Selasa, 17 November 2015


Oleh: Khairul Arifin
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UGM dan aktif di PW IPM DIY

Tahun ini Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar pahlawan nasional bagi lima tokoh bangsa. Lima orang yang mendapat gelar pahlawan nasional adalah Bernnard Wilhem Lapian, Mas Isman, Komjen Dr. H. Moehammad Jasin, I Gusti Ngurah Made Agung, dan Ki Bagus Hadikusumo. Keputusan penganugerahan pahlawan nasional tersebut telah melewati serangkaian seleksi yang diputuskan melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 116/TK/ Tahun 2015.

Dari lima orang tersebut, Ki Bagus Hadikusumo menjadi nama yang tidak asing bagi masyarakat Yogyakarta. Pahlawan kelahiran 24 November 1890 itu adalah putra Kauman yang menjadi sosok penting dalam merintis berdirinya negara bangsa. Ketika ketegangan mengemuka dalam perumusan dasar negara, Ki Bagus Hadikusumo tampil menunjukkan kebijaksanaannya.

Islam dan Dasar Negara
Titik pangkal persoalan ketegangan dalam perumusan dasar negara adalah sila pertama dalam Piagam Jakarta yang berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Poin tersebut dinilai hanya mengakomodasi kepentingan golongan Islam. Masyarakat Indonesia Timur yang notabene didominasi umat Kristiani meminta pasal tersebut diganti. Potensi perpecahan pun muncul apabila tetap memaksakan sila ini tetap ada.

Memang pada saat itu golongan Islam sangat gigih mengusung konsep negara Islam sebagai dasar negara. Ki Bagus Hadikusumo yang menjabat Ketua Umum Muhammadiyah menjadi salah satu tokoh yang mendukung. Ketika sidang BPUPKI berlangsung pada 31 Mei 1945, beliau melontarkan konsep “membangun negara di atas dasar ajaran Islam”. Bagi Ki Bagus, Islam adalah yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Apalagi jika dirunut secara sosio historis, tradisi Islam telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat.

Akan tetapi karena mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih besar, dengan berbesar hati Ki Bagus menerima usulan untuk mengubah pasal tersebut. Tujuh kata yang menyerukan untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dihapus dan diganti dengan redaksi yang lebih mengakomodasi golongan non Islam seperti yang kini kita kenal: Ketuhanan yang Maha Esa.

Kita patut mengapresiasi golongan Islam yang saat itu bisa berbesar hati mengurungkan kepentingannya demi mendapatkan kemaslahatan yang lebih besar. Terlebih lagi Ki Bagus Hadikusumo yang selama ini dikenal sangat tegas soal agama mampu. Ia menjadi contoh sosok pemimpin Islam yang bijak. Menetapkan Ki Bagus Hadikusumo sebagai pahlawan nasional menjadi momentum yang tepat untuk merefleksikan tradisi keberagamaan kita saat ini.

Persoalan Kontemporer
Pasca orde baru, gerakan Islam transnasional dengan mudah masuk dan leluasa menyebarkan paham-pahamnya. Seiring dengan masuknya paham tersebut, formalisme agama semakin menguat. Keinginan menjadikan Indonesia sebagai negara berasas Islam muncul kembali di era ini. Pemahaman agama lantas dipersempit dengan bentuk formalisme aturan yang bias kelompok. Tak jarang kekerasan pada golongan tertentu muncul karena mendapat legitimasi aturan-aturan tersebut.

Barangkali catatan pelanggaran kebebasan beragama dari Setara Institute ini bisa menjadi gambaran. Pada 2007 Jumlah pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia tercatat 185 tindakan dalam 135 peristiwa. Pada 2008 mencapai 367 tindakan dalam 265 peristiwa. Pada 2009 terdapat 291 tindakan dalam 200 peristiwa. Sementara pada 2010 terdapat 286 tindakan dalam 216 peristiwa. Sedangkan di tahun 2013, Setara mencatat terdapat 222 peristiwa dan 292 tindakan pelanggaran kebebasan beragama.

Sektarianisme dan tindak kekerasan atas nama agama pada akhirnya seperti mengkhianati semangat pendiri bangsa. Para ulama pendiri bangsa sepeti Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, K.H. Kahar Muzakkir, K.H. A. Wahid Hasyim, dan lainnya sadar bahwa pancasila yang mereka susun tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama. Sila-sila yang terangkum dalam pancasila justru merefleksikan pesan-pesan agama, yaitu menjadi rahmatan lil alamiin yang mengayomi berbagai pihak dengan keyakinannya masing-masing.

0 komentar: