Kamis, 11 Desember 2014


Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Peneliti di ASEAN Studies Center dan Aktif di Muhammadiyah Muda Bulaksumur

SEJAK pertama kali didirikan pada tahun 1925, Muhammadiyah di Kalimantan Selatan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Selain membangun berbagai sekolah, rumah sakit, hingga pondok pesantren, Muhammadiyah juga terkenball dengan gerakan dakwahnya di berbagai pelosok daerah di Kalimantan Selatan.

Banyak yang mengidentikkan Muhammadiyah sebagai gerakan “Kaum Muda” yang mencoba untuk membangun pemaknaan baru terhadap Islam dengan bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits secara lebih menyeluruh. Namun, pada dasarnya, Muhammadiyah bukan sekadar sebuah gerakan “dakwah”, melainkan juga gerakan sosial yang memiliki akar sejarah di Banua.

Sejauh ini, perkembangan kajian-kajian tentang Banjar dan Kalimantan Selatan melupakan tiga hal penting. Pertama, terpisahnya kajian tentang ‘etnis’ atau ‘budaya’ dengan ‘sejarah’. Sedikit literatur yang tersedia memandang ‘Banjar’ sebagai ‘etnis’ yang bersifat primordial dan khas, baik secara fisik maupun budaya, namun tidak melihat kontinuitas historis dari etnisitas maupun kebudayaan tersebut.

Di sisi lain, sejarah Banjar dilihat sebatas apa yang terjadi di masa Kesultanan (atau ketika Kerajaan Nagara Dipa masih ada) hingga kekalahan dalam Perang Banjar. Studi-studi yang ada gagal menangkap proses pembentukan masyarakat Banjar modern yang terus berproses hingga saat ini.

Kedua, banyak kajian yang ada, selain lebih bercerita soal etnis yang terpisah dari proses sejarah yang kontinyu, juga sangat menitikberatkan pada ‘elit’. Kajian-kajian tentang Perang Banjar, misalnya, lebih banyak didominasi oleh peran-peran elit Keraton (Pangeran dan Gusti) di Kayutangi namun melupakan bagaimana proses mobilisasi itu terjadi di akar rumput.

Hal serupa juga terjadi pada kajian-kajian lain tentang Kesultanan Banjar yang lebih banyak meng-cover cerita tentang pergaulan di kalangan Keraton hingga elit-elit keagamaannya. Dengan demikian, studi-studi yang ada gagal menangkap struktur masyarakat yang membentuk keseharian sosial, politik, dan ekonomi Banjar secara lebih luas.

Ketiga, minimnya literatur yang membahas masyarakat Kalimantan Selatan pasca-Perang Banjar. Karena dominasi perspektif primordial dan sejarah yang hanya menceritakan masa lalu, banyak yang melupakan terbentuknya masyarakat modern yang, suka tidak suka, berlangsung setelah runtuhnya Kesultanan Banjar.

Proses modernisasi ini berhubungan erat dengan terbentuknya struktur politik kolonial, berubahnya struktur ekonomi masyarakat, dan munculnya “golongan menengah” –meminjam istilah Farchan Bulkin (1984)— di Kalimantan Selatan. Dari titik inilah kita bisa memahami kemunculan Gerakan Muhammadiyah di Tanah Banjar.

Tulisan ini akan berupaya untuk menelusuri lahirnya Gerakan Muhammadiyah di Kalimantan Selatan sebagai keberlanjutan sejarah dari proses modernisasi awal di provinsi ini. Muhammadiyah terkenal sebagai gerakan ‘kaum muda’ yang pertama kali membawa paham modernis yang memperbarui pemahaman keagamaan masyarakat di awal abad ke-20.

Lahirnya gerakan Muhammadiyah di Kalimantan Selatan bukan sekadar transfer dari struktur Muhammadiyah yang lebih luas di tingkat nasional (Darban dan Pasha, 1995), namun juga merupakan ‘buah’ dari modernisasi yang terjadi di Kalimantan Selatan pasca-Perang Banjar. Dengan demikian, ada proses-proses transformasi lokal yang memungkinkan hadirnya Muhammadiyah dan memungkinkan ia terus bertahan hingga saat ini di tanah Banjar.

Berawal dari Alabio
Berdasarkan penelitian Lemlit IAIN Antasari di tahun 2009, Muhammadiyah di Kalimantan Selatan  berdiri mula-mula di  Alabio  pada tahun 1925, 13 tahun setelah berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta. Berdirinya Muhammadiyah di Alabio ini cukup menarik mengingat Alabio bukanlah ‘pusat’ baik Kesultanan Banjar (yang berpusat di Kayutangi, 40 km dari Banjarmasin) maupun pemerintahan Kolonial (yang berpusat di Banjarmasin). Bahkan, posisi kota kecil Alabio berada 200 km dari Banjarmasin dan bukan berada di wilayah pesisir. Baru setelah berdiri di Alabio, Muhammadiyah kemudian menyebar ke Rantau (1937), Kandangan (1931), Martapura dan Banjarmasin (1932), Haruai (1934), dan Marabahan (1939).

Mungkin agak sulit membayangkan bahwa Muhammadiyah, sebuah organisasi keagamaan yang disebut-sebut "modernis" bermula perkembangannya di Bumi Kalimantan Selatan pada sebuah 'desa' yang letaknya hampir 5 jam dari Kota Banjarmasin dan terletak di hulu sungai bagian utara: Alabio.

Berbicara Muhammadiyah di Banjar memang takkan terlepas dari Alabio. Meskipun berkembang pesat dan bermarkas di Banjarmasin, Muhammadiyah terlebih dulu maju dan berkembang dari desa ini. Sampai-sampai, pada tahun 2010 silam calon Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah seakan-akan 'dipilih' pada latar primordial ini. Begitu penting dalam latar sejarah persyarikatan di Banua.

Alabio berjarak sekitar 5 jam perjalanan dari Banjarmasin. Wilayah ini sekarang masuk teritorial Hulu Sungai Utara. Warganya beternak itik  (bebek) yang menjadi ciri khas daerah ini. Begitu masuk ke Jembatan Alabio saja kita sudah disambut dengan patung itik.

Namun, selain beternak itik, jiwa dagang Urang Alabio juga kuat. Daerah ini juga dikenal dengan kelakar humornya, "mahalabio", yang menjadikan sesuatu yang serius menjadi candaan -karena diungkapkan dengan ambigu. Humor khas urang Banjar ini mungkin menjadi salah satu sebab mengapa pergumulan kaum muda dan kaum tuha tidak berlatar konflik social, sekaligus menandakan kepandaian 'urang banjar' dalam bersilat lidah.

Posisi Alabio 'terkepung' di antara wilayah basis kaum Nahdhiyyin,seperti, misalnya, Amuntai (yang terkenal dengan KH Idham Chalid, mantan Ketua Umum PBNU), Pemangkih (Tuan Guru H Muhammad Ramli, pondok pesantren Ibnul Amin), atau Danau Panggang (Tuan Guru KH Asmuni/Guru Danau). Namun, dari daerah inilah bersemi benih 'modernisme' Muhammadiyah yang bergumul dengan tradisi 'kaum tuha' di Hulu Sungai.

Latar Keagamaan Masyarakat Banjar
Sebagaimana jamak kita pahami, modernisme Islam biasanya berakar di wilayah-wilayah perkotaan. Di Jawa Tengah, misalnya, Muhammadiyah tumbuh pesat dari Yogyakarta, kota yang bersemai tradisi keraton yang cukup kuat. Wilayah lain di mana Muhammadiyah tumbuh pesat adalah Pekalongan, kota batik yang berada di pesisir utara pulau Jawa.

Di Jawa Timur, Muhammadiyah terkembang dari Tambak Beras, di mana KH Mas Mansyur berdialektika dengan KH Wahab Chasbullah tentang modernitas, menjadikan mereka berpisah menjadi pimpinan dua organisasi Islam yang saling berhadapan.

Secara sosiologis, kita dapat memetakan pola konsentris masyarakat di Kalimantan Selatan menjadi tiga bagian besar (lihat, misalnya: Darliansyah Hasdi, 2009).

Tipe pertama adalah masyarakat pahuluan yang tinggal di hulu Sungai Barito. Masyarakat Pahuluan ini tinggal di daerah yang kita kenal sebagai 'banua lima' (Rantau, Kandangan, Barabai, Amuntai, Tanjung). Wilayah Banjar Pahuluan dulu pernah menjadi ibukota kerajaan Banjar Hindu. Ibukota kerajaan pernah berpusat di Amuntai (Candi Agung) dan Margasari Rantau, menandai wilayah pahuluan sebagai wilayah dengan tipe masyarakat ‘feodal’ dan ‘kerajaan’.

Setelah Kesultanan Banjar berdiri, Hulu Sungai menjadi wilayah yang marjinal. Wilayah Hulu Sungai, yang masyarakatnya banyak berhuma dan mencari nafkah dengan menangguk ikan (terutama di wilayah HSU), sangat bertipe tradisional dengan solidaritas organik -meminjam bahasa Durkheim- yang sangat kuat. Masyarakatnya hidup mengelompok, sehingga tidak terkonsentrasi oleh figuritas ulama yang sangat dominan. Sebagai gantinya, menjamur pesantren sebagai wadah kaderisasi ulama. Di wilayah inilah Muhammad Nafis al-Banjari berdakwah dan menyebarkan agama Islam, memberi fondasi ‘tradisi’ keagamaan yang sangat kuat di Kalimantan Selatan (Azra, 2003).

Namun, masuknya Islam di abad ke-16 dengan berdirinya Kerajaan Banjar di Kuin mengubah peta konsentrasi penduduk. Pada awal abad ke-16, Sultan Suriansyah (Raja Pertama Kerajaan Banjar) memindahkan ibukota ke Kuin yang berada di Muara Sungai Banjar. Wilayah perkotaan menjadi berpusat di daerah Muara Kuin yang berarti berpindah ke wilayah Muara. Secara sosiologis, wilayah ‘Muara’ lebih multikultural karena menjadi wilayah yang disebut oleh Hildred Greetz sebagai ‘coastal malay’ dan menjadi basis perdagangan di pesisir selatan Kalimantan (Hawkins, 2000).

Sehingga, jika kita lihat kategori masyarakatnya secara sosiologis, 'golongan menengah' akan banyak berada di wilayah Muara Sungai, terutama Banjarmasin. Hal ini disebabkan oleh posisinya yang strategis, berada di Muara Sungai yang berarti membuka hubungan dengan pihak luar. Pada titik inilah sebabnya dari dulu Banjarmasin terkenal sebagai kota perdagangan, dan pada titik ini pula Banjarmasin menjadi salah satu lokasi dimana pemerintah Kolonial masuk dan berinteraksi dengan kekuatan politik lokal.

Sehingga, jika kita lihat kategori masyarakatnya secara sosiologis, 'kelas menengah' akan banyak berada di wilayah Muara Sungai, terutama Banjarmasin. Mengapa? Sebab posisinya strategis, berada di Muara Sungai yang berarti membuka hubungan dengan pihak luar. Ini sebabnya dari dulu Banjarmasin terkenal sebagai kota perdagangan.

Sementara itu, pada abad ke-18, Kesultanan Banjar memindahkan pusat pemerintahannya ke Martapura (dulu bernama Kayutangi). Di era inilah lahir seorang ulama kenamaan, Syekh Arsyad Al-Banjari yang berdakwah dari Dalam Pagar (tanah yang diberikan oleh Sultan Rahmatillah). Sehingga, secara sosiologis ini menjelaskan mengapa wilayah Martapura sangat religius dan sangat fanatik dengan ulamanya.

Pembentukan 'style' faham keagamaan masyarakat Banjar, menurut saya, berakar dari tipologi ini. Jika kita simpulkan secara linear, seharusnya dengan interaksinya yang mudah dengan pihak luar, Banjarmasin akan sangat 'modernis'.

Sementara itu, wilayah Martapura akan sangat fanatik dengan "Tuan Guru"-nya, terutama dengan 'trah' Palampayan (sebagai contoh, ada Mufti KH Jamaluddin dari Surgi Mufti atau KH Zaini Ghani dari Sekumpul yang merupakan keturunan Syekh Arsyad Al-Banjari). Ini bisa dilihat dari posisi Guru Sekumpul yang sangat disegani dan ketika beliau meninggal, masyarakat merasa kehilangan yang sangat besar.

Adapun Hulu Sungai, yang masyarakatnya banyak berhuma dan mencari nafkah dengan menangguk ikan (terutama di wilayah HSU), akan bertipe tradisional dengan solidaritas organik -meminjam bahasa Durkheim- yang sangat kuat.

Masyarakatnya hidup mengelompok, sehingga tidak terkonsentrasi oleh figuritas ulama yang sangat dominan. Sebagai gantinya, menjamur pesantren sebagai wadah kaderisasi ulama. Seorang rekan penulis pernah mengatakan bahwa hal ini membedakan 'tipe' ulama di Hulu Sungai dan Martapura.

Jika kesimpulan tersebut kita ikuti secara linear, maka Muhammadiyah seharusnya tumbuh pesat dari wilayah Muara. Hal ini memang benar dan diafirmasi. Namun, pada faktanya, sebelum tumbuh di Banjarmasin dan wilayah Muara, Muhammadiyah justru bergeliat dari Alabio. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Kaum Tuha dan Kaum Muda
Sebagaimana dinyatakan Hairus Salim HS (2009), identitas suku dan agama di Banjar memang punya ciri yang sangat khas, yaitu ada 'ketumpang-tindihan' dua identitas itu. Bagi urang Banjar, ada sebuah adagium 'Banjar adalah Islam dan Islam adalah Banjar'.

Menurut Hairus Salim, hal ini berimplikasi pada model keber-Islaman orang Banjar yang sangat menjunjung tinggi tradisi agama, biarpun itu sudah bercampur dengan sesuatu yang "di luar" agama (bahasa  kaum modernis: Bid'ah).

Hal ini terjadi di kalangan 'Kaum Tuha' menghadapi kelahiran kaum Muda atau Muhammadiyah ini. Beragam perdebatan agama terjadi, dan itu akhirnya menjadi sesuatu yang umum. Di Kandangan, Barabai, bahkan Banjarmasin, perselisihan paham agama ini terjadi.

Muhammadiyah bahkan awal mulanya disangka 'keluar dari agama' karena amalannya bertolak belakang dengan amalan Tuan Guru di pengajian. Misalnya, tidak pakai qunut subuh atau tidak ber-ushalli dalam Shalat. Tetapi, karena keteguhan prinsip agama dari para pendahulu, dialektika ini terjadi.

Ada sebuah istilah yang cukup sering digunakan melihat fragmentasi ini: 'kaum muda' dan 'kaum tuha'. Kaum Muda merujuk pada kalangan Muhammadiyah dan 'Islam Modernis', sementara Kaum Tuha merujuk pada NU dan 'Islam Tradisionalis'.

Istilah ini mengemuka karena yang membawa Muhammadiyah ke Banjar adalah orang-orang Muda. Nanti akan kita temukan pergumulan pedagang Usman Amin dan H. Jaferi yang membawa Muhammadiyah ke Alabio.

'Kaum Tuha' kukuh dengan adat dan tradisinya. Mereka ditopang oleh struktur pesantren dan jejaring pengajian (majelis Ta'lim) di desa-desa. Tuan Guru biasa membacakan 'kitab' dan peserta pengajian membacakan. Relasinya sangat kuat.

Guru menjadi figur yang sangat dihormati karena ke-alim-annya. Dalam wilayah agama, tak ada yang bisa membantah kaum Tuha.

Belakangan, ada beberapa 'kaum Muda' yang kritis. Terlebih setelah akses informasi atas kitab terbuka. H. Jaferi yang menuntut ilmu ke berbagai daerah rupanya kurang puas. Ia berinteraksi dengan H. Usman Amin, seorang pedagang Alabio di Surabaya yang sudah menerima Muhammadiyah.

Singkat kata, pergumulan dua orang ini melahirkan Muhammadiyah. Respons kaum Tuha juga keras. Sebab, keberadaan Muhammadiyah akan merusak tradisi keagamaan yang berpilar kuat di Kalimantan Selatan. Ini mungkin dampak dari kultur masyarakat Banjar yang monolitik dalam keagamaan -meminjam bahasa Hairus Salim.

Dan pertentangan ini terkadang menjalar juga pada relasi sosial. Kaum Muda dan Kaum Tuha menjadi sebuah fenmena sosial tatkala faham keagamaan juga meluber hingga pergaulan di warung-warung, di rumah-rumah, atau bahkan pada soal sosial lain.

Di Alabio, rupanya hal ini terjadi. "sungai" seakan menjadi pembatas, mana wilayah kaum muda dan mana daerah kaum Tuha. Yang di seberang sungai terkadang 'kada merawa'  (tidak bertegur sapa) dengan kaum muda, atau perdebatan berakhir agak panas.

Tetapi, kerukunan tetap terjaga, karena terkadang pula terjadi pernikahan antara 'kaum muda' dan 'kaum Tuha'. Sesuatu yang bagi saya agak lucu, mengingat pada tingkat 'mertua' atau 'keluarga' perbedaan pendapat dalam hal agama terkadang membawa pada kada berawaan (tidak bertegur sapa),walaupun setelah di mesjid berjamaah lagi.

Friksi dan Pergumulan yang lebih bersifat intelektual ini jelas dipengaruhi oleh soal-soal sosial. Maka, yang jadi pertanyaan, mengapa justru Muhammadiyah bertumbuh dan berkembang dari sebuah desa yang 'terkepung' oleh tradisionalisme seperti Alabio?

Bermula dari 'Surat-Menyurat'
Berbicara tentang Muhammadiyah di Alabio takkan lepas dari dua nama: H. Jaferi dan H. Usman Amin. Menurut sejarah singkat Muhammadiyah di Alabio yang tertera dalam situs resmi PW Muhammadiyah Kalimantan Selatan, Usman Amin adalah seorang pedagang asal Alabio yang bermukim di Surabaya. Beliaulah yang pada mulanya berkenalan dengan Muhammadiyah.

Kemudian, datanglah seorang anak muda bernama H. M. Japeri. Ia sering mengadakan hubungan surat menyurat dengan beliau. Dari sini, H. M. Japeri mulai mendapat keterangan tentang adanya sebuah gerakan Islam di Yogyakarta, yang bermaksud menyiarkan agama Islam yang murni, bersumber Alquran dan Sunnah Rasul, dengan jalan mendirikan fasilitas pelayanan sosial.

H. M. Japeri adalah seorang 'santri' yang cukup giat belajar agama. Ia mulai mengaji di Mekkah yang, dengan membaca majalah-majalah yang berkaitan dengan gerakan kebangkitan Islam, memang sudah selalu mengikuti perkembangan mulainya kebangkitan umat Islam. Semuanya itu klop dengan gerakan Muhammadiyah yang diterangkan oleh H. Usman Amin.

Pulang ke Alabio, pergumulan itu kian intens. Beliau mulai mendakwahkan agama di masyarakat dengan cara baru. Sejak itu sudah mulai beliau dapati tantangan dan reaksi dari ulama lainnya dan juga dari masyarakat yang tidak dapat menerima perubahan-perubahan itu.

Pada bulan Maret 1923, beliau berangkat ke Yogyakarta untuk  mengantar puteranya untuk sekolah memasuki HIS met de Quran yang didirikan oleh Muhammadiyah. Inilah awal mula persentuhan HM Japeri dengan Muhammadiyah. Dengan ditemani oleh H. Usman Amin dari Surabaya, kunjungan beliau ini dimaksudkan untuk menelisik lebih dalam pergerakan Muhammadiyah di Yogyakarta.

Disampaikan oleh PW Muhammadiyah Kalsel, beliau tidak sempat bersua dengan KH. Ahmad Dahlan, karena sudah meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 1923.  Sekembalinya dari Yogyakarta dan setibanya di Alabio dalam bulan April 1923, H. M. Japeri langsung mengadakan musyawarah dengan tokoh masyarakat secara resmi mendirikan organisasi Muhammadiyah di Alabio.

Assabiqunal awwalun Muhammadiyah di Alabio, ialah alm. H. Djantera, H. Arsyad, H. Abulhasan, H. Sahari, H. Hanafiah, H. Bastami, H. Achmad (penghulu), H. Ahmad Hudari, H. Mansur, H. Hasbullah, H. Japeri Hambuku, Abdullah Maseri, H. Tahir (penghulu), Bastami Jantera , H. Nasri, dan lain-lain. H. M. Japeri kemudian menjadi anggota Muhammadiyah pertama untuk Kalimantan. Kartu anggota (bewys van Jidmaatschap) Muhammadiyah beliau bernomor I/12.541.

Laman Informasi Bubuhan Banjar mencatat bahwa pada tahun, 1929 Muhammadiyah Alabio mengadakan Konperensi I yang dihadiri salah satu Pengurus Besar Muhammadiyah: Buya A.R. Sutan Mansyur. Sementara di Banjarmasin, perkembangan Muhammadiyah beriringan dengan masuknya Sarekat Islam. Salah satu tokoh penting dari perkembangan Muhammadiyah di Banjarmasin ini adalah Kyai Hasan Corong, seorang ambtenaar di pemerintahan yang juga bersimpati dengan dakwah pembaharuan. Menyusul beberapa tokoh seperti Abdul Karim Corong (pendiri RK Family Bond) dan tokoh-tokoh lain.

Mengingat perkembangan yang pesat ini, Kalimantan Selatan kemudian mendapatkan kepercayaan dari Pengurus Besar  untuk menggelar Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin yang berlangsung dari tanggal 15 s.d. 22 Juli 1935. Kongres yang kemudian memilih KH. Hadjid ini dihadiri oleh sekitar 400 orang peserta, dari seluruh perwakilan Muhammadiyah dan Aisyiyyah di Hindia Belanda.

Itulah Muhammadiyah, menyebar dari sebuah desa bernama Alabio. Memang tidak bisa dikatakan bahwa semua orang Alabio adalah 'kaum muda'. Ada juga 'kaum tuha' di sini, tapi dialektika itu bermula dari sini, dan juga berjalan dengan harmonis di desa kecil ini.

Di Alabio pula berdiri salah satu Mesjid Muhammadiyah tertua di Kalimantan Selatan, Mesjid Al-Amin. Mesjid ini diberi nama dari pendiri Muhammadiyah, H. Usman Amin. Mesjid ini awalnya bernama mesjid Kajang, tidak jauh dari Muara Tapus.

Di samping Mesjid, ada Madrasah Muallimin Alabio yang kini dikembangkan menjadi Pesantren yang langsung dikelola oleh PW Muhammadiyah Kalsel. Salah satu pesantren Muhammadiyah di antara pesantren kaum tradisionalis. Amal usaha yang mula-mula berdiri, selain sekolah, adalah panti asuhan di pertengahan dekade 1930-an.

Muhammadiyah  dengan megah berdiri dari sebuah desa yang tak begitu besar: Alabio. Itulah sebabnya, beberapa tokoh Muhammadiyah Kalimantan Selatan adalah Urang Alabio. Sebut saja, misalnya, Syarwani Nunci, Adijani Al-Alabij, Umransyah Alie, Riza Rahman, Khairullah, sampai Abdul Chalik Dahlan.

Sudah berulang kali Ketua Muhammadiyah dijabat Urang Alabio. Mungkin H. Hasan Tjorong atau Gt Abdul Muis jadi pengecualian, karena beliau berdua berasal dari Banjarmasin dan Martapura. Tapi tetap saja banyak Urang Alabio-nya.

Mesjid dan Pengajian
Salah satu variable yang tak bisa dipisahkan dari Muhammadiyah di tanah Banjar adalah ‘Mesjid’ dan ‘pengajian’. Hal ini sudah menjadi ‘menu utama’ Muhammadiyah di Kalimantan Selatan. Jika anda rutin mengikuti pengajian di Mesjid-Mesjid di Kota Banjarmasin, jadwal anda pasti akan penuh; sebab setiap selesai Maghrib dan Subuh, ada saja mesjid yang mengadakan pengajian.

Salah satu ciri khas pengajian Muhammadiyah di Banjarmasin adalah tradisi ‘bertanya’ (batakun). Ini yang membedakan pengajian Muhammadiyah dengan kaum Nahdhiyyin. Setiap selepas pengajian, Ustadz tidak langsung menutup materi. Pasti ada sesi Tanya jawab yang diberikan.

Menariknya, sesi Tanya jawab ini selalu penuh dan terkadang para Ustadz tidak bisa menjawab langsung. Sebab, jama’ah banyak yang kritis. Apalagi yang menyangkut soal ibadah mahdhah, harus mempersiapkan diri dengan dalil bahkan terkadang harus dijawab dengan mengulas kaidah ushul fiqh yang jelas.

Itulah sebabnya, pembicaraan keagamaan selalu menarik. Bahkan ada Mesjid yang membatasi Ustadz hanya bicara selama 10-15 menit dalam pengajian. Sisanya, tanya jawab.

Bicara soal Mesjid Muhammadiyah, ada keunikan masing-masing. Beberapa Mesjid yang bisa disebut karena menyimpan cerita sendiri adalah Mesjid Al-Jihad di Cempaka Besar, Mesjid Ar-Rahman di Kampung Melayu, dan tentu saja Mesjid Al-Amin di Alabio.

Mesjid Ar-Rahman terkenal dengan Gusti Abdul Mu’is, salah satu pemikir terkemuka di tanah Banjar. Gusti Abdul Muis adalah mantan Ketua PW Muhammadiyah Kalsel di era 1970an hingga akhir hayat beliau. Dikenal sebagai figur intelektual, beliau sangat mumpuni di bidang keagamaan, terutama Tasawuf. Selain itu, dikenal pula sebagai tokoh Masyumi yang berkawan dekat dengan M. Natsir dan sempat menjadi anggota DPR dari tahun 1950-1960

Beliau mengembangkan kajian-kajian Tasawuf dari Mesjid Ar-Rahman di Kampung Melayu. Dari sana, muncul beberapa buku yang beliau tulis bertema Tasawuf. Tasawuf yang beliau kembangkan sangat bercorak Muhammadiyah, dengan titik tekan pada Akhlaq (hal yang akan kita temui juga pada pemikiran Buya Hamka). Beliau juga mengasuh pusat perkaderan ulama di Banjarmasin, yaitu Kulliyatul Muballighin.

Selain Ar-Rahman, salah satu Mesjid yang terkenal adalah Mesjid Al-Jihad. Kini, mesjid tersebut telah menjadi salah satu Mesjid terbesar di Kalimantan Selatan. Al-Jihad dirintis oleh tokoh Muhammadiyah Alabio yang bermukim di Banjarmasin dan tinggal di sekitaran Cempaka Besar.

Berdasarkan catatan sejarah, Mesjid ini lahir dari perjuangan Muhammadiyah untuk tumbuh. Ketika itu, di lingkungan Muhammadiyah Cempaka, tidak ada Mesjid. Ada beberapa tanah warga Tionghoa yang beragama non-Islam. Suatu saat, ada warga Tionghoa yang ingin menjual tanahnya ke warga Muhammadiyah, namun harganya cukup mahal untuk ukuran waktu itu. Jika tidak diambil, maka sudah ada pemuka agama lain yang siap membeli tanah itu dan menjadikannya gereja.

Singkat kata, berundinglah tokoh-tokoh Muhammadiyah di SD Muhammadiyah 8. Akhirnya, diputuskan untuk membentuk panitia yang harus bekerja dalam waktu singkat mengumpulkan dana untuk membeli tanah. Segala upaya dilakukan. Ada ibu-ibu warga Muhammadiyah yang menyerahkan perhiasannya. Ada pula Bapak yang bahkan sampai ingin merelakan sepedanya buat disumbangkan ke panitia, namun akhirnya dicegah karena itu adalah sepeda beliau satu-satunya dan digunakan untuk mencari nafkah.

Akhirnya, terkumpullah dana itu dan berdirilah Mesjid Al-Jihad. Mesjid tersebut kini menjadi salah satu pusat dakwah Muhammadiyah di lingkungan Banjarmasin. Selain menjadi pusat pengembangan dakwah, kawasan ini juga menjadi pusat pengembangan ekonomi dan pendidikan, yang sangat aktif amal usahanya dan dikelola secara professional.

Maka, susah jika kita memisahkan Muhammadiyah di Tanah Banjar dari mesjid dan pengajian. Inilah yang membuat Muhammadiyah hingga kini tumbuh sebagai salah satu organisasi masyarakat yang sangat produktif di Banjarmasin.

Tradisi Pengetahuan dan Ekonomi
Jika anda berjalan ke Mesjid Al-Jihad di Cempaka Besar, jangan terkejut jika di sana banyak Urang Alabio. Di sana, kebanyakan masyarakat memang berprofesi sebagai pedagang atau guru. Ini yang menjadi ciri khas Muhammadiyah di tanah Banjar: kelas menengah yang kuat secara ekonomi dan intelektual.

Harus diakui, kebanyakan Urang Alabio yang menjadi anggota Muhammadiyah adalah pedagang dan guru. Di Banjarmasin, urang Alabio banyak yang jadi jamaah Mesjid Al-Jihad, dan rata-rata punya mobilitas sosial ekonomi cukup kuat dengan berdagang. Bahkan seorang ustadz pun berdagang (Ustadz Riza Rahman). Beberapa menjadi pengusaha top di Banjarmasin. Selebihnya, menjadi guru atau dosen seperti Prof. Ahmad Khairuddin (Ketua PWM Kalsel sekarang).

Profesi berdagang, baik sekadar di pasar maupun di wilayah yang lebih luas, mempengaruhi cara berpikir Urang Alabio. Bacaan kitab tidak lagi melulu terpaku pada Tuan Guru karena pergaulan yang luas mengakibatkan bacaan bertambah. Alhasil, daya kritis meningkat. Apalagi yang berprofesi sebagai guru atau dosen, jelas akan bergumul dengan yang namanya bacaan.

Hal ini menyebabkan lahirnya semacam ‘kritisisme terhadap Tuan Guru dan tatanan Tradisi menguat. Lahirlah 'pemberontakan kultural', semisal dengan pendeklarasian Muhammadiyah. Posisi ini semakin kuat dengan masuknya beberapa ambtenaar di pemerintahan seperti Kyai Hasan Corong ke Muhammadiyah di Banjarmasin. Masyarakat semakin teredukasi dengan keberadaan Muhammadiyah.

Dalam corak berpikir semacam ini, kritisisme terhadap Tuan Guru menjadi ciri khas pemikiran keagamaan kaum Muda atas kaum Tuha. Dan penjelasan seperti ini bisa dibaca pada munculnya 'kelas menengah' Urang Alabio di Kalimantan Selatan.

Tesis Kuntowijoyo (2006) bahwa agama dipengaruhi oleh struktur ekonomi bisa kita baca kebenarannya di sini. Menurut Kuntowijoyo, Muhammadiyah bisa lahir dan besar karena adanya topangan kelas menengah yang baru lahir mengiringi proses industrialisasi awal di Indonesia.

Dengan beragam profesi, seperti Dosen, Guru, PNS, hingga Pambakal di Desa, Muhammadiyah di Kalimantan Selatan mewakili sebuah ‘golongan menengah relijius’ yang punya akar sejarah kuat di Kalimantan Selatan sejak awal abad ke-20.

Dan dengan hal ini, kemunculan Muhammadiyah di Hulu Sungai bisa terbaca dengan lebih mudah. Alabio, dengan segenap ciri khasnya, menjadi salah satu khazanah Islam di Kalimantan Selatan.

Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa kelahiran Muhammadiyah di Tanah Banjar sangat erat kaitannya dengan kemunculan kelas menengah. Mereka adalah para pedagang yang banyak mencari pengetahuan dan berinteraksi dengan lingkungan luarnya.

Dari sinilah kita akan mendapatkan penjelasan mengapa H Japeri bisa bertemu dengan H Usman Amin, mendapatkan informasi mengenai persyarikatan, bahkan menyekolahkan anak beliau di Mu’allimat Yogyakarta. Semua bisa terjadi karena Muhammadiyah lahir dan besar dari pengetahuan.

Kini, Muhammadiyah di Kalimantan Selatan telah menjelma menjadi sebuah organisasi yang cukup disegani. Dengan jaringan 13 cabang di Banjarmasin dan cabang-cabang lain di seluruh Kalimantan Selatan, lengkap dengan panti asuhan, sekolah, Rumah Sakit, Mesjid, hingga BMT, Muhammadiyah mengoperasikan aktivitas dakwahnya di masyarakat yang mayoritas Nahdhiyyin.

Muhammadiyah lahir di Alabio dengan bermula dari 'bacaan'. Dari pengetahuan, berkembang menjadi pengabdian sosial. Tantangan ke depan adalah melestarikan tradisi ini. Kini, sudah seabad usia Muhammadiyah, semoga semangat Muhammadiyah tetap tak luntur: mencerahkan bangsa, menuju masyarakat utama.

*) Versi lebih lengkap dari tulisan ini disampaikan pada Workshop Internasionalisasi Pemikiran dan Gerakan Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Surakarta, 30 Oktober-1 November 2014. Penulis berterima kasih atas komentar konstruktif dari para peserta Workshop

0 komentar: