Kamis, 27 November 2014


Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Peneliti di ASEAN Studies Center dan Bergiat di Muhammadiyah Muda Bulaksumur

Pemilu memang sudah lama usai. Namun, hingar-bingar kampanye di Pemilu Presiden dan Legislatif 2014 lalu masih menyisakan satu fenomena yang sama sekali tidak menggembirakan: kembalinya identitas komunal dalam artikulasi politik di akar-rumput.

Pemilu tahun ini memperlihatkan polarisasi yang semakin besar. Dengan hanya menyisakan dua calon, secara otomatis kekuatan massa terbelah di antara dua calin tersebut. Di saat dua kandidat Presiden –Joko Widodo dan Prabowo Subianto—sibuk dengan kampanye dan debat di level nasional, massa akar-rumput di kedua belah-pihak juga sedang terlibat dalam perang urat-syaraf dengan berbagai tensi.

Hal ini memberi dampak yang lebih besar di akar-rumput. Di Yogyakarta, perang urat-syaraf ini nampak sekali terlihat dengan ‘perang atribut kampanye’ di berbagai sudut kampung, terutama di wilayah yang menjadi basis kedua kubu. Sebelumnya, ketika kampanye Pemilu Legislatif, massa pendukung PPP dan PDI-Perjuangan juga terlibat dalam sebuah bentrokan di Kota Yogyakarta.

Belum lagi dengan semakin maraknya intoleransi dan mobilisasi kelompok-kelompok di akar-rumput. Hal ini belum termasuk berbagai black campaign di berbagai media yang, disadari atau tidak, menimbulkan sentimen-sentimen keagaman dan identitas tertentu di akar-rumput.

Komunalisme
Dengan merebaknya beberapa kerawanan sosial tersebut, apa yang sebenarnya sedang terjadi di Pemilu 2014 –atau politik Indonesia secara lebih luas? Berkaca pada kekerasan komunal yang juga marak pada akhir 1990an hingga awal 2000an, ada beberapa kemiripan pada apa yang terjadi saat ini.

Pertama, problem melemahnya institusi negara sebagai ‘penengah’ konflik yang ada.  Beberapa peneliti Indonesia seperti Garry van Klinken (2007), David Brown (2001) dan Jacques Bertrand (2004) melihat fenomena merebaknya ‘kekerasan komunal’ sebagai ekses dari melemahnya legitimasi negara. Politik Indonesia pasca-Soeharto diwarnai oleh konflik antara berbagai faksi politik di Jakarta yang, pada waktu itu, gagal mengembalikan stabilitas politik.

Konsekuensinya, gerakan-gerakan yang berbasis etnis dan keagamaan justru menguat dan menyebabkan munculnya kekerasan komunal di berbagai tempat pada waktu itu.

Kedua, ekses dari rezim neoliberal yang selama lebih dari satu dekade hadir di Indonesia. Saat ini, melemahnya institusi negara tidak terjadi karena kegagalan rezim politik dalam menciptakan kestabilan, namun justru karena desain institusionalisasi rezim neoliberal yang mengalihkan peran negara dan membuat negara diisi oleh transaksi politik akibat proses demokratisasi di tingkat lokal.

Rezim neoliberal yang berjalan beriringan dengan desentralisasi, sebagaimana dijelaskan dengan baik oleh Vedi R Hadiz (2010)  justru melokalisasi kekuasaan ke  ranah-ranah yang lebih kecil dan menciptakan raja-raja kecil di daerah. Distribusi kekuasaan dan sumber daya di daerah, dalam rezim politik saat ini, justru membuat kelompok-kelompok paramiliter lokal menguat, termasuk dalam bentuk kongsi-kongsi tertentu dengan kekuatan politik yang ada.

Ketiga, menguatnya politisasi identitas yang, sayangnya, tidak diikuti oleh dialog dan tidak diwadahi oleh institusi yang memadai. Baik Jokowi maupun Prabowo didukung oleh beragam kelompok yang berasal dari beragam kelompok etnis, agama, dan kelas sosial. Untuk menghadirkan suara, kedua belah pihak harus mampu meraih simpati dari masing-masing kelompok identitas dan, sebagai konsekuensinya, membuat mereka menjadi politis.

Politisasi identitas bisa bermakna baik karena mampu menghadirkan masing-masing identitas yang selama ini marjinal ke pentas politik. Sayangnya, politisasi identitas tersebut tidak diikuti oleh keinginan untuk saling berdialog dan diperparah oleh tidak adanya fasilitas negara untuk melakukan itu.

Akibatnya, kita banyak menemui banyak kerawanan sosial –potensi bentrok pendukung ‘merah’ dan ‘hijau’ di Yogyakarta hingga kebencian atas dasar agama yang dipolitisasi sedemikian rupa. Jika tidak disikapi, bukan tidak mungkin akan muncul berbagai gejolak di akar-rumput yang disebabkan oleh kekecewaan dalam Pemilu 2014.

Ketiga hal tersebut mencerminkan satu hal: Pemilu 2014 mengembalikan komunalisme tepat di jantung politik Indonesia. Komunalisme yang tidak diikuti oleh pelembagaan politik yang lebih serius dapat menghantam demokrasi dan, dengan kata lain, masa depan politik Indonesia secara lebih serius. Di sisi lain, komunalisme yang terpelihara juga berlawanan tentang ide tentang Komunitas ASEAN yang akan segera berjalan dalam 1-2 tahun mendatang.

Kewarganegaraan Demokratis
Upaya untuk mengatur politik komunal agar tidak berimplikasi pada kerentanan sosial, terutama di masa menjelang Pemilu 2014, dapat dilakukan dengan dua cara.

Pertama, mengoptimalkan ‘negara’ sebagai penengah dari kelompok-kelompok sosial yang mengalami ketegangan. Peran penyelenggara Pemilu dan aparat pemerintah dalam menertibkan kampanye negatif, kampanye hitam, perang atribut, hingga menyelesaikan persoalan intoleransi menjadi sangat dibutuhkan.

Peran negara sangat penting dalam menyediakan institusi atau fasilitas yang memungkinkan masing-masing kelompok sosial berdialog. Forum Kerukunan Umat Beragama atau semacamnya mestinya bisa dioptimalkan untuk proses dialog dan deliberasi antara masing-masing kelompok sosial.

Kedua, yang paling penting, menumbuhkan kultur kewarganegaraan demokratis di antara semua kelompok sosial yang ada. Walaupun tidak mudah, masing-masing kelompok sosial perlu diberi pemahaman untuk mau berdialog dan saling mengakui kerentanan masing-masing, hingga bisa menghindarkan konflik dan kekerasan yang lebih luas.

Menghadirkan kewarganegaraan demokratis menjadi penting terutama untuk menyambut Komunitas ASEAN di tahun 2015 yang akan datang. Komunitas ASEAN akan menghadirkan identitas-identitas lain di Asia Tenggara dan dengan demikian mengharuskan kita untuk memperlebar rasa saling-percaya (mutual recognition). Sehingga, komunalisme hanya akan membuat Indonesia tidak mampu bersaing di tingkat yang lebih luas.

Pada titik ini, peran entitas yang tidak terkait dengan polarisasi politik yang ada di tingkat nasional menjadi penting. Kampus sebetulnya punya peran yang sangat strategis. Sebagaimana dengan sangat baik disampaikan Novri Susan (9/6), ilmuwan sosial seharusnya punya imajinasi politik yang melampaui identitas politik seksional. Artinya, aktivitas-aktivitas keilmuan di kampus mesti diorientasikan untuk kepentingan yang lebih luas, bukan sekadar artikulasi partisan.

Keberpihakan kampus tidak justru membuat kampus kehilangan elan vital pengetahuannya. Akademisi tetap harus produktif menghadirkan gagasan dan pengetahuan baru. Akan tetapi, praksis berpengetahuan tersebut juga mesti menjadi ruang untuk memproduksi pengetahuan alternatif bagi masyarakat. Diskusi, seminar, pengajaran, working paper, jurnal, dan produk pengetahuan lain mesti punya signifikansi teoretis dan praktis bagi perbaikan masyarakat.

Dalam konteks komunalisme, kampus punya peran penting untuk menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang progresif untuk menumbuhkan kewarganegaraan demokratis. Riset-riset yang progresif semakin dibutuhkan. Ruang dialog perlu dibangun. Prasangka komunal sedikit demi sedikit perlu dikikis. Dengan cara itulah kampus bisa menjadi alternatif di tengah kerentanan dan hingar-bingar politik yang semakin hari semakin memusingkan kepala.

Billahi fi sabilil haq.






0 komentar: