Sabtu, 15 November 2014


Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Peneliti di ASEAN Studies Center UGM

Syahdan, Kyai Dahlan dulu pernah berpesan, "Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang. Karena itu hendaklah warga muda-mudi Muhammadiyah hendaklah terus menjalani dan menempuh pendidikan serta menuntut ilmu pengetahuan (dan teknologi) di mana dan ke mana saja. Menjadilah dokter sesudah itu kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah master, insinyur, dan (propesional) lalu kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu."

Kemarin, saya menemani Bapak ke sebuah toko buku Muhammadiyah di bilangan Kauman. Toko bukunya memang sudah sering saya datangi, tetapi kali ini ada sesuatu yang mengusik hati: soal buku-buku. Seperti biasa, ketika masuk ke toko buku, saya langsung bertemu dengan buku-buku "kemuhammadiyahan": serial idelogi-nya Haedar Nashir, sejarah cabang dan ranting, pengajian, hingga materi-materi ibadah mahdhah. Selain itu, ada banyak buku agama, baik dari penerbit yang berafilasi dengan Muhammadiyah maupun dari organisasi lain.

Mungkin karena profesi yang saya tekuni sekarang menuntut saya untuk banyak menulis dan membaca literatur, saya jadi tertarik untuk memberikan catatan soal buku-buku ini. Muhammadiyah dikenal banyak punya universitas dan sekolah. Konsekuensinya, dosen dan profesornya juga pasti banyak. Tentu saja karena jangkauan Muhammadiyah yang memang mensional dengan struktur organisasi "raksaksa", universitas itu tersebar di seluruh Indonesia. Wajar jika Muhammadiyah kemudian dikenal sebagai organisasi Islam modernis terbesar di Indonesia: jumlah universitasnya besar, mahasiswanya berdatangan dan keluar setiap tahun.

Namun, agak ironis ketika saya datang ke toko-toko buku Muhammadiyah, saya mendapati sesuatu yang kosong: ternyata tidak banyak buku-buku ilmiah yang ditulis baik oleh kader, civitas akademika di Universitas-Universitas Muhammadiyah, maupun para peneliti yang berkolaborasi/menulis tentang Muhammadiyah.

Ada dua toko buku Muhammadiyah di Kauman yang menjual buku-buku Muhammadiyah. Namun, dari dua toko buku berlantai dua tersebut, saya tidak menemukan banyak buku-buku "ilmiah" atau hasil riset. Yang saya temukan, selain buku-buku "ideologis" tersebut, justru bertolak belakang dengan semangat "Islam Berkemajuan" yang dibawa Muhammadiyah: buku "harakah", zikir, maupun polemik-polemik fiqh ibadah yang seharusnya sudah selesai melalui forum Tarjih.

Minim Produksi Pengetahuan?
Ini fenomena yang agak menyedihkan. Baru dua bulan yang lalu, di sebuah Konferensi di UIN Ciputat, saya bertemu dan berdiskusi dengan Prof. Mitsuo Nakamura, seorang Indonesianis asal Jepang yang banyak menulis tentang Muhammadiyah. Beliau memuji, sedikit banyaknya, perkembangan Muhammadiyah yang begitu pesatnya terutama di Yogyakarta (beliau menulis tentang Muhammadiyah di Kotagede). Namun, agaknya perkembangan pesat Muhammadiyah ini justru tidak dibarengi oleh pengembangan sumber daya dan basis pengetahuan yang kuat.

Hal ini bisa dilihat pada satu masalah yang sering dikeluhkan oleh warga Muhammadiyah: "hilangnya" kader dan masjid Muhammadiyah ke tangan gerakan lain yang juga berebut kader muda: PKS, contohnya.

Bagi saya, kekhawatiran dan keluhan yang berulang-ulang disampaikan di forum-forum perkaderan Muhammadiyah tersebut sebetulnya berlebihan dan, semestinya, diselesaikan dengan evaluasi dan perbaikan internal. Jujur saya akui bahwa saya adalah salah satu "warga" Muhammadiyah yang dulu sempat tertarik ke salah satu harakah. Selepas lulus kuliah dan berdinamika dengan banyak entitas, saya justru baru sadar bahwa persoalannya tidak sepenuhnya terjadi karena “kader yang lari” atau “ideologi yang keropos” (seperti sering disinggung pak Haedar), melainkan juga karena dinamika zaman yang kini semakin penuh tantangan.

Persoalan yang dihadapi oleh banyak kader muda Muhammadiyah, berkaca pada pengalaman saya, sebenarnya sederhana: tidak banyak wadah artikulasi yang diberikan oleh Muhammadiyah sehingga akhirnya kader banyak yang lari.Tidak adanya wadah artikulasi itu mungkin bukan salah kader-adernya, tetapi bisa jadi soal kegagapan lembaga menghadapi tantangan-tantangan zaman yang semakin berkembang.

Fenomena yang saya contohkan di atas sebetulnya agak menemukan kedekatan dengan fenomena yang saya contohkan di toko buku Muhammadiyah di Kauman tersebut. Saat ini, kita menghadapi pertarungan wacana yang begitu kuat, baik dalam hal media maupun produksi pengetahuan. Banyak gerakan-gerakan Islam yang merespons pertarungan wacana ini denganproduksi buku dan wadah pengkajian. Akibatnya, toko buku Muhammadiyah banyakdiserbu oleh buku-buku harakah Ikhwanul Muslimin, Salafi, dan sebagainya.

Sementara itu, apa yang disediakan oleh Muhammadiyah? Bisa jadi, sedikit bukutentang Muhammadiyah yang diproduksi melalui Suara Muhammadiyah dan itu pun dengan skala produksi dan jangkauan yang tidak luas, desain dan konten yang bisa jadi tidak begitu menarik di mata anak muda.


“Diaspora” Intelektual Muhammadiyah

Di sisi lain, saya menemui sesuatu yang "paradoks": banyak buku yang ditulis oleh intelektual dan anak-anak muda Muhammadiyah yang justru diterbitkan oleh Gramedia, PustakaPelajar, Ombak, Paramadina,  hingga di penerbit di luar negeri semacam ISEAS, Routledge, atau Palgrave (ini terjadi pada disertasi para intelektual yang hasilnya bagus), tapi justru tak mendapatkan tempat pembacaan di kalangan internal Muhammadiyah! Kajian mereka menjadi "asing" justru di Muhammadiyah sendiri.

Padahal, apa yang mereka lakukan sebetulnya justru mengikuti "wasiat" KH Ahmad Dahlan yang sayakutip di atas. Buku-buku mereka justru saya temukan di Social Agency dan Gramedia. Nama-nama mereka, mungkin semacam Zuly Qodir, Najib Burhani, Zakiyuddhin Baedhowy, atau banyak nama lainnya, lebih sering terdengar di luar Muhammadiyah, tapi jarang disebut di, misalnya, pengajian malam selasa yang notabene dikelola oleh Majelis Tabligh Muhammadiyah.

Kita pun akhirnya menemukan satu fenomena baru: ada semacam “diaspora” bagi intelektual-intelektual Muhammadiyah yang tak terwadahkan dalam Persyarikatan, baik di Komunitas maupun struktur organisasional.

Padahal hal ini penting di masa depan. Semestinya, kita bisa sama-sama lebih paham bahwa di masa yang akan datang, pergulatan pemikiran Islam ini bakal jauh lebih hebat. Intelektual-intelektual muda Muhammadiyah, baik dari kalanhgan progresif macam JIMM maupun yang lebih "Salafi" macam Majelis Pemikiran Islam mungkin perlu ruang yang mestinya hadir diMuhammadiyah. Suara Muhammadiyah harus menjadi lebih dari sekadar penerbitanmajalah ataupun "buku ideologi" dan, secara lebih ekspansif, memproduksi wacana dan pengetahuan.

Saya kira, dengan modal sumber daya yang dimiliki sekarang, toko buku Muhammadiyah harus memproduksi pengetahuan. Hasil-hasil riset yang dilakukan di Universitas Muhammadiyah mestinya diterbitkan oleh Muhammadiyah sendiri. Lebih jauh lagi, Muhammadiyah harus punya jurnal. Sehingga, "akademisi" di Muhammadiyah bukan hanya bekerja di amal usaha, tetapi juga memproduksi pengetahuan yang, meminjam istilah Profesor Kuntowijoyo, bisa mencerahkan dan membebaskan umat Islam.

Dua Agenda untuk Muktamar
Maka, ada dua hal penting yang harus menjadi bahan pikiran dan otokritik pada Muktamar Muhammadiyah yang akan digelar tahun 2015 mendatang.

Pertama, mengoptimalkan lembaga Litbang atau Pengembangan Pemiikiran Islam di PP Muhammadiyah tidak hanya pada fungsi internal, tetapi juga pengembangan pengetahuan. Muhammadiyah mesti "mewadahkan" para peneliti dan pemikir di dalamnya agar bisa produktif menghasilkan pengetahuan. Hal ini tidak hanya di wilayah pengkajian Islam, tetapi juga secara interdisipliner dan melibatkan ilmu-ilmu yang lebih luas. Tak ada yang meragukan bahwa Muhammadiyah tentu tidak kekurangan akademisi dan peneliti. Muhammadiyah hanya perlu wadah bagi mereka untuk mengartikulasikan inisiatif akademik-intelektualnya, dan secara kelembagaan ini perlu dikembangkan di struktur Muhammadiyah.

Kedua, Muhammadiyah juga perlu punya penerbitan, baik penerbitan ilmiah ataupun Komunitas. Mungkin, Muhammadiyah perlu belajar dari "tetangga sebelah", NU, yang punya LKiS walau juga tidak begitu kental afiliasinya dengan NU. Muhammadiyah perlu memikirkan untuk, misalnya, punya Muhammadiyah University Press yang profesional dan akademik untuk menerbitkan hasil-hasil penelitian para akademisi di dalamnya. Atau, misalnya, Suara Muhammadiyah bisa lebih difokuskan untuk menjadi penerbitan Komunitas.

Dengan demikian, produksi pengetahuan menjadi terlembaga dan punya output yangj elas. Hal ini akan mendorong kader-kader muda Muhammadiyah untuk giat menulis dan berpikir.

Selama ini, kita mungkin punya beberapa penerbitan semacam UMM Press yang dikelola oleh Universitas Muhammadiyah Malang, Al-Wasath yang dikelola aktivis Muhammadiyah di Jakarta, atau mungkin beberapa jurnal macam Tsaqafa (milik LSBO PP Muhammadiyah) dan jurnal pribadi semacamm Muhammadiyah Studies yang dikelola mas Najib Burhani.

Hal semacam ini sebetulnya positif. Namun, satu hal juga perlu dicatat: model penerbitan ini terkesan "avonturir", tercecer, mengandalkan inisiatif personal, dan lepas dari Muhammadiyah secara struktural. Kita perlu wadah penerbitan yang profesional dan bisa mengakomodasi tantangan intelektual ke depan.

'Ala Kulli Hal, saya berharap Muktamar Muhammadiyah ke depan tidak hanya menjadi wadah perebutan kepentingan politik, tetapi juga bisa menjadi semacam wadah pertemuan untuk mengembalikan ruh Muhammadiyah sebagai organisasi pergerakan 'moderen' Islam terbesar diIndonesia. Alangkah sayangnya jika Muhammadiyah punya nama yang besar, tapi potensinya tidak dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh.

Nashrun Minallah wa Fathun Qariib.


0 komentar: