Sabtu, 15 November 2014


Oleh : Hafidz Arfandi
 
Alumni Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) FISIPOL UGM. Lahir dari keluarga Muhammadiyah akar rumput di Kota Tegal
 
Muhammadiyah Pionir Pembaharuan
Kelahiran Muhammadiyah sejak 1912 merupakan satu gebrakan besar bagi pembaharuan islam di Indonesia. Muhammadiyah terlahir sebagai pioneer dalam upaya merespon sikap diskriminatif pemerintah kolonial yang berusaha meminggirkan peranan islam melalui proses modernisasi Hindia. Pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui politik etis cenderung menggeser peranan kultural islam dan menggantikanya dengan tradisi sekulerisme modern. Sebagaimana dikatakan Shihab (1997)  pemerintah Hindia Belanda berusaha melakukan modernisasi dengan tradisi westernisasi dan kristenisasi yang dipaksakan akibat kecurigaan berlebihanya terhadap islam dan umat islam. Pemerintah kolonial lebih memilih menekan pembaharuan dengan model ini dikarenakan mereka menganggap melalui proses itulah wilayah jajahan bisa dipersatukan dengan induknya di masa depan.

Kehadiran politik etis berusaha membangun tren baru di masyarakat Hindia dengan menciptakan kelas elit pribumi terpelajar yang kebarat-baratan. Elit pribumi ini sengaja diciptakan dalam rangka mempertahankan stratifikasi sosial yang ada dimana kelas kulit putih kolonial menempati strata paling tinggi secara sosial sedangkan pribumi berwarna yang jelata menempati posisi paling bawah dalam kelas sosial. Upaya mempertahankan stratifikasi sosial sangat kentara dalam penyediaan akses pendidikan yang sengaja dibuat bertingkat-tingkat dan diperuntukan untuk kelas tertentu dalam masyarakat. Rata-rata kaum pribumi hanya mampu menikmati pendidikan kasta terendah (Latif, 2005).

Sistem ini melahirkan pengucilan (social exclusion) atas kelas pribumi jelata untuk tetap bertahan dalam kondisi sosialnya atau bahkan semakin terpuruk seiring dengan perubahan pola produksi ekonomi.  Sistem ini juga terjadi pada proses penggunaan dan pembelajaran bahasa, dimana bahasa belanda dan inggris hanya dinikmati oleh kelas elit terpelajar sedangkan kaum pribumi hanya mampu berkomunikasi dengan bahasa lokal.  Padahal, bahasa merupakan prasyarat untuk mengakses pengetahuan baru yang saat itu sedang menjadi tren.

Kehadiran Muhammadiyah berusah untuk menerabas pembatasan-pembatasan ini dengan berusaha mereproduksi wahana pendidikan baru yang dapat diakses oleh kalangan pribumi jelata. KH. Ahmad Dahlan menyinergikan konsep pendidikan pesantren tradisional dengan pendidikan sains modern. Sekolah ini pada akhirnya mampu menjadi ruang untuk mereproduksi kelas pribumi baru yang mampu berkompetisi di alam modernitas. Kehadiran sekolah yang dirintis KH. Ahmad Dahlan juga berusaha mengkompromikan tradisi “santri” dan “praja”. Santri identik dengan simbol keagamaan yang berusaha mempertahankan identitas dengan mengeklusi diri di tengah arus modernisasi kolonial, sendangkan, kaum praja adalah simbol kemajuan elit baru pribumi hasil didikan Kolonial. Semangat self helping di kalangan pribumi menjadi agenda besar Muhammadiyah, dimana kaum pribumi perlu bangkit dari keterbelakangan dengan mengandalkan solidaritas komunitasnya sendiri, bukan menuntut pada akses yang diberikan kolonialisme. Tradisi self helping identik dengan komunitas-komunitas terpinggir yang mengalami social atau legal diskriminasi (Dixxon dan Schreurell,1995)   

Pendidikan sebagai sebuah basis utama gerakan Muhammadiyah berhasil menciptakan kekuatan baru yang melahirkan semangat etno-nasionalisme. Semangat religiusitas baru yang secara langsung berusaha berkompetisi dengan gagasan modernitas sekuler atau modernitas nasrani yang dibawa  oleh kolonialisme baik secara langsung maupun melalui gereja yang disponsorinya. Pendidikan juga dijadikan basis untuk menolak tradisi pengucilan diri, self exclusion di kalangan pribumi yang anti terhadap pembaharuan. Mitsuo (1983) menyebutkan Sekolah Muhammadiyah mampu menciptakan kelas pribumi baru yang menguasai bahasa belanda, inggris, arab, melayu sekaligus menguasai ilmu-ilmu modern dan mampu menjadi pelopor pembaharuan Hindia dengan semangat keadilan sosial dan kesetaraan sosial.

Tradisi pembaharuan di seluruh dunia biasanya cenderung identik dengan tendensi kelas menengah, berbeda dengan tradisi revolusioner yang cenderung identik dengan kelas-kelas marginal “ploretariat”. Agenda pembaharuan KH. Ahmad Dahlan juga sangat identik dengan kelas menengah pada zamanya, yaitu; para saudagar dan para pamong praja. Kelas menengah memiliki kecenderungan untuk melakukan transformasi evolusioner yang adaptif. KH. Ahmad Dahlan berusaha mereproduksi gagasan pemurnian agama terutama guna melawan tradisi keberagamaan masyarakat jawa saat itu yang dianggap anti pada kemajuan, utamanya tradisi pemujaan yang berlebihan kepada para tokoh agama. Di sisi lain, para tokoh-tokoh tersebut seringkali mementingkan dirinya sendiri dan menikmati penghormatan berlebihan masyarakat serta melegitimasinya dengan sentuhan mistisisme.

KH. Dahlan bukan seorang revolusioner radikal yang melakukan perubahan melalui gerakan-gerakan perlawanan, sebaliknya pada wilayah praksis KH. Ahmad Dahlan berusaha melakukan transformasi yang evolutif, adaptif dan sistematis. Di sisi lain, KH. Ahmad Dahlan melakukan terobosan radikal di ranah konsepsi berfikir utamanya degan menolak tahayul, bid’ah dan khurafat. Sejarah menunjukan penolakan KH. Ahmad Dahlan bukanlah pada akar tradisi melainkan menolak penyesatan tradisi yang dilakukan untuk kepentingan pragmatis para elit pribumi, terbukti beliau sangat akomodatif dengan pihak Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Selain itu, menjalin relasi yang baik dengan Sultan Hamengkubuwono VII yang merupakan simbol dari tradisi dan budaya Jawa. Di masa awal kelahiranya konflik KH. Ahmad Dahlan bukanlah secara langsung dengan kraton melainkan dengan penghulu kraton yang konservatif dan anti kemajuan akibat (dogmatisme).

Pembaharuan gerakan Muhammadiyah berpayung pada upaya mereaktulisasikan nilai-nilai islam dalam budaya baru yang berkemajuan. Berbeda dengan tradisi pemurnian agama ala wahabisme yang cenderung berpayung pada salafisme scriptualis. KH. Ahmad Dahlan lebih mementingkan salafy reformis (Nashir, 2013). KH. Ahmad Dahlan meletakan kembali ajaran islam sebagai sebuah misi profetis yang kontekstual menghadapi kondisi zamanya. Peletakan tradisi ini dalam Muhammadiyah ditunjukan dengan gerakan yang memiliki dwi fungsi pembaharuan, berupa ortodoksi (pemurnian agama) dan ortopraksi (aktivisme sosial berbasis pelayanan).

Sikap ortodoksi pada era KH. Ahmad Dahlan menunjukan keunikan karena beliau lebih menekankan pada dua  konsep, pertama, adanya hati yang suci “tazkiyatun nafs” dan kedua, pikiran yang sehat  “salimul fikr”. Konsep ini berupaya melahirkan gagasan kemajuan yang mendobrak fanatisme keagamaan yang menegasikan kebenaran. Fase ini disebut sebagai fase spiritualisasi syariah dengan menolak adanya proses formalisme syariah (Santoso, 2014). Sikap ortodoksi melahirkan pemahaman aktual dimana KH. Ahmad Dahlan menganggap musuh utamanya adalah kebodohan yang melahirkan jawaban dengan proses pendidikan. Adapun, pendidikan sendiri memberikan konsekuensi pada perluasan aktivismenya terutama di sektor kesehatan, ekonomi dan sosial. Alhasil Muhammadiyah selalu identik dengan aktivisme sosial yang berhasil melahirkan Amal Usaha Muhamamdiyah di sektor pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi.

AUM-isasi dan Kemandegan Ijtihad dalam Muhammadiyah
Sosok KH. Ahmad Dahlan, bukanlah sosok intelegensia modern yang dengan mudah kita temukan karya-karyanya, beliau adalah seorang guru dan praktisi yang berkiprah dengan wujud nyata. Di sisi lain, gagasan dan pemikiranya tercermin dalam kultur persyarikatan Muhammadiyah. Muhammadiyah di usianya yang sudah melampaui seabad terbukti telah mampu mereproduksi ribuan amal usahanya di sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial.  Jamaah Muhammadiyah dari level ranting, cabang, daerah, wilayah hingga pusat memiliki indentitas kolektif untuk berusaha sekuat tenaga menciptakan sarana-sarana pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi.  AUM dilahirkan baik oleh inisiatif perorangan maupun inisiatif kolektif jamaah yang pada akhirnya di-waqaf-kan sebagai milik persyarikatan. Gairah ini sadar atau tidak merupakan sebuah tradisi kelembagaan yang muncul di Muhammadiyah yang telah menjadi tuntutan kultural dan struktural. Bagi masing-masing level kepengurusan AUM adalah identitas yang patut dibanggakan dan diperlombakan keunggulanya masing-masing dalam konteks fasthabiqul khairat.

Hampir tidak ada satu pun, AUM yang didirikan semata untuk mengejar profit, selalu terselip mimpi-mimpi mulia dibaliknya. Walaupun pada praksisnya diakui ataupun tidak, dari AUM-lah Muhammadiyah dapat melakukan swasembada finansial. AUM-lah sumber pendapatan ribuan aktivis Muhammadiyah yang mengurusinya sekaligus juga sumber pendapatan utama persyarikatan. Kondisi ini melahirkan pergeseran AUM yang tidak hanya dituntut membawa misi mulianya tetapi juga memenuhi kebutuhan finansial persyarikatan.  Kondisi ini menjadikan double burden bagi AUM, di saru sisi sebagai institusi jasa (ekonomi, kesehatan dan pendidikan) mereka sulit menjadi aktor kompetitif di tengah arus persaingan yang semakin ketat.  Di sisi lain, AUM juga tidak bisa menjadi sebuah lembaga murni sosial yang mampu mengekspresikan cita-cita mulianya akan kepedulian kepada kaum mustadhafin dikarenakan kebutuhan teknis untuk tetap bisa beroperasi dan berprofit.

Dilema ini cukup tertolong dengan hadirnya keswadayaan jamaah Muhammadiyah, dimana jamaah sangat berkontribusi besar untuk membiayai seluruh upaya kelahiran dan pengembangan AUM. AUM ibarat anak yang dilahirkan seorang ibu  “jamaah Muhammadiyah”, sebesar apapun AUM ia akan tetap dikasih sayangi dengan penuh cinta kasih tanpa banyak berharap, walaupun ayahnya “struktur persyarikatan” kadang menuntutnya untuk lebih mandiri dan bisa ikut membantunya, namun, bagi sang ibu “jamaah” sebaik atau seburuk apapun kondisi sang anak  “AUM” kecintaannya tidak akan lepas. Ibu hanya menginginkan anaknya tumbuh besar dan meraih prestasi-prestasi terbaiknya “kompetitif”, serta menjaga kesalehanya “niatan mulia”.

Nampaknya, pemikiran dan nilai yang dibawa Muhammadiyah kini sebatas menjadi tradisi kolektif untuk berlomba-lomba membangun AUM, atau AUM-isasi Muhammadiyah. Tradisi AUM-isasi  ini merupakan sebuah modal sosial yang sangat positif dan berpotensi untuk terus dikembangkan, tetapi ketika sikap ini tidak dilandasi oleh sebuah komitmen perwujudan nilai, maka betapa keringnya AUM yang dibangun dengan biaya mahal dan hanya mewujud sebatas bangunan fisik dan putaran uang tanpa makna.

Kondisi ini semakin menggejala dalam alam pemikiran warga Muhammadiyah yang terus berupaya mengawetkan gagasan-gagasan KH. Ahmad Dahlan tanpa mencoba untuk melakukan penafsiran kontekstual. Alhasil gagasan pembaharuan yang dibawa sang Guru, kini justru menjelma menjadi tradisi yang kaku. Dalam keagamaan orang Muhammadiyah di akar rumput masih ribut tentang qunut, tahlil, dan lain sebagainya yang tidak lagi berpijak pada upaya mereaktulisasikan agama melainkan menjadikan scriptualisasi agama sebagai payung. Sering muncul logika sederhana yang terburu-buru dengan menafsirkan Muhammadiyah sebatas “bukan NU” (Santoso, 2014).

Muhammadiyah pada pasca reformasi lebih terbelalak lagi ketika melihat bahwa di era keterbukaan tidak hanya bersanding dengan NU, melainkan ada tarbiyah, jamaah tabligh, HTI, salafy, hingga ahmadiyah, syiah, dan macam-macam lainya. Muhammadiyah menjadi sibuk melakukan pembcaaan-pembacaan terhadap “the others”, di sisi lain, lupa mengidentifikasikan posisi dirinya sendiri. Muhamamdiyah ibarat sibuk melihat semut di sebrang lautan tanpa memperhatikan gajah di pelupuk mata. Baik secara gerakan maupun pemikiran Muhammadiyah belum memiliki sistem penjelas (konsep gerakan dan pemikiran) yang utuh dalam menjawab berbagai realitas yang terus berkembang.

Sebagian jamaah Muhammadiyah diakar rumput terkadang menafsirkan Muhammadiyah yang asli justru seperti salafy wahabisme yang mengedepankan pemurnian agama secara skriptualistik. Hal ini muncul hanya karena mengganggap salafy wahabisme “bukan NU, yang sejati” dan lebih berani melawan TBC, tanpa mereka memahami salafisme sebagai sebuah gerakan keagamaan, sosial dan politik (primordialisme Saudi-isme) yang utuh. Lalu apa sebenarnya nilai dasar dari ke-muhammadiyah-an? tanpa bermaksud untuk merlibatkan diri pada urusan-urusan di wilayah fiqh –yang bukan expertism saya sebagai sarjana ilmu sosial-.

Muhamamdiyah Kalah Seksi 
Sebagai Sarjana sosial saya lebih melihat kegagalan Muhammadiyah dalam membaca arah pergerakanya di era kekiniaan disadari atau tidak lahir akibat upaya mengekslusi diri. Alhasil Muhammadiyah hanya menarik bagi jamaahnya saja, atau orang seperti saya yang terlahir dari keluarga Muhammadiyah. Muhammadiyah sebagai persyarikatan terlihat sangat kaku diakibatkan oleh tiga faktor, pertama, sistem perkaderanya yang kaku dan belum berusaha membuka ruang yang luas bagi masuknya lebih banyak orang, kedua, Struktur Muhamamdiyah yang menunjukan hirarkis yang rumit terkadang tidak diminati masyarakat. Ketiga, Muhammadiyah belum memiliki rancang bangun gerakanya yang mampu melahirkan citra yang kontekstual.

Maka, wajarlah bila generasi muda sekarang mungkin lebih tertarik dengan halaqah-halaqah yang diberikan berbagai gerakan mulai dari sekolah-sekolah, masjid-masjid dan kampus. Generasi muda terkadang melihat gerakan-gerakan ini lebih islami dari Muhammadiyah, bukan berdasarkan pemahaman dan pemikiranya melainkan karena kultur yang mampu dibangunya dalam lingkaran-lingkaran kecil yang sistematis dalam menumbuhkan ikatan emosional kolektif.

Berbeda dengan Muhammadiyah yang berhirarkis panjang dan kaku dalam perkaderan, gerakan islamis baru ini lebih menerapkan sistem kaderisasi berbasis sel yang lebih kreatif dan atraktif, sebagaimana yang dianut partai-partai komunis pertengahan abad 20 yang dalam sistem gerakanya menganut dua jalur, jalur terbuka dan tertutup. Jalur terbuka dibangun untuk memperkuat basis massa sedangkan jalur tertutup dibangun untuk melakukan agenda-agenda politik tertutup. Gerakan ini dicirikan dengan hirarkis tertutup, berjejaring luas, dan banyak wajah “sel-sel” yang kesemuanya tunduk dibawah hirarkis tertinggi dengan sistem penjelas yang dikulturalisasikan. Dengan sistem ini, maka basis massa diakar rumput tidak mempertanyakan konstelasi pemikiran, struktur maupun agenda gerakan politiknya. Generasi muda cukup nyaman dan terbuai dengan kultur hidup islami yang diperkenalkanya serta sentimen kolektif “ukhuwah islamiyah dalam jamaah” yang telah terbangun.

Pertanyaan besarnya apakah kemudian Muhammadiyah akan berhadap-hadapan dengan kelompok-kelompok ini? Atau sebaliknya Muhammadiyah lebih berusaha mengutuhkan diri sebagai sebuah gerakan yang sistematis dan memiliki agenda-agenda profetis yang nantinya dengan semangat ukhuwah islamiyah yang pluralistik (bukan doktrin ukhuwah islamiyah, kejamaahan semata) berusaha untuk merangkul mereka “saudara-saudara seiman” yang diluar, mendamaikan konflik di kalangan mereka “gerakan-gerakan islamis baru” tersebut dan selanjutnya menjadi payung besar bagi pembangunan tatanan peradaban islam yang berkemajuan, khususnya di Indonesia bahkan di dunia.

Agaknya sebagai gerakan islam tertua yang telah tumbuh dewasa dan sebagai tuan rumah peradaban islam Indonesia, Muhammadiyah (bersama NU) lebih pantas untuk memilih yang kedua, dengan mengayomi dan menjadi rujukan bagaimana menerjemahkan islam sebagai ajaran kemanusiaan yang rahmatan lil alamin di tengah pluralitas masyarakat Indonesia dan warga dunia. Jika pilihan pada opsi kedua, maka diperlukan sebuah kerja keras untuk menafsirkan Muhammadiyah dalam dwi fungsinya pertama, secara “ortopraksi” tidak lagi menjadi sebatas AUM-isasi, dan yang kedua, dalam “ortodoksi”nya tidak sebatas “bukan NU”. (bersambung)

Referensi
Dixon, John dan Robert P. Scheurrel (ed.), 1995. Social Welfare in Indigenous People, London : Routledge
Latif, Yudi, 2005, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Abad 20, Mizan: Bandung
Mitsuo, Nakamura, 1983, Bulan Sabit Muncul Dibalik Beringin : Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kota Gede, Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Nashir, Haedar, 2013, Gerakan Islam Syariat : Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Bandung : Mizan
Santoso, M. Abdul Fattah, 2014, Menuju Internasionalisasi Pemikiran Muhammadiyah: Perspektif Perkembanganya dan Fokus pada Kasus Isu Pemurnian Islam dan Manhaj/Metodologi Ijtihad, makalah disampaikan pada Workshop Internasionalisasi Gerakan dan Pemikiran Muhammadiyah di UMS, Surakarta, pada 31 September 2014 (belum dipublikasikan)
Shihab, Alwi, 1997, Membendung Arus : Respon Gerakan Muhammadiyah  terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung : Mizan

0 komentar: