Rabu, 28 Oktober 2015


Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar[1]

…[k]ader politik Muhammadiyah ada di berbagai tempat sehingga, jika menjurus ke satu partai, terjadi kader Muhammadiyah di partai lain tidak terayomi. Tapi kita memandang perjuangan politik itu tetap penting.
Wawancara dengan Haedar Nashir

Pendahuluan
Pada tahun 1971, sidang tanwir Muhammadiyah telah mendeklarasikan sebuah khittah: bahwa Muhammadiyah bukanlah partai politik, akan menjaga jarak dengan semua kekuatan politik yang ada, serta membebaskan warganya untuk mengaktualisasikan kepentingan politiknya di manapun. Namun demikian, dari tahun ke tahun, ada satu fenomena yang kemudian muncul: keterkaitan Muhammadiyah dan politik adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Walaupun Muhammadiyah telah mendeklarasikan diri untuk ‘menjaga jarak’ dari semua partai politik (atau dengan kata lain, kekuatan politik yang ada), basis sosialnya yang kuat serta persentuhan anggotanya dengan realitas politik membuat praktik sehari-hari Muhammadiyah, dalam titik tertentu, menjadi sangat politis.

Walaupun Muhammadiyah telah mendeklarasikan dirinya sebagai sebuah kekuatan beyond politics (dalam bahasa Amien Rais tahun 1990an, High Politics), Muhammadiyah tak bisa berlepas dari kenyataan bahwa banyak kader dan warganya yang berkecimpung di dunia politik praktis, baik di kursi pemerintahan, kepala daerah, anggota legislatif, maupun pegiat partai politik.

Di era keterbukaan hak politik yang dimulai sejak 1999, aktivitas berpolitik menjadi sebuah hal yang lumrah. Konsekuensinya, sedikit-demi-sedikit, Muhammadiyah mulai 'terseret' arus yang besar itu. Saya masih ingat, di arena Musyawarah Daerah Pemuda Muhammadiyah Banjarmasin yang sempat saya ikuti delapan tahun silam, rekomendasi yang dinyatakan adalah tetap mengawal otonomi daerah melalui politik. Ini bukan berarti Pemuda Muhammadiyah turun ke politik, tetapi lebih pada 'menitipkan' agenda-agenda keumatan Muhammadiyah pada kadernya di parlemen. Artinya, ada interkoneksi antara Muhammadiyah dan politik pada level ini.

Begitu juga di pemilihan-pemilihan kepala daerah atau legislatif. Kendati tidak secara formal, dulu ketika menjelang Pemilu 2004, di pertemuan-pertemuan warga Muhammadiyah selalu dikenalkan tokoh yang akan mencalonkan diri menjadi anggota DPD-RI. Kondisi serupa terjadi pula menjelang tahun 2009, Pemilihan kepala daerah, maupun Pemilu 2014 di mana ada warga Muhammadiyah yang akan bertarung. Artinya, walaupun secara organisasional dan kelembagaan Muhammadiyah tidak melekatkan/mengafiliasikan diri pada partai politik, tetap ada kebutuhan yang tak terhindarkan untuk bersentuhan dengan politik.

Beberapa hal ini mengantarkan kita pada sebuah diskusi mengenai perlunya ‘rumusan ideologis’ yang lebih jelas dalam Muhammadiyah. Sejauh ini, dokumen ‘ideologi’ sudah dirumuskan dalam berbagai tulisan dan pemikiran (terutama, tentu saja, dalam tulisan-tulisan Haedar Nashir). Namun, ideologi bukan hanya sesuatu yang bersifat ‘normatif’, tetapi juga “..hadir dalam berbagai bentuk artikulasi, bahkan yang saling bertentangan satu sama lain pun” (Lukacs, 1963). Ideologi adalah hal yang memberikan kesadaran bagi seorang ‘subjek’ –dalam hal ini, warga Muhammadiyah— ketika dia tampil ke ranah sosial. Begitu juga dalam ranah politik. Artinya, ketika bicara soal ideologi, yang kita bicarakan bukan hanya rumusan normatifnya, tetapi juga pengejawantahannya dalam keseharian warga Muhammadiyah.

Maka dari itu, artikel ini akan mengajukan dua pertanyaan : (1) bagaimana rumusan ‘normatif’ dalam ideologi politik Muhammadiyah? (2) tantangan apa yang akan dihadapi oleh Muhammadiyah dalam menerjemahkan ideologi tersebut menjadi identitas politik yang lebih praktis?

Kedua pertanyaan tersebut akan didiskusikan pada empat bagian. Pertama, rekonstruksi konsep politik dengan memperluas makna “politik”, bukan hanya sebatas institusi-institusi politik formal, tetapi juga ’pertarungan’ yang membuat Muhammadiyah hadir sebagai salah satu kekuatan di dalamnya. Kedua, pengalaman Muhammadiyah dalam ‘terlibat’ dengan politik praktis, dengan mengambil insight pada pengalaman politik di tingkat desa maupun di tingkat nasional. Ketiga, rumusan normatif Muhammadiyah tentang politik, yang tergambar dari doktrin-doktrin ideologisnya di persyarikatan. Keempat, beberapa catatan atas pengejawantahan ’ideologi’ politik tersebut menjadi identitas politik yang akan membedakan Muhammadiyah dengan kekuatan lain, serta tantangan-tantangan yang akan menyertainya.

Memahami ’Politik’: Dari Institusi-Sistem ke Antagonisme
Dalam sebuah tulisannya di Republika, 7 Mei 2015, Hajriyanto Tohari mengajukan satu pertanyaan singkat: Apakah Muhammadiyah berpolitik? Jawaban beliau sederhana, tetapi menyimpan kebingungan sendiri: Ya, Muhammadiyah berpolitik, tetapi ‘berpolitik’-nya Muhammadiyah berbeda dengan cara berpolitik kelompok yang menjadikan politik sebagai profesinya.[2]

Dalam tulisan tersebut, Hajriyanto mencoba mengevaluasi peran politik Muhammadiyah dan ‘perlu’-nya Muhammadiyah memiliki partai politik. Baginya, hal ini tak terhindarkan jika mengevaluasi ‘kebimbangan’ Muhammadiyah dalam pentas politik akhir-akhir ini, seperti, misalnya, ketidakhadiran Muhammadiyah dalam kabinet Jokowi-JK. Ketidakhadiran Muhammadiyah dalam ‘politik alokatif’ ini (seperti pernah diulas oleh Dien Syamsuddin pada tahun 1990an) dianggap sebagai bentuk ‘pengabaian’ atas Muhammadiyah sebagai jangkar kekuatan Islam yang penting di Indonesia.

Pembicaraan tentang Muhammadiyah dan politik, sebetulnya, juga pernah dibicarakan oleh Dien Syamsuddin dan Amien Rais dalam konteks yang berbeda pada tahun 1990an. Dien Syamsuddin menyebut keterlibatan Muhammadiyah sebagai ‘politik alokatif’, dengan mengupas kiprah Muhammadiyah dalam mempertahankan eksistensinya di tengah dinamika politik Indonesia tahun 1971-1980an (lihat Syamsuddin, 1995). Sementara itu, Amien Rais mengungkap gagasan High Politics dalam menjelaskan perspektif Muhammadiyah tentang politik, yang menurutnya melampaui politik kepartaian (low politics) yang berdimensi kekuasaan namun membawa nilai-nilai ‘adiluhung’ yang dimensinya adalah peradaban (lihat Muzakki, 2004).

Ketiga potret pemikiran tersebut pada dasarnya menyiratkan sebuah kebimbangan tentang posisi Muhammadiyah dalam politik: jika Muhammadiyah tidak ingin disamakan dengan ‘partai politik’ yang memang ingin merebut kekuasaan, lantas bagaimana sebetulnya sikap Muhammadiyah terhadap kontestasi politik demokratis yang menempatkan partai politik sebagai aktor utama? Bukankah politik, dalam bentuk apapun, pada dasarnya adalah bicara tentang kekuasaan? Apakah dengan demikian Muhammadiyah harus mengeksklusi/memencilkan diri dari politik?

Kebimbangan tersebut pada dasarnya wajar ketika melihat ‘perspektif’ atau cara pandang Muhammadiyah terhadap politik. Beberapa pemikiran di atas melihat bahwa politik pada dasarnya adalah soal pengaturan ‘sistem-institusional’. Hal ini terlihat dari, misalnya, pandangan bahwa Muhammadiyah perlu partai politik, memainkan lobi-lobi yang positif, hingga pemilahan politik yang ‘kotor’ dan ‘adilihung’. Hal ini kemudian terkulminasi dalam ijtihad-ijtihad ‘politik’ warga Muhammadiyah di kemudian hari: dengan membentuk PAN, masuk sebagai Menteri di beberapa kabinet, atau menjadi oposisi dan aksi-aksi demonstrasi (yang kini dimainkan oleh beberapa Ortom).

Pandangan di atas sebetulnya berakar dari pandangan tentang ’politik sebagai sistem’ yang mengemuka dalam literatur-literatur politik di Amerika Serikat tahun 1970an. Jika dilihat dalam cara pandang itu, ‘politik’ akan diasosiasikan pada input, output, dan proses yang bermain dalam alur organisasional/kelembagaan tertentu (lihat Easton, 1953). Dengan demikian, bicara politik berarti bicara soal ‘institusi formal’ yang ada di dalamnya, atau soal perilaku orang yang ada di dalamnya (lihat Almond dan Verba, 1963). Dalam kerangka yang lebih baru, politik berarti bicara soal demokrasi dan institusi-institusi pendukungnya (lihat Huntington, 1993; Linz dan Stepan, 1996; Mujani, 2008). Argumennya, politik bicara soal decision-making dan public policy, yang dibuat dengan asumsi-asumsi ‘demokratis’ (melalui partai politik) atau ‘teknokratis-birokratis’) melalui pemutus kebijakan publik di level eksekutif. Semua level memiliki ‘fungsi’ masing-masing yang beroperasi dalam rezim politik yang ada. Pendekatan-pendekatan semacam ini cukup mainstream dalam kajian-kajian politik Indonesia, baik di masa Orde Baru maupun pasca-Orde baru, dan sering dipakai untuk memahami apa yang disebut sebagai “politik”.

Kerangka yang digunakan oleh beberapa literatur di atas berada dalam kerangka epistemologi tersebut. Dengan kesimpulan bahwa Muhammadiyah memerlukan partai politik untuk kepentingan mobilisasi dan sistematisasi kepentingan, kita bisa melihat bahwa cara pandang yang digunakan adalah cara pandang fungsionalis-institusional. Hal ini tidak salah, sebetulnya. Dalam titik tertentu, politik memang mensyaratkan adanya ‘kendaraan politik’ yang memungkinkan sebuah kekuatan bisa berkontestasi di ranah politik formal (dengan asumsi bahwa demokrasi adalah the only game in town).

Namun, pandangan di atas juga memiliki keterbatasan. Bagaimana, misalnya, menjelaskan keberadaan gerakan-gerakan sosial yang punya kepentingan politik namun tidak punya status ‘politis’ sebagai partai (seperti Muhammadiyah)? Bukankah setiap gerakan yang berkepentingan terhadap publik (misalnya, memiliki amal usaha pendidikan yang berhak mendapatkan bantuan atau supervisi Kementerian Pendidikan) pada dasarnya akan sangat terkait dengan kebijakan-kebijakan yang spesifik (misalnya, regulasi/UU terkait dengan Pendidikan)? Penjelasan politik yang hanya bicara soal sistem-institusi-partai gagal melihat dimensi ‘politis’ dari artikulasi gerakan-gerakan tersebut. Padahal, penjelasan semacam ini perlu untuk menempatkan “Muhammadiyah” dalam kerangka politik Indonesia secara lebih luas.

Jika pendekatan sistem-institusional-kepartaian tersebut kita letakkan dalam konteks pertanyaan Hajriyanto Thohari di atas, hasilnya adalah kegalauan: jika ingin berpolitik secara serius (ini kesimpulan Hajriyanto), maka pilihannya adalah menjadi partai politik –dengan segala konsekuensi rumit yang dihasilkan dari keputusan tersebut, atau terlibat dalam lobi-lobi yang menjadikan Muhammadiyah sebagai aktor ‘bayangan’. Atau, justru mempertahankan posisi serba-sulit dengan menerima konsekuensi ketidakhadiran dalam politik, seperti (misalnya) terpental dari politik alokatif pembagian kursi kabinet di pemerintahan.

Pilihan sulit ini, pada dasarnya, muncul sebagai konsekuensi ketika politik diidentikkan dengan ruang-ruang institusional. Hal ini bisa jadi tidak bisa terhindari manakalah kita bicara soal politik di level nasional, yang mengharuskan adanya pengaturan institusional di dalamnya (dan kemudian menempatkan “Muhammadiyah” berada dalam ruang ini dengan posisi dilematis). Namun, hal tersebut bukan berarti politik hanya bisa didefinisikan dalam ruang yang terbatas, dalam ruang-ruang ‘institusional/demokratis’ yang sudah didefinisikan batasnya secara ‘legal’ (dalam hal ini, ruang dan aturan tentang Pemilu atau Partai Politik). Ada cara lain untuk menjelaskan ‘politik’ yang bisa jadi lebih relevan untuk memecahkan kebuntuan dalam perdebatan soal relasi Muhammadiyah dan politik.

Untuk itu, tulisan ini mencoba untuk menarik kembali perdebatan tentang cara pandang atas politik. Satu pertanyaan menjadi kunci: Bagaimana memaami 'politik'? Cara pandang semacam apa yang lebih adequat dalam memahami politik Indonesia? Sejauh mana Muhammadiyah bisa dikategorikan sebagai 'aktor/agensi' dalam arena politik Indonesia?

Bertolak belakang dari pendekatan ‘sistem-institusi’ yang dominan dalam perdebatan ilmu politik di Indonesia, tulisan ini berargumen bahwa politik pada dasarnya adalah cara untuk mengatur manusia melalui ekspresi wacana/ideologis tertentu. Politik sangat berkaitan dengan cara mendapatkan dan mengelola kekuasaan (mengikuti gagasan ’tradisonal’ tentang politik), namun ia tidak selalu berada dalam ruang pertarungan formal, namun lebih luas di masyarakat, yaitu sejauh ada kelompok mempertarungkan wacana/ideologi tertentu dalam ruang-ruang publik di masyarakat. Konflik menjadi ciri khas penting dalam definisi politik ini. Merujuk pada Mouffe, politik selalu berada dalam kondisi konfliktual antara masing-masing kelompok karena adanya ’yang-politis’ (the political), yaitu persilangan kepentingan (antagonisme) antara masing-masing kelompok/ideologi yang saling berkontestasi di masyarakat (Mouffe, 1999; lihat juga Laclau dan Mouffe, 1986).[3]

Artinya, dari cara pandang tersebut, ada dua hal yang penting dalam memahami ’politik’: (1) adanya ideologi/kelompok yang membawa kepentingan tertentu di masyarakat; dan (2) pertarungan antara kepentingan tersebut di dalam arena politik di masyarakat, baik yang terlembaga maupun yang bersifat sosial.

Dengan mendefinisikan ulang makna politik tersebut, penting bagi kita untuk melihat politik secara ’ekstra-institusional’, yakni dengan melihat setiap artikulasi kelompok/organisasi sebagai praktik politik, sejauh ia mencoba untuk membawa tawarannya kepada masyarakat yang lebih luas dan mempertarungkan kepentingannya di arena yang ada. Artinya, politik tidak lagi dipahami sekadar sebagai sistem atau institusi yang hanya menjangkau aktor-aktor yang ada di dalamnya, tetapi juga ‘artikulasi’ dari setiap orang yang ingin menciptakan keteraturan tertentu dengan basis ideologi/wacana yang ia bangun. Ranahnya bisa jadi tidak hanya menyasar negara, melainkan juga bisa menyasar aktor-aktor di luar negara, sejauh ia punya implikasi publik tertentu dan memungkinkan arena-arena pertarungan kepentingan terbentuk di sana.[4]

Muhammadiyah, jika merujuk pada kajian panjang Alfian (1989, diterbitkan kembali 2013), adalah kekuatan politik. Dari awal didirikan (terutama di dekade 1920an di bawah kepemimpinan KH Ibrahim dan Haji Fakhruddin), Muhammadiyah selalu terlibat dalam proses ’politik’ di masyarakat, baik dalam bentuk sikap kritis terhadap pemerintah kolonial, keterlibatan di Sarekat Islam, menjadi anggota istimewa Masyumi, hingga ’politik akomodatif’ di zaman Orde Baru (Alfian, 2013; lihat juga Syamsuddin, 1995). Bedanya, proses ’politik’ tersebut tidak diekspresikan melalui pembentukan partai politik, melainkan melalui aktivitas politik di ranah lain: sosial, pendidikan, hingga pelayanan kesehatan.

Lantas, dengan cara pandang tersebut, bagaimana ’praktik’ politik Muhammadiyah dalam keseharian di dunia nyata? Apa implikasinya terhadap rumusan ’ideologi politik’ Muhammadiyah? Bagian berikut dari tulisan ini akan menjawab hal tersebut dengan mengupas dinamika politik Muhammadiyah di tingkat desa dan nasional.

Politik Muhammadiyah dalam Praktik
Sejauh mana keterlibatan Muhammadiyah usaha, misalnya melalui amal usaha atau aktivitas sehari-hari di masyarakat? Pengalaman saya berinteraksi dengan Muhammadiyah di sebuah desa di Kabupaten Kulon Progo, ketika mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2012 sedikit memberikan insight. Di Desa tersebut, Muhammadiyah bukan hanya menjadi ’ormas’ yang bergerak di wilayah keagamaan, tetapi juga secara informal menjadi basis dari kekuatan politik di tingkat Desa.

Secara sosiologis, di desa tersebut, masyarakat terbagi menjadi dua kelompok besar masyarakat: Barat dan Timur Selokan. Sebelah Timur adalah basis kelas menengah dan berpreferensi keagamaan Muhammadiyah, yang mayoritas kelas menengah dan berpemikiran ’modernis’, sementara sebelah Barat mayoritas adalah warga Nahdiyyin yang banyak berprofesi sebagai petani dan memegang kuat tradisi. Pembagian masyarakat ini terbentuk dari sejarah desa yang cukup panjang sejak sebelum masa kolonial.

Kecenderungan pengorganisasian masyarakat di kedua daerah memiliki ciri yang sangat khas. Di sebelah Timur, kelembagaan masyarakat terbentuk dengan sangat kuat, bahkan lebih kuat daripada kelembagaan desa. Sementara di bagian Barat, pengorganisasian masyarakat lebih sporadis dengan mengutamakan basis pedukuhan dan masih mengedepankan kharisma Dukuh atau tokoh masyarakat yang dituakan (Sepuh) sebagai basis tradisional untuk mengambil keputusan.

Pada titik inilah Muhammadiyah di tingkat Ranting memiliki peran penting. Muhammadiyah mengakses kekuasaan melalui mushalla dan satu mesjid utama (Baiturrahman) di. Dari dua sumber kekuasaan ini, Muhammadiyah membangun kelembagaan: keta'miran, pengajian dusun, amal usaha, pemberdayaan ekonomi, dan tak lupa remaja masjid. Baik mushalla maupun Mesjid memiliki jadwal pengajian rutin pasaran, yang dikoordinasi secara informal oleh pengurus Ranting yang memiliki akses terhadap ketakmiran. Hal ini dimungkinkan melalui keterlibatan pengurus dalam takmir mesjid (yang bisa dikategorikan sebagai 'institusi publik').

Tak lupa, ada dua remaja yang memperkuat struktur kelembagaan ini melalui pengorganisasian remaja dan pemuda. Tak ayal, struktur kelembagaan pemuda ini bahkan mengalahkan Karang Taruna yang justru tidak begitu aktif karena dikorporatisasi oleh Perangkat Desa. Dari segi amal usaha, pemberdayaan ekonomi ditunjang oleh para pensiunan dan pemilik lahan yang banyak tinggal di Batikan, menghidupi organisasi secara mandiri. Posisi Muhammadiyah semakin kuat karena NU -yang biasanya menjadi rival kultural Muhammadiyah- tidak mengonsolidasikan kekuasaan di sini, hanya secara sporadis digerakkan oleh warga.

Dengan sumber-sumber kekuasaan ini, Muhammadiyah siap melakukan regenerasi kepemimpinan desa. Dan menjelmalah Muhammadiyah sebagai kekuatan politik. Muhammadiyah relatif siap menjadi kekuatan politik karena di sebelah Barat pedukuhan, pengorganisasian masyarakat tidak se-massif yang di Timur. Selama 10 tahun, Kepala Desa dijabat oleh pak seorang Kader Muhammadiyah yang juga merupakan Ketua LPMD setempat. Pada titik inilah konsolidasi kekuasaan Muhammadiyah bertemu pada level kelembagaan formal.

Struktur kelembagaan informal ini telah melahirkan basis kekuasaan baru yang eksternal dari kekuasaan formal di tingkat desa. Hal ini kemudian mengundang ’respons kultural’ dari kelompok lain yang juga ingin terlibat dalam politik desa, sehingga berhadapan dengan calon yang didukung oleh Muhammadiyah di Pilkades. Ketika head-to-head di Pilkades, calon tersebut menang dengan dukungan suara yang besar dan ditopang oleh dana kampanye yang juga tak kalah besar. Namun demikian, walaupun saat ini Kepala Desa dijabat oleh warga yang bukan dari Muhammadiyah, eksistensi Muhammadiyah sebagai kekuatan politik utama tetap terjaga. Sebabnya, ia sudah memiliki basis kelembagaan yang mapan dengan segenap jejaringnya.

Apa yang bisa dipelajari dari hal ini? Kita bisa melihat bahwa tanpa menjadi partai politik, di tingkatan mikro, pada dasarnya Muhammadiyah memiliki kemampuan untuk bertransformasi menjadi sebuah kekuatan politik yang mempengaruhi pengambilan keputusan struktural di tingkat Desa. Ia memiliki akses dan pengaruh yang sangat kuat dalam pengorganisasian masyarakat melalui basis keagamaan, serta membangun basis kelembagaan politik yang berjejaring melalui pengorganisasian keagamaan tersebut.

Hal ini memberikan konsekuensi teoretis terhadap pemaknaan tentang ’politik’, yaitu bentuk artikulasi ideologis yang artikulasinya tidak melulu melalui institusi politik formal. Memang, pada akhirnya, ketika kader Muhammadiyah ingin terlibat dalam politik, ia harus tampil dalam pentas politik formal, yaitu Pilkades. Namun, keberhasilannya sangat ditentukan oleh basis sosial yang mendukungnya, yaitu Muhammadiyah. Hal ini, disadari atau tidak, sebetulnya menunjukkan sisi politis Muhammadiyah yang muncul ketika ada kebutuhan (entah sadar atau tidak) untuk membangun keteraturan (order) tertentu di masyarakat dan memudahkan aktivitas-aktivitas organisasionalnya.

Lantas, bagaimana di level nasional? Tentu saja lebih rumit. Kajian David Efendi (2014) tentang dinamika politik elite Muhammadiyah merefleksikan betapa kompleksnya hubungan antara Muhammadiyah dan politik di tingkat nasional. Dengan meneropong perilaku elite Muhammadiyah terutama menjelang Pemilu 2009, David berkesimpulan bahwa ada banyak ‘tipe’ ekspresi politik elite Muhammadiyah. Hal ini terjadi karena adanya persinggungan antara elite-elite Muhammadiyah dengan politik yang sudah terbangun sejak Reformasi  1998. Namun demikian, dalam catatan David, ada kelompok khitoisme yang tetap teguh dengan prinsip Muhammadiyah untuk tidak terlibat dalam politik praktis.

Persinggungan Muhammadiyah dalam politik nasional ini perlu ditelusuri secara historis. Muhammadiyah punya sejarah panjang di Sarekat Islam (melalui Haji Fakhruddin dan kawan-kawannya), Masyumi (ada Ki Bagus Hadikusumo atau Hamka), Parmusi, hingga kembali lewat PAN (Amien Rais) atau Partai Mentari Bangsa (ada Imam Addaruquthni di sana). Belakangan banyak juga kader muda Muhammadiyah di partai lain seperti Golkar (ada Ton Abdillah Has dan Hajriyanto Thohari), PSI (Raja Juli Antoni), atau Perindo (Ahmad Rofiq). Banyak juga yang di PKS (seperti Hidayat Nur Wahid dan Anis Matta)–dan ini menyulut kontroversi karena disinyalir mengundang ‘migrasi kader’.

Jika boleh dipetakan secara kasar, ada tiga kecenderungan besar kader Muhammadiyah dalam berpolitik. Pertama, kelompok ’Islamis’ yang memilih mengekspresikan identitas politiknya ke partai Islam. Jika merujuk pada catatan Sadi Tuhuleley (2008), hal ini terlihat, misalnya, dengan munculnya afiliasi yang sangat kental dengan Masyumi dan posisi Muhammadiyah serta ’warisan’ yang semestinya diperhatikan ketika Muhammadiyah mengambil artikulasi politik tertentu. Fenomena migrasi politik warga Muhammadiyah ke PKS juga bisa dilihat dari cara pandang ini.

Kedua, kelompok 'kultural' yang memilih haluan ke beberapa partai yang secara emosional terikat dengan Muhammadiyah, seperti PMB atau PAN karena didirikan oleh beberapa okoh Muhammadiyah. Artikulasi ’kultural’ ini banyak didasarkan pada ikatan-ikatan sosial atau emosional, yang dimungkinkan ketika seorang calon legislatif/tokoh partai tersebut berasal dari Muhammadiyah. Dalam logika kelompok ini, Muhammadiyah adalah ”basis sosial” sekaligus ”basis politik”, yang memungkinkan ia bisa mengakumulasikan modalnya untuk mendapatkan suara. Kehadiran PAN sejak 1999 merefleksikan hal ini –posisi PAN bukanlah partai yang terafiliasi secara formal dengan Muhammadiyah dan secara ideologis juga tidak mendasarkan diri pada ’Islam’, tetapi justru meraih banyak dukungan dari warga Muhammadiyah.

Ketiga, kelompok ’politisi’ yang berasal dari Muhammadiyah tetapi me. Kubu ini matang dan mengambil jalan di partai lain. Kita mengenal beberapa nama seperti Hajriyanto Tohari dan Ton Abdillah Has (Mantan Ketua Umum IMM) di Golkar, Heri Akhmadi di PDIP, Raja Juli Antoni (Mantan Ketua Umum IPM) di PSI. Kecenderungan ’politis’ ini bisa dipahami dalam konteks ’jaringan’ politik yang luas –bisa jadi disebabkan oleh pengalaman organisasional yang bersangkutan— dan memberikan akses-akses politik secara lintas-ideologi bagi kader-kader muda Muhammadiyah.

 Tipologi ini menunjukkan bahwa pada dasarmnya kader-kader Muhammadiyah tidak monolitik dalam mengekspresikan identitasnya dalam politik. Tetapi, di sisi lain, kita juga harus aware dengan salah satu konsekuensi yang muncul dari hal ini: bagaimana Muhammadiyah berhadapan dengan pragmatisme dan politik berbiaya tinggi yang kian menjangkiti semua partai politik di Indonesia? Bagaimana, misalnya, kader-kader Muhammadiyah tersebut membedakan dirinya dengan para politikus dari partai lain ketika tampil dalam ranah politik?

Beberapa hal ini membawa diskusi soal Muhammadiyah dan politik kemudian menjadi lebih kompleks. Persoalannya bukan hanya terletak pada keterlibatan Muhammadiyah dalam politik, tetapi juga bagaimana anggota Muhammadiyah mengartikulasikan kepentingannya dalam politik. Apa kepentingan yang dibawa? Dalam konteks yang lebih luas, basis etika seperti apa yang dipegang dalam politik? Artinya, persoalannya tidak sesederhana memaknai Khittah Politik Muhammadiyah –bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi pada partai politik tertentu, tetapi juga memastikan bahwa prinsip Muhammadiyah (secara normatif) juga terejawantahkan dalam aktivitas politik sehari-hari.

Dengan demikian, seting politik Indonesia pasca-reformasi sepertinya mengharuskan Muhammadiyah untuk melakukan dua hal. Pertama, memberikan rumusan baru terkait teologi politik baru, yang akan menjadi acuan warganya baik untuk menentukan sikap politik maupun merumuskan ijtihad-ijtihad politik. Ketika warga Muhammadiyah terjun dalam politik, setidanya ia punya 'bekal' normatif untuk menentukan tindakan apa yang harus diambil, membedakan mana yang benar dan salah, dan strategi-strategi apa yang harus dibuat untuk mengejawantahkan keyakinan dan cita-cita hidup (KCH) Muhammadiyah di arena politik. Pada titik ini, basis normatif  politik Muhammadiyah perlu dirumuskan agar kader Muhammadiyah 'berbeda' dengan aktivis partai politik lain yang ada di parlemen. Walau Muhammadiyah bukan entitas politik, tetapi ia harus memberikan acuan bagi kader-kadernya yang ingin bermain di wilayah politik praktis.

Kedua, menjadikan basis normatif tersebut sebagai ’identitas’, yakni dengan membangun gagasan kolektif tentang kedirian dan ’yang-lain’ sebagai cara untuk mendefinisikan diri dalam arena politik yang ada. Muhammadiyah perlu membangun identitas tidak hanya dengan membasiskan diri pada gagasan normatif yang diacu dalam dokumen ideologi, tetapi juga membangun imaji tentang ’lawan bersama’. Dalam konteks politik Abad ke-21, ’Yang-Lain’ ini bisa mewujud dalam berbagai bentuk, seperti gagasan ekonomi-politik neoliberal (dalam konteks Jihad Konstitusi), koruptor (dalam gerakan antikorupsi), atau mungkin ’politik uang’ (sebagaimana digagas kader-kader Muhammadiyah di Lampung saat ini).[5]  Gagasan tentang ’Yang-Lain’ tidak hanya akan meradikalisasi (dalam arti positif) perspektif Muhammadiyah tentang politik, tetapi juga menjadikan perspektif Muhammadiyah tentang politik tidak lagi berkutat  hanya sebatas partai atau lobi politik, tetapi bisa jadi lebih luas.

Dua hal tersebut akan menjadi bahan diskusi dari tulisan ini. Rumusan Normatif Politik Muhammadiyah akan dilacak dari dokumen-dokumen ideologis yang sudah terbangun dari awal ia didirikan, sementara gagasan kolektif tentang identitas politik Muhammadiyah tersebut akan dibangun melalui pembacaan atas tantangan ”politik” yang dihadapi oleh Muhammadiyah saat ini.

Rumusan ”Normatif” Politik Muhammadiyah
Berangkat dari kebutuhan itu, saya rasa Muhammadiyah perlu menegaskan kembali landasan normatifnya dalam berpolitik. Hal ini akan membedakan Muhammadiyah dengan kelompok Islam lain seperti Tarbiyah (yang punya format teologi politiknya sendiri) dan dalam praksisnya akan membedakan warga Muhammadiyah dengan orang lain.

Pertanyaannya, apa yang disebut sebagai landasan ’normatif’ ini? Dalam catatannya tentang ’yang normatif’, Simon Critchley dan Daniel de Mendonca melihat bahwa normativitas pada dasarnya adalah sesuatu yang tak terelakkan dalam sebuah pemikiran politik. Hanya saja, apa yang disebut ’normatif’ ini pada dasarnya bukanlah sesuatu yang sifatnya fixed, melainkan selalu berada dalam kontingensi –ruang yang selalu berkembang, diperdebatkan, dipertarungkan, bahkan didefinisikan ulang. Dengan kata lain, normativitas tidak hanya hadir dalam teks, melainkan terjalin dalam hubungannya dengan kenyataan (Critchley, 2004; de Mendonca, 2014).

Muhammadiyah punya landasan normatif dalam memahami ’politik’. Normativitas tersebut terbangun secara historis, sejak awal ia didirikan hingga Muktamar Agustus silam. Oleh sebab itu, normativitas politik Muhammadiyah pada dasarnya adalah sebuah proses yang selalu terbangun dan membuka ruang perdebatan. Pekerjaan untuk merumuskan landasan normatif ini sudah seharusnya masuk menjadi agenda persyarikatanterutama Tarjih dan Tajdid, dalam dalam meng-address persoalan politik kontemporer. Bagaimana, misalnya, menghadapi tender proyek anggaran? Atau, bagaimana berurusan dengan lembaga-lembaga donor yang membawa proyek dan dana segar? Apa sikap politik kita menghadapi pembangunan yang menggusur rakyat kecil? Pembahasan ini menjadi pembahasan fiqh kontemporer yang perlu didekati tidak hanya secara legal hukum, tetapi juga sosiologis. Beberapa perkembangan terbaru seperti Fiqh Air atau pembentukan MDMC sebagai ’jangkar’ baru Persyarikatan menunjukkan perkembangan positif ke arah sana.

Namun demikian, secara sangat spesifik, belum ada landasan yang jelas tentang posisi politik Muhammadiyah. Selain khittah politik yang memberikan garis batas politik Muhammadiyah dengan Orde Baru, belum ada teks yang begitu signifikan mengupas acuan moral politik Muhammadiyah.Gagasan yang cukup relevan untuk menjadi 'pintu masuk' dalam teologi politik Muhammadiyah, menurut saya, adalah gagasan Ideologi Muhammadiyah yang dirumuskan oleh Haedar Nashir. Idelogi Muhammadiyah bersumber dari beberapa teks hasil kesepatakan Muktamar/Tanwir Muhammadiyah yang dibakukan secara organisasional. Gagasan ini yang perlu dikembangkan untuk melihat bagaimana Muhammadiyah memberi landasan berpolitik bagi warganya.

Haedar Nashir (2001) merumuskan kerangka idelogi gerakan Muhammadiyah pada enam dimensi. Di antaranya, Ideologi gerakan memiliki kerangka pemikiran dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Khittah Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan pemikiran-pemikiran formal lainnya dalam Sistem Keyakinan dan Hidup Islami dalam Muhammadiyah.

Bagian ini akan memberikan gambaran tentang rumusan normatif Muhammadiyah dengan mengikuti logika yang dibangun oleh Haedar Nashir tersebut. Jika kita tafsirkan untuk landasan berpolitik, maka kita akan mendapatkan rumusan beriikut:

Khittah Muhammadiyah sebagai Sikap Politik
Khittah Muhammadiyah yang dirumuskan tahun 1971 telah menyatakan dengan jelas bahwa Muhammadiyah tidak anti-politik. Akan tetapi, "Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama". Jelas, Muhammadiyah meng-address politik sebagai bagian dari realitas yang perlu diisi oleh umat Islam, tak terkecuali kader Muhammadiyah sendiri. 

Namun, "Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya." Statement ini menunjukkan dengan tegas posisi Muhammadiyah, bahwa Muhammadiyah mengekspresikan politiknya secara kultural. Hal ini dipertegas pada statement lain bahwa,

"Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban"

Bagaimana dengan kader-kader Muhammadiyah? "Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing... Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah). Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar" Sehingga, khittah Muhammadiyah telah memberikan ancang-ancang sikap politik yang jelas: Muhammadiyah secara institusional tidak mengambil jalur politik, tetapi memberikan ruang kepada kader-kadernya untuk berpolitik sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan etis yang dimiliki Muhammadiyah.

Kepribadian Muhammadiyah  sebagai Etika Politik
Keprubadian Muhammadiyah adalah suatu persyarikatan yang merupakan Gerakan Islam. Maksud geraknya ialah Dakwah Islam dan amar ma'ruf nahi munkar yang ditujukan kepada dua bidang : perseorangan dan masyarakat. Dalam konteks ini, politik Muhammadiyah punya dimensi etis sebagai instrumen dakwah amar ma;ruf dan nahi munkar. Kebutuhan politisi adalah mendefinisikan yang ma'ruf dan munkar dalam konteks politik.  Etika politik Muhammadiyah adalah dakwah amar ma'ruf dan nahi munkar.

Apa parameter ma'ruf dan munkar tersebut? Kepribadian Muhammadiyah sudah merumuskan: "Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasulnya, bergerak membangun di segenap bidang dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridlai Allah SWT". Konsep ini menunjukkan bahwa Muhamamdiyah menggunakan Islam sebagai dasar perjuangan politik, tetapi dilakukan dengan berorientasi pada pembangunan dan kemajuan masyarakat, demi masyarakat utama sebagai cita-cita politiknya. Islam yang dipahami Muhammadiyah tidak kaku, melainkan berkemajuan. Pada titik inilah logika politik diletakkan.

Amar ma'ruf didefinisikan mengacu pada Al-Qur'an, Sunnah, dan pendapat yang mu'tabar, serta dilakukan sesuai dengan keadaan masyarakat. Begitu juga dengan nahi munkar. Politik Muhammadiyah adalah politik keumatan. Maka dari itu, politisi Muhammadiyah seyogianya adalah politisi yang bergerak bersama umat dan memperjuangkan hak umat. Hal ini yang mendasari perjuangan politik Muhammadiyah abad ke-21.

Muqaddimah Anggaran Dasar sebagai Dasar Perjuangan Politik
Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, yaitu:

1. Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah.
Tauhid adalah dasar perjuangan politik Muhammadiyah yang paling utama. Seluruh aktivitas berpolitik harus dipandang sebagai ibadah, yang tentunya harus sesuai dengan rambu-rambu moralitas politik yang telah Allah gariskan. Tauhid adalah epistemologi politik Muhammadiyah, yang memandu laku gerak politik seorang warga Muhammadiyah untuk memperjuangkan aktivitasnya.

2. Hidup manusia bermasyarakat.
Pertanyaannya, cukupkah hanya bertauhid dengan segenap aspeknya yang bersifat ritus? Ternyata tidak. Hidup manusia juga tak lepas dari masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, orientasi politik Muhammadiyah adalah memperbaiki, memperjuangkan, dan berdialog bersama masyarakatnya. Tauhid harus diejawantahkan dalam praksis kehidupan bermasyarakat. Inilah yang disebut Amien Rais sebagai "Tauhid Sosial".

3. Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan berkeyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat.
Konsekuensi dari tauhid sosial adalah menjadikan Islam sebagai landasan moral politik. Kepribadian Muhammadiyah telah tegas menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar. Maka, dalam perspektif Muhammadiyah, ”dakwah” adalah landasan moral-etis dalam politik untuk menciptakan keteraturan (order).

4. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada kemanusiaan.
Karena Muhammadiyah percaya dengan Islam sebagai basis moral-etis dalam politik, maka konsekuensinya adalah melaksanakan ajarannya secara konsekuen. Pelaksanaan ajaran Islam itu tidak hanya pada aspek ritus, sebagai ibadah kepada Allah, tetapi juga dalam bentuk kebaikan terhadap kemanusiaan. Politik Muhammadiyah adalah politik yang berdasar pada kemanusiaan, sebagai wujud penghambaan kepada Allah.

5. Ittiba’ kepada langkah dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Ittiba' berarti mengikuti Rasulullah dengan basis keilmuan. Artinya, tidak hanya memahami dakwah Rasulullah secara praksis, melainkan juga secara metodologis. Ini berarti, ruang-ruang tafsir atas sirah perjuangan nabi perlu dibuka kembali. Dan tentu saja, dikontekstualisasikan dengan kehidupan masa kini, sehingga lahirlah pemahaman Islam yang historis, juga pemahaman politik yang sesuai dengan koridor Rasul tanpa harus tercerabut dari zamannya. 

6. Melancarkan amal usaha dan perjuangannya dengan ketertiban organisasi.
Karena seorang warga Muhammadiyah tak bisa lepas dari Muhammadiyah, ketika berpolitik di manapun, ia harus kembali ke Muhammadiyah. Baik dari sekadar ikut pengajian atau menimba ilmu.  KH Ahmad Dahlan pernah berkata, "Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang... Menjadilah dokter sesudah itu kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah master, insinyur, dan (propesional) lalu kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu.” Mungkin, bisa pula ditambahkan: 'jadilah politisi, dan kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu. wallahu a'lam bish shawwab.

Tajdid  sebagai Visi Politik
Muhammadiyah telah menyatakan diri sebagai gerakan tajdid. Secara letterlijk, tajdid berarti pembaharuan. Kepribadian Muhammadiyah menyebut tajdid sebagai mengembalikan pada ajaran Islam yang asli dan murni; sementara penggunaan kata lain tertera sebagai penggunaan akal dalam menjawab tantangan zaman, seperti dalam prinsip-prinsip Majlis Tarjih poin 14 disebutkan “Dalam hal-hal termasuk Al-Umurud Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, menggunakan akal sangat diperlukan, demi untuk tercapainya kemaslahatan umat.”

Ketika tajdid menjadi visi Muhammadiyah, maka  politisi yang lahir dari rahim Muhammadiyah hendaknya juga bervisi demikian. Orientasi berpolitik Muhammadiyah adalah tajdid, yang berbasis pada kemajuan umat, untuk menciptakan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Belakangan konsepsi masyarakat yang diidealkan Muhammadiyah itu disebut sebagai 'Masyarakat Utama'. Politik memainkan posisi penting untuk memastikan kekuasaan pada track  keumatan, agar pemerintahan dapat benar-benar membuka jalan bagi terwujudnya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Strategi tajdid ini yang penting untuk dirumuskan. KH Ahmad Dahlan telah memberikan dasar bagi tajdid, yaitu melalui pengetahuan. Dalam salah satu wasiatnya Kyai Dahlan telah berpetuah, "“Hendaklah warga muda-mudi Muhammadiyah hendaklah terus menjalani dan menempuh pendidikan serta menuntut ilmu pengetahuan (dan teknologi) di mana dan ke mana saja." Tajdid sebagai oreientasi politik berarti membangun pengetahuan sebagai landasan pengambilan kebijakan publik, terutama di era di mana arus informasi beredar kian cepatnya. Basis pengetahuan ini perlu diletakkan pada tujuannya  dalam perspektif Muhammadiyah, yakni memberdayakan serta membebaskan kaum miskin dari ketertindasan.

Al-Ma'un sebagai Misi Politik
Teologi Al-Ma'un merupakan pengejawantahan KH Ahmad Dahlan atas surah Al-Ma'un. Syahdan, ketika beliau mengajarkan surah Al-Ma'un kepada murid-muridnya, beliau tidak hanya mengajarkan tafsir dan tarjamahnya, tetapi juga bagaimana melaksanakannya secara nyata. Teologi Al-Ma’un bisa juga dimaknai dalam kerangka struktural, untuk merespons penindasan yang juga bersifat struktural (lihat Baedhowy, 2009). Politik Al-Ma'un adalah politik pemihakan, perlawanan, dan pemberdayaan. Pemihakan bagi mereka yang tertindas oleh struktur kapitalisme yang menjangkar di Indonesia, perlawanan terhadap koruptor dan penindas rakyat kecil, serta pemberdayaan bagi dhu'afa dan mustadh'afin.

Upaya-upaya pembelaan perlu digalakkan melalui politik advokasi dan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Teologi Al-Ma'un berarti advokasi; pembelaan atas hak-hak masyarakat yang terlupakan oleh negara.  Dan sebab itu, perbaikan terhadap paradigma pengambilan kebijakan menjadi penting dipadukan dengan kerangka Al-Ma'un. Partai politik yang tidak berpihak pada kaum miskin, yang memonopoli proyek anggaran untuk kepentingan golongan sendiri, yang bertindak kontraproduktif dengan iklim pemberantasan korupsi, yang justru melakukan korupsi di tengah kesusahan bangsa, harus diingatkan dengan Surah Al-Ma'un ini: untuk tidak menjadi para pendusta agama.

Kita hidup di tengah hegemoni partai-partai, yang bahkan sudah menjamah media-media massa sebagai juru bicaranya. Partai-partai yang hidup dari percaloan anggaran, cenderung menjadikan parlemen dan kementerian sebagai bancakan proyek. Kepada mereka, Muhammadiyah mengingatkan dengan Surah Al-Ma'un: jangan lupakan orang-orang fakir dan miskin agar tidak jadi pendusta agama. Partai politik yang terlampau banyak makan dari anggaran rakyat, harus diingatkan dengan Surah Al-Ma'un agar berhati-hati, jangan menjadi pendusta agama! Inilah relevansi teologi Al-Maun untuk realitas politik.

Al-Ma'un menjadi misi politik utama Muhammadiyah, sehingga mereka yang miskin dan tertindas bisa terangkat nasibnya. Dengan demikian, Muhammadiyah bisa memuluskan jalan untuk merengkuh cita-cita politiknya, yaitu menjadi masyarakat utama. Ini adalah tujuan dan cita-cita ‘normatif’ utama dari politik Muhammadiyah.

Masyarakat Utama sebagai Cita-Cita Politik
Dan akhirnya, cita-cita politik Muhammadiyah-pun kita daku bersama: "berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT" (Matan Keyakinan & Cita-Cita Hidup Muhammadiyah). Negara yang adil, makmur, dan diridhoi Allah memerlukan kontribusi berbagai bidang, tak terkecuali politik. Politik adalah salah satu jalan untuk mewujudkan masyarakat itu, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Muqaddimah Anggaran Dasar telah menyatakan bahwa, "Masyarakat yang sejahtera, aman damai, makmur dan bahagia hanyalah dapat diwujudkan di atas keadilan, kejujuran, persaudaraan dan gotong royong, bertolong-tolongan dengan bersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya." Oleh sebab itu, karakter politik yang dibawa oleh warga Muhammadiyah juga mesti menampilkan keadilan, kejujuran, persaudaraan, dan gotong-royong. Ini adalah cita-cita politik Muhammadiyah.

Dengan demikian, kita bisa membaca 'nafas' politik yang ingin ditampilkan Muhammadiyah dan dihembuskan melalui warga-warganya yang terjun dalam dunia politik: mengambil sikap politik yang jelas, berkepribadian dan bermoral dakwah amar ma'ruf nahi munkar, berdasar pada ideologi gerakan, bervisi tajdid, punya misi Al-Ma'un, dan mencita-citakan masyarakat utama.

Beberapa poin di atas telah memberikan dasar ‘normatif’ bagi Muhammadiyah dan warganya untuk tampil dalam arena politik. Namun demikian,  basis normatif belaka tidak cukup dalam mendefinisikan karakter Muhammadiyah dalam politik –ini berpotensi menjebakkan Muhammadiyah pada politik yang utopian tentang ‘Politik Islam’. Karena pada dasarnya normativitas selalu berada dalam persimpangan dengan ‘realitas’, upaya untuk membangun kerangka normatif ini kemudian perlu dihadapkan pada tantangan-tantangan realitas yang memungkinkan ada proses ‘negosiasi’ –dialog— antara teks-teks normatif tersebut dengan realitas empiris.

Tantangan yang kemudian dihadapi adalah bagaimana membangun imaji tentang ‘yang-Lain’ yang menjadi sarana Muhammadiyah untuk membangun identitas politiknya. ‘Yang-Lain’ itu adalah sesuatu yang perlu dilawan, tantangan yang perlu dijawab dan dihadapi dalam rangka menegaskan jati diri Muhammadiyah di ruang publik. Sebagai organisasi keagamaan, ‘Yang-Lain’ kerap hanya dilekatkan pada NU (misalnya dengan penolakan terhadap Takhayul, Bid’ah, dan Churafat). Di ranah politik, Muhammadiyah perlu bergerak dengan menjawab tantangan-tantangan yang lebih luas dari hal tersebut. Bagian berikutnya dari tulisan ini akan mengupas hal tersebut.

Membangun Identitas Politik: Tantangan Tajdid Politik
Pembacaan di atas mengimplikasikan satu hal penting: bagaimana membangun ‘identitas politik’ dalam Muhammadiyah? Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pembentukan identitas selalu didasarkan pada dua hal: (1) basis ‘normatif’ yang mengonstruksi pemahaman atas diri sendiri; dan (2) Imaji bersama tentang ‘Yang-Lain’ yang menjadikan basis normatif Muhammadiyah hadir dalam pertarungan empiris di ranah politik. Tulisan ini sudah mengulas basis normatif dari politik Muhammadiyah dari dokumen-dokumen historisnya. Pertanyaannya, dengan kerangka normatif tersebut, gagasan tentang ‘Yang-Lain’ semacam apa yang kemudian dikonstruksi oleh Muhammadiyah?

Lagi-lagi secara historis, muncul dinamika dalam hal ini. Pada tahun 1950an, Muhammadiyah melekatkan imaji tentang lawan bersama ini pada tubuh komunisme, yang kemudian mendekatkan Muhammadiyah pada Masyumi (meskipun, sebetulnya, tak sedikit juga warga Muhammadiyah di PNI atau partai kecil lain). Momen ini terkulminasi pada tahun 1960-an ketika kekuatan Masyumi dan PSII dimarjinalisasi oleh rezim Orde Lama, hingga kemudian muncul G30S. Setelah komunisme menghilang, apa yang jadi ‘Liyan’? Dalam catatan Dien Syamsudin, Lawan bersama (meskipun tidak terlalu mengemuka) itu mewujud pada kekuatan yang tidak suka dengan kepentingan umat Islam di bawah Orde Baru, dan membuat Muhammadiyah tampil dengan kekuatan lobinya untuk membawa kepentingan umat Islam dalam beberapa aturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah (Syamsuddin, 1995). Di bawah kepemimpinan Amien Rais, ‘Yang-Lain’ itu kemudian mewujud pada Orde Baru, yang menjadikan Muhammadiyah sebagai gerbong terdepan dalam reformasi.

Hal ini membawa kita pada pertanyaan kritis: apa sebetulnya yang menjadi basis bagi Muhammadiyah dalam mendefinisikan imaji tentang ‘lawan bersama’ tersebut? Siapa yang diliyankan dan atas dasar apa ia bisa menjadi liyan? Konstruksi tentang ‘identitas’, menurut Chantal Mouffe, selalu menampilkan ‘kita’ dan ‘bukan-kita’ dalam relasi yang saling berhubungan. ‘Kita’ hanya akan bisa didefinisikan jika ada ‘hubungan yang saling terkait’ antara sesuatu yang berada di luar kita, dan hubungan tersebut diikat oleh satu wacana besar yang menghubungkan semua ‘liyan’ tersebut.[6] Namun demikian, konstruksi tentang ‘kita’ dan ‘yang-lain’ itu pada dasarnya juga berada dalam ruang kontingen –ia selalu rentan dengan krisis dan interpretasi-interpretasi baru.

Dalam konteks Muhammadiyah, upaya untuk membangun identitas ini perlu dilakukan dengan menghadapkan ‘normativitas’ Muhammadiyah tersebut pada problem politik real. Kerangka normatif akan mendudukkan Muhammadiyah dalam satu posisi politik tertentu yang membedakan dirinya dengan posisi kelompok lain. Dengan kerangka normatif itu, Muhammadiyah akan punya bekal dalam menegosiasikan kepentingannya dengan organisasi lain. Artinya, normativitas tekstual bukanlah sesuatu yang sifatnya mutlak dihadirkan dalam realitas politik; ia harus diuji dalam artikulasi-artikulasi politik yang dihadirkan oleh Muhammadiyah.

Untuk membangun identitas politik tersebut, saya ingin kembali pada konsepsi ‘politik’ yang melampaui rumusan sistem-institusional-kepartaian: bagaimana menghadirkan identitas politik Muhammadiyah di tengah seting politik neoliberal yang ada di Indonesia saat ini? Dalam rumusan politik yang melampaui definisi lama tentang ‘sistem’, setiap artikulasi Muhammadiyah yang bertujuan untuk membangun ‘keteraturan’ (order) pada dasarnya adalah bagian dari aktivitas politik. Kita bisa melihatnya, misalnya, dalam tiga bentuk: Amal Usaha (Pendidikan, Kesehatan, hingga Filantrofi), Jihad Konstitusional, hingga apa yang disebut sebagai ‘Trisula Baru Muhammadiyah’ (MDMC, MPM, dan LAZISMU).[7]

Argumen yang ingin saya kemukakan, pada dasarnya bentuk-bentuk aktivitas Muhammadiyah tersebut adalah aktivitas yang sangat ‘politis’. Dengan membangun amal usaha, misalnya, Muhammadiyah ingin membangun sebuah konsepsi masyarakat yang ‘independen’ terhadap negara (dalam bahasa Antonio Gramsci: civil society) dan, sadar atau tidak sadar, melakukan pengorganisasian masyarakat sebagai ‘alternatif’ terhadap negara. Hal inilah yang memungkinkan Muhammadiyah bisa hadir selama lebih dari satu abad. Jihad Konstitusional memungkinkan Muhammadiyah untuk melakukan advokasi dan mengubah aturan perundang-undangan yang dibuat sebagai produk politik (lihat disertasi Mahfud MD soal ‘hukum sebagai produk politik’). Trisula baru Muhammadiyah,  jika dioptimalkan, akan mampu menjadi alternatif gerakan kemanusiaan yang tidak hanya berdimensi ‘domestik’, tetapi juga global.

Sehingga, jika kita melihat posisi politis-strategis beberapa model gerakan baru Muhammadiyah tersebut, sebetulnya gagasan tentang ‘Amal Usaha Politik’ dalam bentuk partai politik yang terjejaring/terafiliasi dengan Muhammadiyah (sebagaimana pernah digagas Hajriyanto Thohari) menjadi tidak begitu relevan. Pertanyaannya, sejauh mana bentuk-bentuk gerakan Muhammadiyah tersebut ‘politis’ –dalam arti ia punya daya ubah terhadap realitas politik yang ada? Hal ini tentu menjadi tantangan. Amal Usaha Muhammadiyah akan berdimensi politik sejauh ia mampu memobilisasi sumber daya yang muncul dalam ranahnya (semisal pendidikan) dan ‘menantang’ wacana dominan yang ada dalam ranah tersebut (misalnya: wacana pendidikan yang neoliberal dan berorientasi pasar). Tajdid Konstitusional akan menjadi politis jika ia punya daya ubah untuk melawan praktik-praktik ‘governmentalitas’ neoliberal di ranah hukum. Trisula Baru akan menjadi politis jika ia bisa menawarkan alternatif kemanusiaan di kala hegemoni rezim militer justru mengubur kemanusiaan dengan politik ketakutan yang ia tampilkan

Pada titik inilah tantangan untuk membangun identitas politik muncul. Setidaknya, ada tiga hal yang kemudian perlu menjadi pertimbangan bagi Muhammadiyah dalam membangun identitas politik tersebut. Pertama, menghadirkan ‘kerangka normatif’ politik Muhammadiyah dalam merespons tantangan-tantangan yang ada di semua levelnya. Hal ini berarti ‘menurunkan’ dimensi normatif politik tersebut ke ranah kebijakan –sejauh mana Muhammadiyah bisa memberikan tawaran-tawaran kebijakan real atas problem yang ada tersebut berdasarkan preskripsi normatif Muhammadiyah? Hal ini sudah dirintis melalui pembuatan ‘Blueprint Posisi Muhammadiyah atas isu-isu ekonomi, dan kelanjutan hal ini menarik untuk diikuti. Blueprint di isu-isu yang lain juga diperlukan untuk menjawab tantangan ini.

Kedua, menjadikan ranah-ranah yang tadinya ‘non-politik’ menjadi ranah politik. Politik di era baru, menurut Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, adalah ‘politisasi ranah-ranah’ (Laclau dan Mouffe, 1986). Hal ini terlihat, misalnya, dengan tantangan politik neoliberal yang justru menemui momentumnya di isu-isu yang sangat non-politik, seperti kebijakan sosial, pendidikan, atau kebijakan ekonomi (lihat Carroll, 2012; Wisnu, 2012; Umar, 2014). Artinya, ranah non-politik menjadi sangat politis dan justru di sisi ini Muhammadiyah punya peran yang sangat strategis. Dengan kekuatan ‘amal usaha’, Jihad Konstitusi, dan Trisula Baru yang ia miliki, Muhammadiyah sudah punya modal yang sangat kuat di semua ranah dan punya peran untuk membangun artikulasi politik di sana.

Dalam konteks ini, yang diperlukan oleh Muhammadiyah adalah (1) tawaran wacana kebijakan/gagasan politik yang spesifik di ranah-ranah tersebut; serta (2) menyiapkan kader-kader yang bisa mengartikulasikan kepentingan politik di ranah tersebut. Pendeknya, Muhammadiyah perlu ‘intelektual organik’ –dalam bahasa Antonio Gramsci— yang bisa  mengartikulasikan kepentingan Muhammadiyah secara profesional. Hal ini tentu tidak sulit karena Muhammadiyah punya institusi perguruan tinggi dan ‘intelektual’ di berbagai level.

Ketiga, menentukan ‘strategi dan taktik’ yang relevan untuk berhadapan dengan ‘lawan’ yang hadir dalam ranah-ranah tersebut. Tawaran kebijakan, gagasan, dan ‘intelektual organik’ saja tidak cukup untuk menjadi amunisi Muhammadiyah di ranah politik baru. Muhammadiyah perlu tahu siapa lawan yang ia hadapi, apa wacana yang ia bawa, serta strategi dan taktik, langkah-langkah cerdas nan panjang apa yang perlu digunakan Muhammadiyah untuk bertarung di ranah tersebut. Artinya, selain membutuhkan tawaran kebijakan, Muhammadiyah juga perlu strategi untuk memastikan tawaran kebijakannya goal menjadi kebijakan. Pada titik inilah normativitas tekstual Muhammadiyah diuji –seberapa kuat ia bisa hadir dalam ranah publik akan sangat ditentukan dari strategi yang digunakan. Aktivitas Judicial Review adalah salah satu contoh ‘strategi’ untuk berhadapan dengan lawan yang ada di ranah hukum—tentu ada banyak hal lain yang bisa dilakukan Muhammadiyah untuk melawan ‘governmentalitas neoliberal’ yang kian canggih di Indonesia.

Ketiga hal tersebut meniscayakan Muhammadiyah untuk hadir dalam perjuangan ‘hegemonik’ –melawan gagasan dengan gagasan dan memperjuangkannya secara politik. Artinya, Muhammadiyah perlu lebih dari sekadar ‘amal usaha politik’ –ia juga perlu ‘amal usaha pengetahuan’ yang bisa memproduksi gagasan-gagasan relevan dalam politik. Konsekuensinya, orientasi perkaderan Muhammadiyah di masa depan perlu diorientasikan untuk membentuk kader yang tidak hanya ‘ideologis’, tetapi juga ‘intelektual’ sehingga mampu mengemban misi untuk mencerahkan umat dan membangun masyarakat utama. Menggubah Gramsci, setiap warga Muhammadiyah adalah intelektual, tetapi tidak semua warga Muhammadiyah bisa menjadi ‘intelektual’ bagi Muhammadiyah. Ini tantangan yang perlu dijawab bersama ke depan.

Tantangan ini, bisa jadi, ada di pundak institusi pendidikan dan –yang kerap dilupakan— Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) di berbagai negara. Sejauh ini, PCIM lebih banyak menjadi ‘wadah silaturrahim’ mahasiswa Indonesia yang kebetulan menempuh studi di luar negeri. Mungkin PCIM bisa memainkan peran untuk menghubungkan Muhammadiyah dengan perkembangan sains dan teknologi terkini. Jika ini bisa Bisa jadi, ke depan, PCIM justru menjadi salah satu pilar penting untuk membangun wacana intelektual Muhammadiyah dan menjadi salah satu bagian penting dalam proyek membangun identitas politik di Muhammadiyah di masa depan.

Kesimpulan
Tulisan ini telah memberikan gambaran sederhana mengenai relasi Muhammadiyah dan Politik. Dengan menggunakan kerangka ‘baru’ tentang politik yang melampaui pandangan politik yang berbasis sistem-institusi-kepartaian, serta dengan berlandaskan pada rumusan normatif Muhammadiyah tentang politik, tulisan ini berargumen bahwa tantangan politik Muhammadiyah di masa depan bukanlah dengan pembentukan partai politik semata, tetapi justru menawarkan alternatif di ranah-ranah yang selama ini digeluti oleh Muhammadiyah. Tantangan tersebut mengimplikasikan adanya satu dimensi dalam ‘tajdid’ Muhammadiyah, yaitu tajdid intelektual untuk menguatkan infrastruktur amal usaha, jihad konstitusional, maupun ‘trisula baru’ Muhammadiyah (MDMC, MPM, dan LAZISMU).

Di penghujung tahun 2015 ini, kita bisa mengambil refleksi: sudah sejauh mana agenda politik Muhammadiyah merefleksikan cita-cita normatif serta menjawab tantangan politik dewasa ini? Politik Muhammadiyah jelas bukan politik yang menghiba pada kekuasaan; tetapi ia juga tidak lari dari tanggung jawab mengelola kekuasaan. Pada konteks itu, ‘kekuasaan’ dan ‘politik’ menjadi penting untuk direfleksikan kembali, tidak hanya dalam dimensi moral, tetapi juga dalam dimensi kemajuan yang dicita-citakan oleh Muhammadiyah. Pada titik inilah Muhammadiyah memberikan ruang ijtihad untuk berpolitik pada warganya dan membangun identitas politik yang berbeda dengan entitas lain.

Kepemimpinan Haedar Nashir dan Siti Noordjannah Djohantini di PP Muhammadiyah perlu di-declare menjadi momentum tajdid baru Muhammadiyah. Karena setiap artikulasi Muhammadiyah adalah ’politis’, maka gebrakan baru aktivisme politik Muhammadiyah di kancah nasional, dengan pelbagai instrumennya, akan sangat dinantikan.

Nasrun Minallah wa Fathun Qariib.

CATATAN AKHIR 
[1] Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana dalam bidang Metode Riset Politik di Department of Politics, University of Sheffield, UK dan warga Muhammadiyah di Inggris Raya. Artikel ini adalah draft pertama. Komentar dan kritik atas artikel ini bisa ditujukan ke armumar1@sheffield.ac.uk

[2] Ada beberapa tulisan yang sebetulnya juga berbicara dalam tema yang sama dengan tulisan Hajriyanto ini, dengan berbagai pendekatan dan argumennya. Lihat, misalnya, Ahmad Jainuri, “Amal Usaha Politik Muhammadiyah”, Suara Muhammadiyah, Edisi 14, 2014, David Efendi, “Dinamika Politik Elite Muhammadiyah”, Jawa Pos, 5 Agustus 2015, Abu Fariq al-Faruqi, “Muhammadiyah antara Politik Praktis dan Substansialis”, Majalah Tabligh, 2013, Abdul Mu’ti, “Politik Kebangsaan Muhammadiyah”, Suara Merdeka, 19 Agustus 2015, Jefrie Geovanie, “Netralitas Politik Muhammadiyah”, Sinar Harapan, 30 Mei 2014. Dalam tulisan yang lain, organisasi-organisasi otonom Muhammadiyah juga cukup banyak bersentuhan dengan kekuatan politik di tahun 2014. Lihat Alex Arifianto, “Neutral No More?” New Mandala, 21 Juli 2014. Lihat juga liputan Republika, “Ke Mana Politik Muhammadiyah di Abad Kedua?” Republika, 26 April 2015.

[3] Politik, merujuk pada gagasan Chantal Mouffe, adalah ”kumpulan praktik, wacana, dan institusi yang bertujuan untuk membangun keteraturan tertentu untuk mengelola aktivitas masyarakat dalam kondisi yang cenderung konfliktual” (the ensemble of practices, discourses and institutions that seek to establish a certain order and to organize human coexistence in conditions that are always potentially conflictual) Lihat Chantal Mouffe, “Deliberative Democracy of Antagonistic Pluralism?” Social Research, Fall 1999: 745-748.

[4] Sebagai contoh, Muhammadiyah tidak pernah menyatakan tujuan pendiriannya sebagai partai politik. Ia lebih sekadar organisasi keagamaan dengan basis aktivitas pemberdayaan pendidikan. Namun demikian, ketika Pemerintah Kolonial Belanda mengesahkan Ordonansi Guru pada tahun 1920an, Muhammadiyah justru terlibat untuk mengkritisinya dan membangun institusi pendidikan sendiri. Hal ini, jika meminjam bahasa Ernesto Laclau, disebut sebagai ‘otonomi ranah-ranah’ dimana semua ranah bisa menjadi arena pertarungan politik sejauh ia punya implikas publik. Lihat Alfian, Politik Kaum Modernis, Jakarta: Alwasat Publishing, 2013.

[5] Kajian tentang usaha melawan politik uang yang digagas oleh aktivis-aktivis Muhammadiyah dan ormas Islam lain di Lampung, lihat Rahmatul Ummah, et. al. (2015). Aktivis Muhammadiyah terlibat mengorganisir aliansi lintas-gerakan untuk melawan politik uang di Lampung.

[6] Dalam logika yang cukup kompleks, Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe menyebut hal ini sebagai chain of equivalence dan chain of difference. Sederhananya, pembentukan identitas politik akan sangat terkait dengan kemampuan ‘subjek’ untuk membangun persamaan antara wacana yang ia bangun dengan wacana lainnya, dan membangun consensus atas satu wacana besar tertentu yang didasarkan atas antagonisme/perbedaan dengan wacana lain yang akan dilawan dalam arena politik tertentu. Namun,  consensus tersebut pada dasarnya bersifat rapuh dan sangat mungkin mengalami krisis selama ada wacana lain yang bisa mendobraknya. Lihat Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy, London: Verso.

[7] Beberapa tulisan mengupas hal ini. Lihat, misalnya, Benni Setiawan, “Trisula Abad Kedua” SINDO, 4 Agustus 2015; Liputan Republika, “Tiga Trisula Baru Muhammadiyah”, Republika, 31 Juli 2015.

REFERENSI
Alfian. (2013). Politik Kaum Modernis: Perlawanan Muhammadiyah terhadap Kolonialisme Belanda. Edisi kedua. Jakarta: Al-Wasat..

Arifianto, Alex. (2014). “Neutral No More?” New Mandala, 21 Juli.

Baedhowy, Zakiyuddin. (2009). Teologi Neo Al-Maun: Manifesto Islam menghadapi Globalisasi Kemiskinan Abad 21. Yogyakarta:Surya Sarana Grafika.

Carroll, Toby. (2010). Delusions of Development: The World Bank and the Post-Washington Consensus in Southeast Asia. Basingstoke, UK: Palgrave Macmillan.

Critchley, Simon. (2004). "Is There a Normative Deficit in the Theory of Hegemony?" in Simon Critchley and Oliver Marchart. Laclau: A Critical Reader. Abingdon, Oxon: Routledge.

Easton, David. (1953). The Political System. New York: Knopf

Efendi, David. (2014). Politik Elite Muhammadiyah: Studi atas Fragmentasi Elite Muhammadiyah. Yogyakarta: Reviva Cendekia.

Huntington, Samuel P. (1993). The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Oklahoma: University of Oklahoma Press.

Laclau, Ernesto and Chantal Mouffe. (1986). Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics. London: Verso.

Lukacs, Georg. (1963). The Meaning of Contemporary Realism. translated by John and Necke Mander. London: Merlin Press.

Marappa, Pasti Liberti. (2015). “Ketum Muhammadiyah Haedar Nashir: Pluralitas itu Sunnatullah”. Wawancara, Detik, 2 September.

Mendonça, Daniel de. (2014) "The Place of Normativity in the Political Ontology of Ernesto Laclau." Brazilian Political Science Review 8 (1): 58-79.

Mouffe, Chantal. (1992). “Citizenship and Political Identity”. October 61, Summer.

Mouffe, Chantal. (1999). "Deliberative Democracy or Antagonistic Pluralism? Social Research 66 (3): 745-758.

Muzakki, Akh. (2004). Mengupas Pemikiran Amien Rais tentang Agama dan Politik. Yogyakarta: Lentera.

Mujani, Saiful. (2008). Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia pasca-Orde Baru. Yogyakarta: Gramedia.

Nashir, Haedar. (2001). Ideologi Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Nashir, H. (2008). Khittah Muhammadiyah tentang Politik. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Syamsuddin, M. Din. (1995). "The Muhammadiyyah Da ‘wah and Allocative Politics in the New Order Indonesia." Studia Islamika 2 (2): 35-71.

Thohari, Hajriyanto. (2015). “Muhammadiyah dan Politik” Republika, 7 Agustus 2015.

Tuhuleley, Said. (2008). “Muhammadiyah dan Politik: Catatan Kecil tentang Perjalanan Politik Warga Muhammadiyah”. Makalah Kajian Tematik III, Universitas Muhammadiyah Magelang dan Lembaga Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, 9 Agustus 2008.

0 komentar: