Kamis, 11 Desember 2014

[kliping]


Oleh: Kuntowijoyo 

Mentalitas umat Islam Indonesia masa kini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada 1914—lebih 80 tahun yang lalu—ketika D.A Rinkes, Penasihat untuk Urusan Bumiputera, mengatakan bahwa umat melakukan mistifikasi agama (H. 1083, 35 KITLV), artinya percaya bahwa dengan Islam segalanya akan beres, tetapi tidak tahu apa yang harus dikerjakan, hanya “ikut arus” kejadian sehari-hari tanpa tujuan yang jelas. Bisa dipahami kalau dalam dalam waktu yang sama Radjiman Widiyodipuro—tokoh BU—berpendapat bahwa agama tidak dapat menjadi pengikat massa, meskipun dapat menjadi daya tarik (indische Gids, 1914, I, 65-66). Keadaan itu agak tertolong ketika pada 1915 Tjokroaminoto merumuskan sebuah pra-ideologi dengan mengatakan bahwa “Islam adalah agama bagi orang miskin dan orang tertindas” (Vb 25-2-1916-49 MR 1572/15).

Sejak itulah Islam dilihat sebagai ideologi. Tetapi, ideologisasi Islam itu di masa kini akan merupakan ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan apakah kebangkitan Islam itu tidak dirasakan sebagai ancaman, tetapi sebagai rahmat? Satu-satunya jalan ialah jalan revitalisasi tradisi keilmuan Islam. Ilmu Islam yang bagaimana akan menguntungkan umat, bangsa, dan kemanusiaan?


Tradisi Keilmuan Islam di Indonesia

Salan satu sebab dari keterbelakangan umat ialah tidak nyangkutnya teori dengan praktik, atau ilmu dengan kenyataan. Kita sudah gagal menjadikan ilmu-ilmu Islam sebagai sarana untuk memperbaiki kondisi umat. Kita hanya menyerahkan perkembangan sejarah umat pada ilmu-ilmu normatif. Ilmu-ilmu sosial yang kita kembangkan hanya membuat orang terasing dengan dirinya sendiri, atau menjadikan orang asing dengan Islam. Itu disebabkan karena ilmu yang kita kembangkan adalah cangkokan, tidak berakar pada masyarakat. Ilmu itu juga menganut dikotomi yang jelas antara fakta dan nilai, mempunyai bias positivis seperti ilmu alam, seolah-olah ilmu sosial itu bebas nilai, objektif, dan murni empiris. Kita malu untuk mengakui keterkaitan ilmu sosial dengan nilai-nilai sosial dan budaya, kita takut dituduh tidak ilmiah, tidak objektif.

Si Barat pun orang sudah lama ragu-ragu akan ilmu sosial yang “bebas nilai”. Strukturalisme-fungsionalisme mempunyai bias nilai-nilai masyarakat borjuis yang menginginkan sebuah equilibrium yang dinamis. Munculnya ilmu sosial Marxis dan Critical Theory adalah gugatan pada kemapanan ilmu sosial yang ada. Menurut Marx, ilmu itu tidak hanya memahami gejala-gejala, tetapi harus mempunyai kekuatan mengubah.

Setidaknya ada tiga tradisi keilmuan Islam di Indonesia, yaitu normatif, ideologis, dan ilmiah.

Tradisi Normatif
Ada dua kemungkinan dalam tradisi ini, yaitu deklaratif dan apologetis. Kemungkinan untuk perkembangan ilmu yang deklaratif selalu diperlukan untuk dakwah, supaya pemeluk Islam menjalankan agamanya dengan ilmu, tidak blilu tau (ikut-ikutan). Sekolah, pesantren, masyarakat, dan banyak orang perguruan di perguruan tinggi mengembangkan ilmu-ilmu normatif deklaratif. Buku-buku asli dan terjemahan mengenai tafsir, hadits, tarikh, dakwah, akidah, syariah, akhlak, dan tasawuf semuanya normatif deklaratif. Islam yang abadi (dari segi waktu) dan universal (dari segi tempat) dapat dilihat dalam tradisi ini. Maraknya penerbitan buku-buku Islam, di antaranya Bina Ilmu di Surabaya dan Gema Insani Press di Jakarta, yang terbanyak juga dalam tradisi ini.

Selain itu, ciri-ciri apologetis juga menonjol. Seseorang hanya perlu melihat Buku Islam Sejak Tahun 1945 (Jakarta: CV Haji Masagung, 1990) untuk mengetahui masalah ini. Tema yang sering muncul ialah soal wanita, ilmu pengetahuan sejarah, dan hak-hak asasi. Munculnya tradisi ini jelas disebabkan  oleh karena para Orientalis dan hegemoni Barat selalu mendiskreditkan Islam baik dalam Ilmu, media massa, maupun politik. Gambaran tentang Islam sebagai institusi yang ketinggalan zaman bahkan diadopsi oleh orang Islam sendiri. Inferioritas masih banyak menghinggapi kita, kiranya sebuah gerakan decolonization of consciosness diperlukan, supaya perkembangan ilmu-ilmu Islam bukan reaktif, tetapi aktif, duduk sejajar dengan golongan lain. Aktif berperan dalam sejarah kemanusiaan. Buku-buku Mizan, dapat diambil sebagai contoh dekolonisasi kesadaran itu.

Tradisi Ideologis
Pada tahun 1924 Tjokoroaminoto menerbitkan buku, Islam dan Socialisme (Djakarta: Penerbit “Bulan Bintang”, 1954). Buku itu jelas-jelas sebagai jawaban atas Marxisme yang dikembangkan oleh SI-Merah. Buku itu berjasa karena sejak itu ada internasionalisasi, Islam Indonesia memakai rumusan internasional. Sekalipun demikian ideologisasi gerakan Islam adalah too late too little, tidak dapat menandingi Marxisme, karena tidak meyakinkan. Buku itu penuh contoh akhlak mulia dari Rasul dan para sahabat. Yang dilupakan dalam buku itu ialah teori sosial, analisis, strategi, dan metode. Sepertinya Islam itu indah dulu, tetapi tidak ada penjelasan mengapa kemudian ia terpuruk. Padahal musuhnya ialah Marxisme, yang sudah berpengalaman lebih dari 70 tahun dalam gerakan buruh, sudah punya negara. Lebih dari segalanya, buku itu tidak menjelaskan bagaimana akhlakuk karimah individual dapat menjadi akhlakul karimah sosial.

Keadaan tidak banyakb berubah ketika Pemilu 1955 diadakan. Buku Tjokroaminoto dicetak lagi, berulang-ulang (1954 adalah cetakan ke-5). Penerbit Bulan Bintang, Tintamas, dan banyak penerbitan lokal—seperti AB. Sitti Syamsiah di Solo—banyak berperan dalam menerbitkan buku-buku ideologis. Tema kajian pada zaman itu ialah perbandingan Ideologi. Biasanya dibandingkan Islam, Kapitalisme, dan Komunisme. Dalam tradisi inilah termasuk buku Musthafa Husni Assiba’i (1959) yang semula diberi judul Sosialisme Islam diterbitkan kembali dengan judul Kehidupan Sosial Menurut Islam: Tuntunan Hidup Bermasyarakat (Bandung: CV Diponegoro, 1981).

Ada perbedaan penting antara buku Tjokroaminoto yang ditulis pada pra-proklamasi dengan buku Assiba’i yang diterjemahkan pada pasca-proklamasi, yaitu yang pertama ditulis dengan pendekatan akhlak, yang kedua dengan pendekatan syariah. Tidak adanya negara dan adanya negara rupanya menjadi penyebab perbedaan itu. dalam hal ini struktur mempengaruhi super-struktur. Dengan kata lain, tradisi ideologis juga punya dinamika karena perbedaan kondisi sosio-politik.

Tradisi Ilmiah
Harus diakui bahwa tradisi ilmiah dimulai oleh sarjana asing, seperti Snouck Hurgronce, Schrieke, dan Pijper. Betul bahwa mereka tidak sepenuhnya disinterested, tetapi metide empirisnya patut dihargai. Tanpa mereka, kita tidak punya dokumen faktual untuk periode 1900-1940. Sesudah kemerdekaan, tahun-tahun 1950-an ada Clifford Geertz. Pandangannya dalam Religion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, 1960) tidak dapat ditinggalkan oleh peneliti sesudahnya. Sekalipun trikonominya priyayi, santri, dan abangan sudah banyak mendapat kritik, tetapi buku itu sangat berguna untuk melihat situasi keagamaan dan religio-politik pada zamannya. Tentu saja keadaan sudah berubah, ada pembauran antara ketiga sektor itu.

Disertasi-disertasi di IAIN memakai pendekatan empiris (kontekstual, sosial, historis) seperti tradisi ilmiah umumnya atau pendekatan tekstual (literary critism, hermeneutik) seperti tradisi normatif. Kedua-duanya tidak banyak pengaruhnya dalam kehidupan sosial; mungkin umat lebih yakin, tetapi tidak lebih cerdas. Karena itu, harus ada gerakan intelektual yang menghubungkan perkembangan intelektual dengan perkembangan sosial, kampus dengan masyarakat.

Ilmu-Ilmu Sosial Profetik
Definisi. Sesudah tradisi keilmuan itu diletakkan, perkembangan ilmu-ilmu Islam bersifat sintagmatis (syntax ialah pengaturan kata dalam kalimat), tidak ada terobosan, tidak ada paradigma baru. Ilmu-ilmu Islam telah menjadi apa yang disebut Thomas S. Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolution (Chicago: The University of Chicago Press, 1973) sebagai normal science. Cara mendapatkan paradigma baru itu ialah dengan mengubah komitmen.
Komitmen tradisi normatif ialah dakwah, komitmen tradisi ideologis ialah politik, dan komitmen tradisi ilmiah adalah ilmu. Paradigma baru itu harus mempunyai komitmen baru, yaitu umat (masyarakat, komunitas, rakyat, kaum, bangsa). Paradigma baru itu akan kita sebut Ilmu Sosial Profetik.

Dasar Ilmu Sosial Profetik itu dapat dibaca dalam QS Ali ‘Imran (3): 110:
Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mecegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.

Ada tiga unsur, yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minuuna billah. Amar ma’ruf itu sesuai dengan semangat peraban Barat yang percaya kepada the idea of progress, demokrasi, HAM, liberalisme, kebebasan, kemanusiaan, kapitalisme, dan selfishness. Bahkan seorang ateis seperti J.P. Sartre menyebut eksistensialismenya sebagai humanisme. Mereka ingin humanisation, memanusiakan manusia, atau –dalam bahasa agamanya— mengembalikan manusia pada fitrahnya. Sebaliknya, nahi munkar itu sesuai dengan prinsip sosialisme (Marxisme, komunisme, teori ketergantungan, teologi pembebasan) yaitu liberation. Mereka percaya bahwa perkembangan dapat dicapai melalui pembebasan (Lihat buku Gerald J. Kruijer, Development through Liberation, London: Macmillan Education Ltd., 1987). Tu’minuuna billah sama dengan transendence yang menjadi prinsip semua agama dan filsafat parenial (Mengenai transendensi lihat Roger Garaudy, Mencari Agama pada Abad XX: Wasiat Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1986). Jadi, Ilmu Sosial Profetik ialah humanisasi, liberasi, dan transendensi.

Asal-usul intelektual Ilmu Sosial Profetik ialah buku Muhammad Iqbal Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (Djakarta: Tintamas, 1956). Dalam bab tentang “Jiwa Kebudayaan Islam” dengan mengutip kata-kata seorang sufi, Abdul Quddus, Iqbal memaparkan perbedaan kesadaran Rasul (kesadaran profetik) dengan kesadaran mistik. Abdul Quddus mengatakan (h. 123): “Muhammad telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi allah aku bersumpah, bahwa kalau aku jang telah mentjapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi.” Seorang intelektual adalah pewaris Nabi. Seorang intelektual Muslim tidak boleh berpangku tangan, sementara dunia akan tenggelam.

Aktivisme intelektual Muslim adalah kegiatan ilmiah, tidak vulgar, dan dari standar objektif apa pun harus ekselen. Ia tidak pernah menjadi eksklusif, dapat memakai aliran apa pun yang ada, kecuali yang bertentangan dengan dirinya. Krisis ilmu sosial sekarang ini tidak diatasi dengan penolakan-penolakan tetapi dengan mengubah komitmennya, yaitu pada masyarakat yang konkret, dan kaidahnya, yaitu profetisme. Vulgarisasi ilmu hanya akan menjatuhkannya jadi alat propaganda yang menyesatkan.

Kegiatan. Ilmu sosial tertentu peka dengan gejala tertentu, tetapi bisa jadi tidak memperhatikan gejala lain. Misalnya Marxisme peka dengan masalah inquality, feminisme dengan masalah dominasi laki-laki atas perempuan, dan Freudianisme dengan masalah seksualitas. Apa pun akan selalu dikembalikan pada perhatian utamanya. Marxisme akan melihat kebudayaan (termasuk agama) sebagai cerminan dari kondisi sosial, atau structure menentukan superstructure. Tema utama dari kritik sastra feminis ialah bagaimana perempuan dicitrakan dalam sastra. Freudianisme akan melihat agama sebagai usaha mencari “ayah yang hilang”, atau sport bermula dari kebutuhan laki-laki untuk mengekspresikan kejantanannya. Dalam ilmu seseorang tidak boleh memegang ilmunya secara fanatik, termasuk Ilmu Sosial Profetik; dalam ilmu, kebenaran itu komplementer, tidak absolut.
Demikianlah Ilmu Sosial Profetik harus mempunyai perhatian utama. Perhatian utama itu ialah emansipasi umat, yang konkret dan historis, dengan menyangkutkannya dengan problem-problem aktual yang dihadapi umat. Problem sekarang ialah bagaimana mengantarkan umat dalam transformasi menuju masyarakat industrial, civil society, ekonomi yang non-eksploitatif, masyarakat demokratis, negara rasional, dan budaya yang manusiawi.

Untuk itu ada tiga program yang dapat dikerjakan: teorisasi, strukturasi, dan transformasi.

Teorisasi. Umat biasa berpikir secara fiqih yang hanya mengenal kategorisasi yang jelas, bersifat dikotomi halal-haram atau pembagian lima wajib-sunnahmubah-makruh-haram. Fiqih lahir dalam masyarakat agraris. Yang kita perlukan ialah sebuah teori yang berbicara tentang sejarah, proses, dan hubungan. Jadi tidak hanya berupa reaksi berdasarkan hukum terhadap gejala sosial (halal-haram), tetapi juga antisipasi ke depan. Dengan demikian umat dapat aktif tidak hanya reaktif. Misalnya kita perlu teori tentang keadilan, tentang hubungan antara negara dan masyarakat, dan tentang modal dan tenaga kerja. “Kekalahan” SI-Putih dari SI-Merah, atau Sarbumusi dari SB-SB di bawah PKI, atau PERTANU dari BTI, atau tidak dipakainya “jalan Islam” oleh PRD, semuanya disebabkan karena tidak tersedianya teori. Kita sudah ditolong Tuhan pada 1965-1966, marilah kita sekarang menolong diri sendiri, “menolong” Tuhan. Benar kita sudah punya modal dalam berperilaku, yaitu akhlak. Tetapi rupanya dalam zaman modern kita perlu juga teori. Untuk mengubah akhlak menjadi teori sosial itu adalah tugas kaum intelektual. Orang yang mengatakan “politik berdasarkan akhlakul karimah” dikhawatirkan kena penyakit mistifikasi Islam.

Strukturasi. Orang perlu tahu secara persis apa yang akan dikerjakan umat di masa depan dengan Indonesia. Mistifikasi yang sudah disinyalir 80 tahunan yang lalu, masih akan terjadi sekarang ini, pada waktu anak-anak umat sudah pandai membuat pesawat terbang, kalau sesuatu tidak dikerjakan. Dengan studi komparatif, misalnya tentang sistem ekonomi, kita akan punya gambaran tentang sebuah sistem ekonomi yang dinamis, tetapi tidak eksploitatif. Selama ini kebanyakan kaum intelektual mendefinisikan gerakan Islam sebagai gerakan kultural atau gerakan moral. Itu baik, kalau yang dimaksudkan ialah tidak diinginkannya kedudukan struktural dalam lembaga eksekutif. Kiranya istilah “struktural” di sini ialah pengetahuan tentang struktur, tentang apa yang akan dikerjakan, jadi tidak ada sangkut-pautnya dengan perjuangan kulturan dan struktural.

Transformasi. Sejarah politik kita adalah suatu disrupted history karena dari belajar berpolitik sejak zaman SI tiba-tiba menjadi floating mass gara-gara tragedi nasional 1965. Kerika kran politik mulai terbuka—30-an tahun sesudah 1965—ada tragedi lain, yaitu 27 Juli 1996. Kita khawatir jangan-jangan itu jadi alasan pembenar terhadap “floating mass” yang lain.

Tentang politik, kalau pada zaman SI umat adalah kawulo dan umat baru merasakan jadi warga negara 1945-1960 (1960-1965 umat kebanyakan dikejar-kejar sebagai kontra-revolutioner) maka akhir-akhir ini ada tanda-tanda bahwa mentalitas kawulo itu akan kembali lagi. Kalau itu benar, akan sia-sialah kalau selama ini (sudah 10-an tahun) Moeslim Abdurrahman berbicara tentang teologi transformatif, karena transformasi itu tak konjung sampai.

Tetapi itu cerita tentang transformasi politik. Padahal, perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial (atau dalam waktu lain, masyarakat industrial ke masyarakat pasca-industrial) lebih dari gejala politik, tetapi juga gejala sosial, budaya, dan agama. Khusus untuk umat, perubahan-perubahan agama, kelembagaan, kepemimpinan, dan kebudayaan sangat penting diketahui supaya umat tidak merasa seperti dilemparkan dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial. Kaum intelektual dituntut untuk menyiapkan umat menghadapi transformasi itu.

Prioritas, Dinamika, dan “Musuh”
Prioritas Ilmu Sosial Profetik ialah Teorisasi. Sejarah intelektual Islam sangat miskin dengan teori, terutama teori sosial. Kiranya hanya Ibn Khaldun (1332-1406) yang paling berhak menyandang gelar Bapak Teori Sosial Islam, teori yang lahir karena deduksi dari ayat-ayat Al-Qur’an dan induksi, pengamatan, dari sejarah bangsa-bangsa waktu itu. Namun, teori-teorinya, selain selain ada jarak waktu, juga ada jarak geografis dan sosial dengan masalah umat kontemporer. Mungkin teori Max Weber mengenai agama dapat menjadi rujukan, sekalipun pemahamannya mengenai Islam sangat minimal, hanya dari sumber sekunder yang penuh bias. Bryan S. Turner (1974) telah menulis Weber and Islam: A Critical Study. Memahami diri sendiri, kiranya sangat diperlukan untuk merencanakan masa depan. Tidak ada orang lain yang mempunyai posisi lebih baik daripada kaum intelektual Muslim sendiri.

Jangan dibayangkan bahwa Ilmu Sosial Profetik adalah bangunan yang monolitis, tanpa dinamika, tidak ada wacana, sebab segalanya sudah selesai dengan semboyan “kembali ke Al-Quran”, karena Al-Quran adalah Al-Furqan, pembeda. Yang dijelaskan dalam Al-Quran adalah benar dan salah menurut agama (aqidah, syariah, akhlak), bukan benar dan salah menurut ilmu. Misalnya konsep tentang manusia (innate structure-nya) yang akan berpengaruh dalam metodologi. Setidaknya ada tiga pendapat. Pertama, ruh dan badan itu sejajar. Kedua, primacy dari ruh. Ketiga, primacy dari badan. Kalau kita baca ruh sama dengan superstructure, dan badan sama dengan structure, kita akan masuk dalam perdebatan tentang Marxian dan Hegelian, sosiologisme dan eksistensialisme.
Pertanyaan selanjutnya, untuk apa Ilmu Sosial Profetik muncul? Selain ke dalam untuk emansipasi, juga keluar untuk bertahan. Kita sedang menghadapi “perang”, ghazwul fikr atau intellectual agression. “Musuh” kita adalah materialisme dan sekularisme dunia modern. Tugas intelektual Muslim ialah berjihad intelektual.

Kalau saya boleh usul, untuk lima belas tahun diadakan moratorium kegiatan ilmiah yang lain. Pengerahan seluruh disertasi di IAIN dan semua kegiatan intelektual kita semata-mata untuk mengubah mentalitas umat, mempersiapkan umat memasuki era industrialisasi, globalisasi, dan perdagangan bebas. Melalui diseminasi lewat penerbitan, seminar, dan training-training gagasan-gagasan akan mencapai umat. Diharapkan bahwa pada 2020 umat sudah siap menghadapi perubahan-perubahan.

Untuk itu kaum intelektual perlu meninggalkan sikap-sikap kontroversial—misalnya, manusia pertama itu bukan laki-laki tetapi wanita. Umat sudah lama menderita, sehingga sebuah shock therapy hanya akan menambah penderitaan itu, tidak menjadikannya sehat.[]

(9 Juli 1996)

Tulisan ini juga dipublikasikan dalam buku "Muslim Tanpa Masjid"

0 komentar: