokrasi, HAM, dan birokrasi yang lancar. Negatif, bila teknologi menyebabkan otoritarianisme, neo-feodalisme, dan militerisme.

Agresivitas kolektif rupanya perlu diterangkan dengan teori tentang perilaku kolektif. Neil Smelser yang menulis Collective Behavior (1961) mengatakan bahwa ada kondisi struktural mengapa sebuah perilaku kolektif itu terjadi. Mungkin penyebab kerusuhan di Indonesia akhir-akhir ini ialah kekumuhan, satu hal yang masih harus dibuktikan lewat penelitian. “Kekumuhan” itu bisa bersifat individual bisa kolektif, bisa spiritual bisa material. Persoalan kita bersama adalah bagaimana “kumuh” materiil itu tidak menjadi kumuh spiritual. Ini adalah persoalan emansipasi.

Selanjutnya dari berita-berita media massa tentang kriminilitas kita tahu peran lembaga “pemasyarakatan” dalam melakukan kontrol, pencegahan, dan hukuman terhadap perilaku kriminal ternyata tidak efektif terbukti dengan banyaknya residivis. Dalam beberapa hal lembaga itu malah berlaku sebagai “insentif”, terutama pada waktu kemiskinan,pengangguran, dan penderitaan di luar lembaga lebih menyakitkan.

Teori-teori sosiologi kriminilitas tentang konsensus atau konflik rupanya tidak berlaku pada waktu sekian persen penduduk masih berada di bawah garis kemiskinan. Perhatian kita kepada masalah kriminilitas dan kontrolnya sekarang harus ditujukan untuk meningkatkan kesadaran (emansipasi) supaya perilaku kriminal itu tidak terjadi.

Loneliness sudah disebut oleh David Riesman dalam The Lonely in the Crowd untuk menggambarkan masyarakat kota karena individualisasi atau privatisasi. Nasib semacam itu tentu dialami oleh kelas menengah ke atas, orang-orang kota sungguhan. Penduduk kota walaupun bergerombol sebenarnya mereka hidup sendiri-sendiri.

Untuk mereka gambaran Philip Slater mengenai kota dalam The Pursuit of Loneliness (1971) mungkin cocok. Tentu saja ada perbedaannya. Kota-kota di Indonesia tidak se-lonely kota-kota besar Barat, terutama dimana terdapat kampung, kampung kumuh, dan orang-orang tersingkir seperti orang  Betawi di Jakarta. Lembaga-lembaga baru yang berupa voluntary  association sudah bermunculan di Indonesia sejak awal abad ke-20. Sekarang pengajian, pertemuan RT, dan jama’ah masih punya fungsi melawan kota.

Manusia dalam zaman industri mudah sekali terjatuh, kehilangan kemanusiaan. Karenanya suatu usaha untuk mengangkat kembali martabat  manusia, emansipasi (Fromm, 1968, menyebutnya humanization), sangat diperlukan. Dalam surat At-Tiin, 95:5,6 diakatakan bahwa orang dapat terjatuh ke tempat paling rendah. Kemudian ayat  ini mengecualikan orang-orang yang beriman  dan beraman saleh. kiranya ayat ini merujuk pada emansipasi, yaitu iman dan amal saleh. Tentu saja implikasinya sangat luas.

Teks Al-Qur’an bisa diturunkan jadi empat hal: amal, mitos, ideologi, dan ilmu. Islam sehari-hari adalah Islam amal yang harus selalu ada sepanjang zaman. Mitos sebagai sistem pengetahuan sudah ketinggalan zaman, meskipun masih ada orang yang hidup dalam zaman mitis. Kita sekarang tinggal memilik antara ideologi dengan ilmu. Rupanya, mengenai ideologi dan ilmupun ada pembagian zamannya. kita menjadikan Islam sebagai ideologi ketika kita mendirikan partai-partai, sejak Sarikat Islam sampai Masyumi. Mengenai ideologi liberasi kita dapat belajar dari Theology of Liberation, ideologi yang terdapat pada kaum agamawan di Amerika Latin.

Islam meninggalkan ideologi dan bergerak ke arah ilmu, tidak jauh berbeda dengan sejarah Marxisme yang mula-mula adalah ideologi kemudian pada pertengahan kedua 1970-an berkembanglah ilmu-ilmu Marxis di Eropa Barat, pada mulanya berdampingan dengan oprtodoksi Marxisme sebagai ideologi di Eropa Timur dan Uni Soviet. Karenanya liberasi dalam Ilmu Sosial Profetik sekarang ini adalah liberasi dalam konteks ilmu, bukan liberasi ala ideologi (mengenai perbedaan ideologi dengan ilmu lihat Kuntowijoyo, Identitas Politik Ummat Islam, 1997:20-23).

Sasaran liberasi ada empat, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik. Liberasi sistem pengetahuan ialah usaha untuk membebaskan orang dari sistem pengetauan materialistis, dari dominasi struktur, misalnya dari kelas dan seks. Pembebasan dari kesadaran kelas ini bertentangan dengan Marxisme Timur dan Barat yang menekankan kesadaran kelas sebagai obyek penelitian (Mengenai Marxisme Barat, lihat Jan van Dijk, Western Marxisme als Sociale Wetenscap, 1984:307-337).

Demikian pula pembebasan dari dominasi seks ini bertentangan dengan gerakan feminisme Barat yang serba anti-pria. Islam dalam hal ini mendukung sebuah moderasi, yaitu kemitra-sejajaran antara pria dengan wanita, dengan perspektif gender. Justru karena itu studi tekstual maupun kontekstual mengenai hubungan seksual adalah perlu.

Kiranya penelitian tentang pembebasan dan belenggu sistem sosial amat penting, karena pada umumnya umat sedang  keluar dari sistem sosial amat penting, karena pada umumnya umat sedang keluar dari sistem sosial agraris ke sistem sosial industrial. Itulah the great transformation bagi ummat. Tranformasi itu sudah berjalan sejak awal abad 20, barangkalai kita hanya mengalami ujungnya. Pertanyaan-pertanyaan kritis sekitar kelembagaan tradisional kita (pengelompokan sosial, pendidikan, kepemimpinan) mungkin  mendapat tantangan dari lembaga-lembaga  tradisional. Maka sebaiknya penelitian itu harus melibatkan sebanyak mungkin orang dalam, dan dengan methode yang tepat. Kita ingin mengingatkan kembali pentingnya ilmu sosial yang communitarian.

Pembebasan dari belenggu sistem ekonomi perlu mendapat perhatian meskipun masalah ini kadang-kadang sangat sensitif karena disangkutkan dengan pembangunan nasional,stabilitas dan  kemanan. Adalah kepentingan nasional kita untuk melihat beberapa kesenjangan dan ketidak adilan dengan kepala dingin. Kerusuhan-kerusuhan akhir-akhir ini, kebanyakan pasti disebabkan juga karena kesenjangan ekonomi.

Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel (1971) menyebutkan bahwa penyebab utama dari pemberontakan ialah relative deprivation. Dalam hal kesenjangan ekonomi setidaknya ada dua ayat Al-Qur’an yang dengan jelas menyebutkan nya, yaitu Al-Hasyr, 59:7 yang berbunyi, “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu”; dan  Az-Zukhruf, 43:32 yang berbunyi, “Apakah mereka (yang berhak ) membagi-bagi rahmat Tuhanmu?” Sebuah gerakan liberasi yang didasarkan akal sehat justru penting untuk sistem ekonomi  nasional kita. Karena itu teori-teori dan penelitian empiris (sejarah, kasus) baik di tingkat makro maupun mikro perlu dilakukan.

Liberasi politik berarti membebaskan sistem dari otoritarianisme, diktator, dan neo-feodalisme. Demokrasi, HAM, dan masyarakt madani adalah juga tujuan Islam. Aktivisme politik dan para ilmuwan (terutama yang muda) patut disyukuri, sebab biasanya justru ilmu-ilmu sosial sering menjadi benteng konservatisme. “Radikalisasi” ilmu-ilmu sosial akan menjamin bahwa perubahan dan transformasi berjalan secara rasional dan bertanggung jawab secara ilmiah.

Reaksi keras yang datang dari pejabat berupa ketidak percayaan kepada ilmu sebagai tidak relevan dengan masalah aktual tidak pada tempatnya. Memang bukanlah tugas ilmu untuk menjawab persoalan praktis  dan jangka pendek. Itu adalah tugas pejabat. Urusan ilmu adalah perubahan dan transformasi soail pragmatis jangka panjang. Ketakutan akan adanya aliansi antara intelektual dengan massa, seperti tercermin dalam kata-kata “dalang”, “pihak ketiga”, dan aktor intelektual tidak mempunyai dasar faktual. Intelektual Islam tidak boleh takut ber-nahi munkar asal dilandasi dengan ilmu. Mari kita dorong sejarah Indonesia ke arah perubahan dan transformasi.

Transendensi
Banyak yang meramalkan bahwa abad ke-21 spiritualisme akan berkembang. Kalau betul ciri dari peradaban post-modernisme dalah dedifferentiation (agama akan menyatu kembali denan “dunia”), yang pasti akan ditafsirkan oleh orang barat sebagai “agama” yang lebih tinggi dari agama-agama yang ada. Dalam filsafat sejarah barat ada “Teori Spiral” yang mengatakan bahwa sejarah itu bergerak melingkar seperti  sebuah per, setiap kali selalu kembali berputar seperti yang dulu tapi selalu lebih tinggi dari yang semula. Pendek kata, agama bukanlah agama yang melembaga, karena dalam pandangan barat dikatakan bahwa masa depan manusia adalah sekularisme (James L. Peacock dan Tomas Kirsch, The Human Direction: An Evolutionary Approach to Social and Cultural Anthropology\, 1970).

Dalam psikologi, Sigmund Freud bahkan menyebut agama sebagai salah satu neurisis massal, sebuah ilusi yang secara klinis berbahaya . Behaviorisme BF Skinner tidak memberi tempat kepada Tuhan. Sesudah muncul Neo-Freudianisme dan Psikologi Humanistis, perhargaan terhadap nilai sudah mulai nampak. Erik H. Erikson dari Neo-Freudianisme menulis Young Man Luther dan Gandi’s Truth percaya akan nilai. Abraham H. Maslow, penganut Psikologi Humanistis, mengemukakan gagasan tentang pentingnya aktualisasi diri, nilai, dan peak experience. Erich Fromm yang menginginkan sebuah masyarakat industrial yang manusiawi sudah menyebut-nyebut tentang perlunya otoritas ketika dia membicarakan tentang nilai dan norma (1968:86-92).

Para ilmuwan barat tidak bisa menyebut Tuhan yang personal, karena dalam pandangan mereka ilmiah berarti sekuler, sesuai dengan latar belakang masyarakatnya. Mereka menganut katakanlah setidaknya methodological secularism kalau bukan methodological atheism. Barangkali hanya Victor Frankl pendiri logotherapy (terapi makna) yang menyebut Tuhan secara lebih personal (Man’s Search for Meaning, 1939:1963:158).

Kita tidak perlu sekulerisasi, yang kita perlukan adalah obyektivikasi (mengenai perbedaan antara sekulerisasi dengan obyektivikasi lihat Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, 1997:65-71) agar Ilmu Sosial Profetik  mempunyai makna universal. Pandangan ini mari kita sebut dengan methodological objectivism, baik untuk penelitian mengenai non-umat atau mengenai umat sendiri. Ini akan menghindarkan kita dari split personality, terutama untuk penelitian jangka panjang bila sebuah participant observation diperlukan.

Bagi umat Islam sendiri tentu transendensi berarti beriman kepada Allah SWT. Kedua unsur Ilmu Sosial Profetik  (emansipasi, liberasi) harus mempunyai rujukan Islam yang jelas. Menurut Fromm siapa yang tidak menerima otoritas Tuhan akan mengikuti: (1) relativisme penuh, dimana nilai dan norma sepenuhnya adalah urusan pribadi, (2) nilai tergantung pada masyarakat, sehingga nilai dari golongan yang dominan akan menguasai, dan (3) nilai tergantung pada kondisi biologis, sehingga Darwinisme sosial, egoisme, kompetisi, dan agresivitas adalah nilai-nilai kebajikan (1968:87-88).

Karena itu sudah selayaknya umat Islam meletakkan Allah sebagai pemegang otoritas, Tuhan yang Maha Obyektif, dengan 99 Nama Indah itu. Apa yang dipersangkakan oleh sekulerisme sebagai “Tuhan” (God is dead, spiritualisme, mistisisme, Taoisme, Zen Budhisme, Children of God) jauh dari otoritas Tuhan Yang Maha Hakim dan karenanya tidak akan efektif sebagai gerakan Ketuhanan.

Mengenai transendensi ada garapan khusus bagi peneliti masalah umat, yaitu gerakan-gerakan Islam yang merupakan splinter group seperti Darul Hadits, Jama’ah Tabligh, Darul Arqam, dan sebagainya yang menggelisahkan mainstream umat karena tiba-tiba muncul cadar, jubah, dan celana komprang. Belum pernah ada penelitian mengenai mereka -mungkin karena sifatnya yang mirip secret society. Jelas bahwa mereka adalah gejala antiindustri. Namun kadang-kadang mereka mengejutkan kalangan mainstream karena dengan mudah mengkafirkan orang lain.

Tentu saja konsep tentang emansipasi dan liberasi yang lebih luas seperti pada mainstream tidak pernah terlintas pada benak splinter group, karena mereka masih bergulat dengan survival. Kadang-kadang ada usaha politisasi, seperti kasus Darul Hadis dan perkumpulan tasawuf sekitar Kyai Musta’in Romly (alm). Fakta-fakta itu sebenarnya perlu diketahui umat, supaya umat bergerak secara rasional. Dengan demikian kita ada banyak tema penelitian sekitar  transendensi sendiri. Sementara itu, emansipasi dan liberasi harus menjadi satu dengan transendensi.

Penutup
Umat Islam harus terlibat dalam wacana ilmu-ilmu sosial modern, meskipun modern itu berarti Barat. Dalam tingkat filosofis, bisa dimulai dengan pembicaraan sekitar Hegel versus Marxisme, eksistensialisme versus sosiologisme. Dalam sosiologi, kiranya Durkheim dapat dipakai sebagai batu loncatan. Kita hendaknya mengembangkan paradigma ilmu tersendiri, seperti halnya Critical Theory yang sudah berkembang menjadi sebuah paradigma. Ada kemungkinan Ilmu Sosial Profetik menjadi sebuah paradigma baru dalam wacana Ilmu Sosial.

Hal yang lebih penting  ialah bagaimana Ilmu Sosial Profetik dapat menjadi pelayan umat, menjadi bagian dari intelejensi kolektif, yang mampu mengarahkan umat ke arah evolusi sosial secara rasional.

Ditulis oleh Kuntowijoyo dan dimuat di harian Republika selama tiga hari berturut-turut sejak tanggal 7/8 - 9/8 1997 

0 komentar: