Senin, 01 Desember 2014


Oleh: Ghifari Yuristiadhi
Mahasiswa Pascasarjana Sejarah UGM, Kader Pemuda Muhammadiyah Kota Yogyakarta, dan Aktivis Muhammadiyah Muda Bulaksumur

Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke-16 yang berlangsung di Padang, Sumatera Barat pada 20-22 November 2014 yang lalu telah usai dihelat. Permusyawaraan tertinggi organisasi otonom Muhammadiyah yang lahir pada 1932 di Yogyakarta tersebut berlangsung sesuai yang diharapkan meskipun acara dipadatkan sehari, yang sebelumnya dijadwalkan selesai hari Ahad (23/11) sore bisa diselesaikan pada Sabtu (22/11) dini hari. Jika muktamar hanya berbicara suksesi pengurus, maka pertanyaan yang terlontar kemudian adalah “Siapa Ketua Umum dan formatur terpilih PP Pemuda Muhammadiyah 2014-2018?” Namun jika melihat muktamar lebih dari itu, seharusnya yang muncul adalah “Program strategis apa yang akan dilakukan jajaran pimpinan pusat dalam rangka membumikan trilogi Pemuda Muhammadiyah: Religusitas, Humanitas dan Entrepreneurship?”

Evaluasi 
Harus diakui, Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah periode 2010-2014 tidak cukup produktif memproduksi program-program yang bersifat gerakan yang berfokus pada trilogi Pemuda Muhammadiyah. Selama empat tahun yang lalu belum ada gerakan religiusitas yang benar-benar terkonsep dengan baik, satu program yang pernah diselenggarakan adalah pelatihan muballigh. Follow-up-nya seperti apa, wallahua’lam. Terkait dengan gerakan sosial memang sudah ada beberapa gerakan pendampingan yang dilakukan melalui bidang Buruh, Tani dan Nelayan namun programnya masih sporadis dan belum terstruktur dengan baik ke wilayah-wilayah sehingga seakan pimpinan pusat berjalan sendiri. Menyangkut kewirausahaan, hampir tidak ada program yang signifikan yang diselenggarakan dalam rangka melahirkan berbagai amal usaha ekonomi milik Pemuda Muhammadiyah di berbagai tingkat struktur di bawah.

Belum lagi jika harus ditambahkan dua lagi yakni gerakan perkaderan dan keilmuan. Menurut saya, ada yang salah dengan Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah periode lalu menyangkut orientasi perkaderan. Sepertinya pekaderan yang ada dalam benak pimpinan pusat adalah bagaimana mendorong dan mempromosikan kader-kader Pemuda Muhammadiyah di setiap wilayah untuk masuk ke dalam partai politik yang kemudian menjadi wakil rakyat ataupun komisioner seperti KPU, Bawaslu, KPI, dll di kota/kabupaten, propinsi maupun pusat. Padahal, jika mau diinsyafi, hakikat perkaderan adalah dua hal: bagaimana menambah kuantitas dan bagaimana mengupgrade kualitas kader. Benarkah jika Pemuda Muhammadiyah sudah menempatkan kader-kadernya di dewan ataupun komisioner itu berarti perkaderan sukses? Bagaimana dengan fokus menambah kapasitas (skill berdakwah –orasi/tertulis, mendesain gerakan sosial baru, melahirkan gurita-gurita bisnis, mencapai  jenjang pendidikan tertinggi, dll) dan terus berkurangnya jumlah kader Pemuda Muhammadiyah di daerah dan wilayah?

Menyoal gerakan keilmuan, sepertinya Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah periode yang lalu belum memikirkan bagaimana kader-kader intelek Pemuda Muhammadiyah di setiap daerah dan wilayah diakomodir untuk mengakses beasiswa, meningkatkan kemampuan bahasa asing dan dibantu proses diaspora pengabdian mereka di perguruan tinggi Muhammadiyah maupun negeri. Jika teman-teman di organisasi lain sudah menggagas “1000 Doktor”, sepertinya Pemuda Muhammadiyah periode yang lalu tidak peduli dengan itu dan masih asyik berendam dalam kubangan orientasi politik yang berjangka pendek. Yang sangat mengagetkan menurut saya adalah statemen Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah periode lalu dalam Khutbah Wada’ ketika penutupan muktamar yang mengatakan bahwa “Jika menginginkan gerakan intelektual, maka pergilah ke IMM!” Saya yang mendengar langsung statmen itu seketika langsung berpikir bahwa memang Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah periode lalu benar-benar tuna-orientasi keilmuan dan lupa bahwa durasi aktif di IMM itu dibatasi usia. Padahal Pemuda Muhammadiyah yang dalam Anggaran Dasarnya bertujuan menghimpun potensi pemuda Islam (salah satunya dalam bidang keilmuan) justru memiliki batas usia yang lebih panjang, yakni 40 tahun! Usia maksimum aktif 40 tahun ini seharusnya bisa dijadikan patokan bahwa bersamaan dengan tunainya amanah di ortom Pemuda Muhammadiyah maka kader Muhammadiyah telah mencapai jenjang tertinggi akademiknya: doktor! Namun sayang gerakan intelektual ini absen dari Pemuda Muhammadiyah periode lalu.

Catatan terakhir mengenai periode yang lalu adalah seakan-akan institusi Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah adalah Ketua Umum dan Ketua Umum adalah Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Jika dilihat prestasi pribadi Ketua Umum selama menjabat sangatlah luar biasa. Beliau diundangnya ke Maroko dan beberapa negara timur tengah untuk menghadiri berbagai event kenegaraan, mengisi konferensi di beberapa negara, antara lain India, mempunyai jejaring yang sangat baik dengan berbagai kedutaan besar, dan lain-lain. Seakan-akan Ketua Umum berlari sendiri dan pimpinan pusat yang lain ketinggalan gerbong. Kepemimpinan Muhammadiyah dan semua ortomnya yang kolektif kolegial seharusnya dijadikan prinsip utama dalam membangun dan menyehatkan organisasi. Jika Ketua Umum berjalan sendiri (meskipun selalu menggunakan nama Pemuda Muhammadiyah, maka bisa dipastikan kader yang berada di pimpinan pusat lain tidak bisa berkembang dan tenggelam di bawah bayang-bayang Ketua Umum. Dalam banyak hal, gerakan Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah yang kurang menggandeng wilayah-wilayah seakan-akan menisbatkan Pimpinan Pusat sebagai “Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah” ke-35.

Langkah Strategis
Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah 2014-2018 terpilih, Dahnil Anzar Simanjuntak seharusnya melakukan terobosan yang besar dalam rangka memperbaiki dan menyempurnakan program-program Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Orientasi “event organizer” sudah harus bergerser pada orientasi “gerakan”. Mulai dari dakwah, sosial kemasyarakatan, kewirausahaan, perkaderan dan keilmuan. Di luar beberapa hal yang tersebut di atas, masih ada beberapa hal yang belum tersebut yang juga harus mendapatkan perhatian lebih dari Ketua Umum, misalnya hikmah dan kebijakan publik dan hubungan luar negeri. Bagaimana dalam dua bidang tersebut peran-peran Pemuda Muhammadiyah harus lebih menonjol. Selain itu tentunya Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) sebagai alat perkaderan dan paramiliter Pemuda Muhammadiyah juga harus diatur ulang stategi brandingnya. Jika paramiliter lain lebih menjual toleransi dengan menjaga gereja saat natal, maka KOKAM seharusnya bisa memberikan tawaran yang lain yang tidak kalah hebat.

Kemampuan menggandeng media dan jika memungkinkan menjadi “media darling” seharusnya diupayakan. Pemuda Muhammadiyah seringkali dianggap absen dalam menanggapi isu-isu lokal dan global yang menyangkut dunia Islam. Pemuda Muhammadiyah seakan-akan berwujud tetapi tak berwujud dikarenakan sering kali absen masuk dalam pemberitaan media. Menyebar kader-kader terbaik di media-media nasional seharusnya juga dipikirkan karena memang itu akan membuka peluang Pemuda Muhammadiyah mendapatkan liputan yang tentu saja menaikkan citra dan posisi tawar Pemuda Muhammadiyah di mata organisasi kepemudaan lain. Kesadaran bermedia ini seharusnya menjadi salah satu fokus gerakan Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah periode ini mengingat tingginya angka pengguna media di Indonesia, terlebih di era digital yang seharusnya lebih memudahkan Pemuda Muhammadiyah mengambil positioning.

Latar belakang seorang penulis, pengusaha kelapa sawit, akademisi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten serta ketua forum pemuda lintas agama untuk perdamaian yang dimiliki Ketua Umum, seharusnya bisa lebih membangun kapasitas kader dalam bidang-bidang yang tersebut di atas. Mengulangi sentralitas gerakan organisasi pada Ketua Umum adalah kesalahan besar yang semoga tidak terjadi lagi. Semoga Ketua Umum yang menggagas konsep “nalar baru untuk gerakan Pemuda Muhammadiyah” benar-benar mampu menginspirasi semua pimpinan wilayah dan daerah dalam rangka me-re-install khittoh perjuangan Pemuda Muhammadiyah yang berpondasikan religiusitas, humatinas dan entrepreneurship plus keilmuan, sehingga Pemuda Muhammadiyah tetap berjalan di jalannya dan benar-benar sadar ke mana mereka berjalan.

Nasrun minallahi wafathun qoriib. Fastabiqul khairaat.

0 komentar: