Kamis, 13 November 2014


Catatan atas Workshop Internasionalisasi Pemikiran dan Gerakan Muhammadiyah Surakarta, 30 Oktober-1 November 2014

Oleh: 
Ahmad Rizky M. Umar
Peneliti di ASEAN Studies Center UGM dan Bergiat di Komunitas Muhammadiyah Muda Bulaksumur

Pada tanggal 30 Oktober-1 November 2014, Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) menggelar sebuah Workshop bertajuk “Internasionalisasi Pemikiran dan Gerakan Muhammadiyah”. Saya berkesempatan untuk hadir dan, bersama beberapa rekan, mempresentasikan beberapa hasil penelitian yang pernah kami lakukan tentang Muhammadiyah.

Sebagai sebuah Workshop, acara ini sangat positif dan patut diapresiasi. Di tengah sibuknya aktivis-aktivis Muhammadiyah berpolitik (sebagaimana pernah dipaparkan Alex Arifianto) atau menjadi ‘birokrat dalam Muhammadiyah’ (meminjam istilah yang dilontarkan Zuly Qodir) JIMM dan UMS masih sempat untuk menggelar aktivitas-aktivitas ilmiah. Apalagi, dengan semangat internasionalisasi yang sempat digagas oleh Prof. Amin Abdullah.

Selama dua hari, saya ikut mendengar dan berdiskusi tentang berbagai tema riset yang dipaparkan oleh peserta. Dilihat dari segi substansi dan jalannya diskusi, sebetulnya kader-kader Muhammadiyah (terutama yang masih muda) memiliki wacana dan gagasan yang cukup kaya. Workshop dua hari dirasa kurang cukup karena banyak gagasan yang dilontarkan, baik yang sudah konkret dalam bentuk program maupun baru sekadar wacana. Iklim intelektualitas semacam ini, bagi saya yang lama tidak berkecimpung dalam aktivitas-aktivitas kemuhammadiyahan, membangkitkan optimisme bahwa Muhammadiyah masih merupakan organisasi yang besar di Indonesia saat ini.

Namun, tentu saja ada beberapa catatan dan evaluasi yang perlu diberikan. Catatan dan evaluasi ini tidak berkaitan dengan penyelenggaraan acara –yang menurut saya sudah sangat baik— tetapi lebih pada substansi dan jalannya diskusi selama dua hari itu. Dengan semangat yang cukup tinggi untuk membangkitkan iklim intelektualitas di tubuh Muhammadiyah, saya rasa ada beberapa hal yang masih mungkin untuk ditingkatkan jika gagasan internasionalisasi yang sempat dibahas kemarin masih serius ingin diteruskan.

Beberapa Isu
Sebelum memberikan beberapa catatan atas Workshop, saya ingin sedikit memberikan gambaran mengenai apa saja gagasan yang bisa ditangkap dalam Workshop dua hari kemaren. Secara garis besar, ada empat isu yang mengemuka dalam Workshop, baik dalam pemaparan paper peserta, uraian pembicara kunci (Keynote Speech), maupun dalam sesi Rencana Tindak Lanjut di Sabtu pagi.

Pertama, gagasan tentang revitalisasi pemikiran Muhammadiyah. Beberapa paper seperti Hasnan Bachtiar (“Membangkitkan Ruh Profetisme dalam Muhammadiyah”), Marpuji Ali (“Muhammadiyah di Tengah Isu Dunia Islam Kontemporer”), Muthohharun Jinan (“Muhammadiyah Studies”), Ahmad Hidayatullah (“Sains Islam”) atau Muhammad Azhar merefleksikan kebutuhan Muhammadiyah untuk merevitalisasi pemikiran. Ada semacam kesadaran bahwa realitas sosial kontemporer tengah berubah dan Muhammadiyah perlu menyesuaikan diri melalui pembaharuan pemikiran.

Kedua, riset-riset tentang Muhammadiyah. Selain paper saya sendiri tentang Muhammadiyah di Kalimantan Selatan, ada paper Hafidz Arfandi (“Bukan Sekadar Filantrofi”), Ghifari Yuristiadhi (“Muhammadiyah di Mata Muhammadiyanis”), Budi Ashari (“Tutup Layang di Kali Sembrung”), atau Arin Setyowati (“Muhammadiyah dan PSK di Krembangan”). Riset-riset tentang Muhammadiyah menjadi isu penting karena pada hari ini Muhammadiyah semakin banyak menjadi subjek studi dalam berbagai kajian Islam di luar negeri, sehingga perlu ada pemetaan atas beberapa kajian yang sudah ada dan bagaimana menemukan prospek kajian di masa yang akan datang.

Ketiga, catatan-catatan tentang Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Ada beberapa pemaparan dari Dodok Hartono tentang LAZISMU Sragen, Achmad Suud tentang LKM Muhammadiyah di Jawa Tengah, atau Satria Unggul tentang Pembelaan Difabel oleh Muhammadiyah. Dari pemaparan peserta, terlihat bahwa Amal Usaha Muhammadiyah memainkan peran penting dalam kehidupan persyarikatan selama ini. Keberadaan AUM jelas tak bisa dilupakan dalam kajian dan pemikiran Muhammadiyah selama ini.

Keempat, gagasan-gagasan tentang perbaikan Muhammadiyah ke depan. Ada beberapa tulisan menarik dari Irfan Anshori (“Literasi Khutbah di Muhammadiyah”), Diska Arliena Hafni (“Metamorfosis Pengelolaan AUM”) atau Putri Dirlianti (“Muhammadiyah dan Rekonsiliasi Konflik Global”) yang mendorong Muhammadiyah untuk memperbaiki kerja-kerjanya selama ini. Berbeda dengan pemikiran yang lebih falsafi, gagasan mereka memberikan tawaran praktis dan otokritik mengenai apa yang selama ini kurang dalam Muhammadiyah.

Keempat isu yang didiskusikan tersebut merefleksikan satu hal penting, yaitu bahwa kondisi Muhammadiyah saat ini masih belum bergerak ke arah internasionalisasi. Dari keempat isu yang muncul dan didiskusikan, terlihat bahwa tidak banyak peserta yang mengupas sisi internasionalisasi (termasuk saya sendiri). Hanya beberapa pemaparan, seperti presentasi Muhammad Najib Burhani yang memberikan perspektif tentang internasionalisasi Muhammadiyah. Itu pun masih sebatas kerangka konsep mengenai “internasionalisme” dan “internasionalisasi”.

Minimnya diskusi tentang hal ini tentu bisa dipahami mengingat gagasan tentang “internasionalisasi” adalah gagasan yang sama sekali baru di Muhammadiyah –setidaknya dalam satu dekade terakhir. Saya menduga gagasan tentang internasionalisasi akan lebih banyak dieksplor pada sesi Rencana Tindak Lanjut. Namun, mungkin karena waktu yang sangat terbatas, pembahasan tersebut belum sempat dilakukan secara mendalam. Rencana Tindak Lanjut lebih banyak mendiskusikan kondisi di seputar JIMM dan masalah-masalah Muhammadiyah kontemporer. Walaupun hal-hal tersebut menarik, implikasinya adalah Rencana Tindak Lanjut tidak terfokus pada gagasan apa yang ingin diekstrak dan apa strategi untuk menginisiasi gerakan tersebut.

Hal inilah yang serasa “kurang” ketika Workshop dua hari kemarin, dan akan menjadi bahan diskusi utama dari tulisan ini.

Problem Epistemologi
Selain itu, ada satu gap yang bisa saya tangkap dari dua hari Workshop kemarin: adanya semacam “kebingungan” peneliti/aktivis Muhammadiyah untuk menentukan cara pandang dalam memahami realitas sosial yang ada, bahkan untuk memahami apa yang ada di Muhammadiyan saat ini. Workshop kemarin menyajikan banyak paparan dan fakta “segar” tentang Muhammadiyah, yang tentu saja punya kontribusi positif, tetapi tidak banyak pengetahuan baru yang bisa diekstrak. Sebagai seorang peneliti, saya seringkali membaca hasil-hasil penelitian dengan memetakan (1) apa perspektif yang digunakan; dan (2) temuan-temuan apa yang menarik dan berkontribusi terhadap pengembangan pengetahuan dari subjek yang diteliti. Dari sisi temuan, banyak yang menarik. Namun, secara kritis saya mungkin bisa bertanya: apa kontribusinya terhadap pengetahuan tentang Muhammadiyah yang selama ini berkembang? Pertanyaan ini sederhana, tapi akan menentukan output yang akan dihasilkan setelah penelitian selesai.

Dari pemaparan-pemaparan yang ada, terutama tentang AUM dan pemikiran Muhammadiyah (mungkin juga termasuk paper yang saya sampaikan), gap ini cukup terasa. Kita mungkin bisa bercerita banyak tentang kiprah Amal Usaha Muhammadiyah dalam membangun masyarakat. Namun, kita mungkin bisa bertanya juga: apa strategi yang digunakan untuk membangun AUM tersebut? Apa gap dan hambatan yang muncul? Sejauh mana AUM tersebut mengubah struktur sosial masyarakat? Bagaimana AUM memandang dengan kebijakan publik dan sejauh mana keterlibatannya bersifat politis? Secara lebih filosofis, apa landasan ideologis dari pendirian dan operasionalisasi AUM terseut? Atau, seperti ditanyakan juga oleh Hilman Latief, bagaimana perkembangan AUM tersebut jika dibandingkan dengan gerakan-gerakan yang lain, baik yang berbasis Islam, Kristen, atau tidak berbasis agama?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab jika sebagai peneliti kita melakukan refleksi dan auto-kritik terhadap jalannya gerakan Muhammadiyah saat ini. Refleksi tersebut tidak bisa hanya dilakukan dengan mendeskripsikan AUM atau Muhammadiyah, melainkan juga melacak secara kritis gap atau problem yang ada. Atau, jika ingin dilihat dari sisi pemikiran, basis ideologis/filosofis tentang pendirian AUM tersebut. Sehingga, riset/pemaparannya menjadi bukan business as usual, melainkan bisa dilihat aspek ke-Muhammadiyah-annya.

Dengan demikian, kita punya satu gap dalam studi-studi Muhammadiyah selama ini: gap dari sisi epistemology. Harus diakui, ini adalah kritik yang perlu juga kita ajukan pada cendekiawan-cendekiawan Muhammadiyah sebelumnya. Wacana yang selama ini berkembang di Muhammadiyah cenderung hanya berkutat di sisi pemikiran, tetapi tidak dirumuskan menjadi sebuah epistemology yang utuh. Kita bisa lihat ini, misalnya, pada pemikiran Kuntowijoyo. Tanpa mengesampingkan kontribusi Pak Kunto untuk Muhammadiyah, kita mesti jujur untuk mengakui bahwa Kunto belum pernah merumuskan cara berpikirnya yang ajeg sebagai fondasi dalam memandang sebuah realitas sosial. Atau, mungkin Pak Kunto pernah berupaya membangunnya tetapi belum secara serius dikembangkan sebagai metode analisis dalam menafsirkan realitas sosial.

Pak Kunto pernah bicara soal “Ilmu Sosial Profetik”, misalnya, yang menambah khasanah kita mengenai Islam dan Bangunan Filsafat Ilmu. Akan tetapi, bisakah Ilmu Sosial Profetik tersebut diturunkan menjadi instrument untuk membedah fenomena sosial tertentu, seperti misalnya dalam kajian-kajian Ekonomi atau Hubungan Internasional? Jika bisa, apa referensi yang pernah ditulis yang membicarakan soal itu?

Hal-hal semacam ini sepele, namun akan menjadi sangat serius ketika kita mengaitkannya dengan “internasionalisasi pemikiran dan gerakan Muhammadiyah”. Ini pula yang mungkin menjadi satu jawaban mengapa banyak kajian-kajian komprehensif tentang Muhammadiyah justru datang dari peneliti luar. Ketika ingin melakukan internasionalisasi, setidaknya dalam hal pemikiran, kita patut bertanya: apa yang mau diinternasionalisasi? Cara berpikir seperti apa yang ingin diinternasionalisasi? Apakah gagasan tersebut cukup relevan untuk diinternasionalisasi dan kira-kira seperti apa tanggapan dari orang-orang yang akan membaca pemikiran itu?

Kita mungkin bisa melakukan kajian perbandingan ketika membedah karya-karya Ernesto Laclau atau Chantal Mouffe, misalnya. Laclau & Mouffe dikenal dunia sebagai salah satu “pendiri” dari Mazhab Essex yang punya kontribusi besar dalam dunia post-Marxisme. Mereka berdua menulis sebuah buku penting berjudul Hegemony and Socialist Strategy yang memberikan kritik atas tesis-tesis dasar Marxisme dan membangun cara berpikir baru. Buku ini mengambil gagasan dasar yang pernah dilontarkan oleh Antonio Gramsci (“Hegemoni”), Karl Kautsky (“Otonomisasi Ranah-Ranah”) atau Louis Althusser (“Overdeterminasi”) dan secara cerdas membangun cara berpikir baru untuk mengananalisis fenomena-fenomena sosial.

Segera saja, kerangka konseptual yang diajukan oleh Laclau & Mouffe itu menimbulkan polemik. Kecaman tentu saja datang dari proponent materialisme dialektis seperti Alex Callinicos atau Alain Badiou. Kaum post-strukturalis mendebat gagasan ini, seperti tergambar dari debat tentang “universalisme, kontingensi, dan hegemoni” yang melibatkan Slavoj Zizek, Judith Butler, dan tentu saja Laclau sendiri. Namun, justru dengan cara inilah Post-Marxisme menjadi semakin “hidup”. Semakin dikritik, semakin cantik. Tradisi polemik seperti ini yang membuat Post-Marxisme tahan hingga saat ini.

Dan di sisi yang lain, harus kita akui, tradisi polemik seperti ini yang minim di Muhammadiyah. Relatif tidak ada yang melakukan kritik atau pembacaan terhadap tesis-tesis dasar Kuntowijoyo atau, misalnya, Amien Rais dan Syafii Maarif. Yang lebih banyak (dan ini ironis) adalah hagiografi –pujian yang agak berlebihan terhadap cendekiawan Muhammadiyah karena identitas ke-Muhammadiyah-annya— sehingga menganggap pemikiran mereka paripurna. Hal ini bisa menjadi boomerang, karena membuat intelektual kita segan melakukan kritik padahal tidak akan pernah ada pengetahuan dan pemikiran tanpa kritik.  Sehingga, di Muhammadiyah, tidak banyak pengembangan, kritik dan pembacaan ulang atas teori-teori yang ada, apatah lagi melakukan upaya yang serius (dalam arti, diikuti riset dan publikasi yang intens) untuk “melampaui” Kunto dan sederet cendekiawan Muhammadiyah lainnya.

Selain itu, terlihat pula bahwa gagasan post-Marxisme yang dibangun fondasinya oleh Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe dibakukan secara akademik menjadi sebuah “metodologi analisis” yang serius melalui Discourse Analysis (saya berhutang banyak pada metode ini karena membantu saya lulus Sarjana), bahkan menjadi subjek yang dikaji dalam studi Master dan PhD. Di Universitas Essex, Laclau mendirikan Centre for Theoretical Studies yang menjadi homebase bagi para proponent Post-Marxisme untuk melakukan kajian dan pengembangan perspektif ini secara terus-menerus. Mereka memfasilitasi riset-riset Doktoral yang dibimbing oleh Laclau dan murid-muridnya.

Hasilnya, kita melihat banyak sekali aplikasi riset dengan menggunakan perspektif ini dalam berbagai isu, seperti Islam Politik (Bobby Sayyid), Partai Hijau (Yannis Stavrakakis), Demokrasi (Chantal Mouffe dan Aletta Norval), Psikoanalisis (Jason Glynos), Kebijakan Publik (David Howarth), atau belakangan Populisme (Ernesto Laclau). Riset mereka kemudian menyebar ke seluruh dunia, bahkan mempengaruhi beberapa kebijakan publik dan diskursus gerakan sosial di Amerika Latin (Kajian Chantal Mouffe tentang Demokrasi Agonistik menjadi inspirasi pengambilan kebijakan publik di Argentina).

Lalu, bagaimana dengan Muhammadiyah? Sedikitnya sudah ada i’tikad baik dari pengurus Persyarikatan untuk membuat Pusat Studi Muhammadiyah, yang saat ini ada di UMY, namun belum banyak riset dan pengembangan kajian tentang Muhammadiyah di Pusat Studi tersebut. Hal ini, menurut saya, menyebabkan tidak banyak pemikiran yang bisa diproduksi dari institusi tersebut. Selain itu, terlihat juga bahwa banyak riset-riset Doktoral, baik yang berkaitan dengan Muhammadiyah ataupun dari dalam Universitas Muhammadiyah yang tidak terkelola maksimal (sejauh dilihat dari daya jelajahnya untuk dibaca orang).

Memang pak Asep Purnama Bahtiar telah mengemukakan beberapa constraint dalam pengembangan Pusat Studi tersebut dan hal ini bisa dimaklumi. Namun, ke depan, jika Muhammadiyah ingin serius dalam internasionalisasi, ada baiknya Pusat Studi Muhammadiyah difungsikan sebagai kanal produksi pengetahuan (atau lebih luas, Wacana/Diskursus) dan sarana internasionalisasi pemikiran.

Menghadapi Era ASEAN
Gap-gap yang telah saya ceritakan di atas, sebagai refleksi atas Workshop Internasionalisasi Pemikiran dan Gerakan Muhammadiyah yang saya ikuti. Ke depan, sebetulnya kita punya momentum dengan akan diberlakukannya Komunitas ASEAN pada tahun 2015. Komunitas ASEAN menjadikan batas-batas lintas negara menjadi kabur dan peluang advokasi/pemberdayaan menjadi lebih luas. Dengan diberlakukannya Komunitas ASEAN, Muhammadiyah punya peluang untuk menginternasionalisasi pemikiran dan gerakannya.

Mungkin ada beberapa langkah yang diambil oleh elit-elit Muhammadiyah, di antaranya Dien Syamsuddin, yang telah terlibat dalam interaksi lintas negara tersebut. Hal ini patut diapresiasi sebagai langkah awal. Namun, tentu saja keterlibatan itu tidak cukup hanya dilakukan oleh elit. Riset yang saya lakukan tentang keterlibatan NGO di ASEAN, secara lebih spesifik dalam isu HAM, memberikan gambaran bahwa telah ada beberapa inisiatif dan jejaring yang dibangun oleh NGO-NGO di Asia Tenggara untuk mengintervensi proses-proses pengambilan keputusan di tingkat regional, antara lain melalui ASEAN Civil Society Conference/ASEAN People’s Forum. Ada juga jejaring ASEAN-ISIS yang fokus di basis Think tank atau HRRCA yang berfokus di wilayah pengetahuan dan basis data

Namun, sejauh temuan yang saya dapatkan, tidak terlihat peran Muhammadiyah di sana. Mungkin Muhammadiyah terlibat di isu lain di luar HAM, atau justru tidak memanfaatkan kanal-kanal ASEAN. Akan tetapi, hal ini menyiratan tanda tanya: bukankah Muhammadiyah punya Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional, juga Lembaga Hukum & HAM? Mengapa tidak banyak keterlibatan yang diinisiasi untuk ASEAN?

Pertanyaan saya mungkin lebih didasarkan pada ketidaktahuan atas aktivitas Muhammadiyah di level regional. Namun, satu hal yang jelas, jika Muhammadiyah serius dengan gagasan untuk melakukan internasionalisasi pemikiran dan gerakan, Muhammadiyah perlu mempertimbangkan untuk memperkuat keterlibatan dalam forum-forum regional. Di level yang lebih middle-range, misalnya dalam konteks masyarakat sipil, Muhammadiyah bisa terlibat dalam forum-forum masyarakat sipil dan memperkuat jejaring di tingkat regional. Komunitas ASEAN bisa dimanfaatkan sebagai salah satu kanal untuk melakukan internasionalisasi pemikiran dan gerakan.

‘Ala kulli hal, semoga beberapa hal di atas bisa menjadi refleksi konstruktif mengenai gagasan internasionalisasi pemikiran dan gerakan Muhammadiyah yang sempat menjadi perbincangan hangat dalam workshop dua hari. Terpenting, gagasan ini tidak selesai hanya di arena Workshop, tetapi bisa terus-menerus didiseminasikan dalam forum-forum JIMM dan Muhammadiyah yang lain. Saya masih optimis, dengan segala keterbatasannya, Muhammadiyah bisa menjadi “pencerah” bagi Indonesia dan dunia.

Nashrun Minallah wa Fathun Qariib. 


0 komentar: