Jumat, 21 November 2014


Oleh: Zaki Arrobi
Pegiat di Komunitas Muhammadiyah Muda Bulaksumur

Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara
Awal masuknya Islam ke Indonesia hingga kini masih menjadi salah satu polemik intelektual terbesar di kalangan sejarawan muslim. Namun secara sederhana pandangan khalayak umum dapatlah dipetakan masih bertumpu pada teori Gujarat, teori ini menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang pedagang yang berasal dari sebuah daerah di India bernama Gujarat pada awal abad 13, teori inilah yang hingga kini masih menjadi alam pikiran manusia muslim Indonesia, hal ini akibat berjalannya ‘koloni’ sistem pengetahuan kita yang dijalankan oleh aparatus aparatus pendidikan kita. Teori ini sesungguhnya sangat bias kolonial, promotor terbesar teori ini adalah Dr.Snouck Hurgonje, orientalis-Islamolog terbesar di Hindia Belanda, Hurgounje berkepentingan memainkan politik ‘devide et impera’ dan ‘peluruhan sejarah’ Islam di nusantara demi kepentingan kolonialisme Belanda . Teori ini berhasil dipatahkan dengan teori Makkahnya Hamka, Hamka menyatakan Islam masuk ke Indonesia bukan pada abad 13, melainkan sejak abad 7, dan dibawa langsung dari Makkah sebagai sentrum kaum muslimin sedunia, bukan Gujarat. Argumentasi Hamka salah satunya didasarkan pada penemuan nisan seorang ulama bernama Syaikh Mukaiddin di Baros, Tapanuli, Sumatera Utara, dimana tertulis tahun 48 Hijriah yakni 670 Masehi. Selain itu menurut Hamka, Gujarat pada abad ke 13 menganut mazhab Maliki, sedangkan Islam di Nusantara sejak dahulu mayoritas bermazhab Syafii, bagaimana ini bisa dijelaskan..?

Dengan menggunakan pendapat Hamka, Islam di Nusantara berkembang perlahan lahan sejak awal abad ke 7, tepatnya pada zaman kekhalifahan Ali RA. Bahkan cendekiawan muslim Malasyia, Naquib Al Attas menyatakan bahwa kedatangan Islam di nusantara dibawa langsung oleh utusan gubernur Syarif (Makkah) yakni seorang ulama yang bernama Syaikh Ismail, yang kemudian mengajak pemuda bernama Muhammad mendirikan kesultanan Islam pertama di nusantara, kerajaan Pasai . Perlu diketahui juga bahwa para penyebar Islam yang mula mula di bumi nusantara bukanlah pedagang yang hanya bermotif ekonomi saja, melainkan diantaranya terdapat para alim ulama, syaikh, dan kaum sufi pengikut tareqat. Para pedagang, ulama dan pengikut tarekat yang masuk ke nusantara sejak abad ke 7 kemudian mulai mengembangkan jaringan dakwahnya, dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi dari mayoritas pribumi para saudagar ini mendapat tempat yang istimewa dikalangan pribumi. Dakwah yang mereka tebar juga berwajah ramah cermin karakter Islam yang rahmatan lil alamin, pendekatan kebudayaan yang dilakukan dipermudah dengan kuatnya basis sosial ekonomi para saudagar ini. Secara sederhana, kita dapat memetakan strategi pembasisan kekuatan Islam di Nusantara. Strategi dakwah ini dapat dipetakan dengan tiga komponen utama, pertama pasar sebagai basis ekonomi, pesantren sebagai basis kebudayaan dan perkaderan, dan masjid sebagai sentrum dan ruang publik komunitas muslim.

Formula Keberhasilan Dakwah Islam di Nusantara
Pasar, Pesantren dan Masjid adalah tiga komponen utama kesuksesan strategi dakwah kaum Muslimin di Nusantara. Pasar seperti diketahui pada abad abad itu adalah pusat ekonomi rakyat, semua elemen masyarakat mengadu hidupnya melalui insitusi bernama pasar, dan komoditas utama nya adalah rempah rempah. Dalam hal ini, para juru dakwah Islam memiliki bargaining position yang kuat, saudagar-saudagar muslim yang berasal dari Arab terkenal pandai berniaga dan tergolong kaya. Hal ini tentu berhasil merebut hati dan simpati pribumi. Lambat laun pasar menjadi basis penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara itu lembaga pesantren juga tak kalah kontribusinya bagi pesatnya penyabaran Islam. Aktivitas aktivitas perkaderan ulama, keilmuan dan kebudayaan terjadi di lingkungan pesantren, kiai dan santri perlahan menumbuhkan kebudayaan Islam Nusantara melalui serangkaian aktivitasnya, selain itu dari sinilah benih benih rasa kebangsaan diam diam disemai dan dialiri semangat transedental ilahiyah. Terakhir, Masjid memiliki peran yang sangat sentral sebagai ruang sosial tempat bertemunya kaum muslimin dari berbagai strata sosial, Masjid juga menjadi semacam “corong” bagi para ulama untuk menyampaikan pandangan dan seruannya seruannya kepada khalayak kaum muslimin.

Kolaborasi tiga elemen vital ini berhasil mencapai kegemilangan dakwah Islamiyah yang luar biasa kuatnya, dengan waktu yang relatif singkat Islam telah menggeser Hindhu Budha sebagai agama mayoritas di nusantara, dan jauh lebih penting kesuksesan misionaris Islam ini dilakukan tanpa pedang dan darah, sebagaimana banyak dituduhkan oleh para orientalis, melainkan dengan wajah yang ramah dan lembut. Strategi mendahulukan pendekatan kebudayaan, penguatan basis ekonomi dan penciptaan ruang ruang sosial terlebih dahulu terbukti jitu diterapkan pada masyarakat pribumi nusantara. Setelah basis kebudayaan, ekonomi dan sosial telah kokoh, komunitas muslim barulah berpikir tentang imajinasi kesatuan politik ummat Islam. Eksperimentasi politik (ijtihadi) ummat Islam kala itu adalah membentuk Kesultanan, sebagai langgam kesatuan politik komunitas muslim menggantikan sistem kerajaan yang berwatak Hindu Budha. Kepemimpinan dijalankan oleh seorang Sultan yang bergelar Khalifatullah Panatagama, para Sultan muslim ini di sokong lingkaran ulama sebagai penasihat kesultanan. Kolaborasi Ulama dan Umaro inilah yang merumuskan kebijakan kebijakan Kasultanan Islam, termasuk kebijakan antikolonialis berupa perlawanan-perlawanan rakyat.Tercatat hingga awal abad 20 an di berbagai daerah nusantara ada sekitar 40an kasultanan Islam yang pernah berdiri sebelum ditaklukkan oleh kolonialisme Belanda . Dengan ‘membaca’ fenomena sosio-historis ini, kita dapat berkonklusi bahwa perjuangan mewujudkan kesatuan politik betapapun urgennya diletakkan paling akhir dari desain besar perjuangan ummat Islam, bukan sebaliknya.

Pada masa masa revolusi kemerdekaan, tiga elemen vital di atas memainkan peranan yang sangat signifikan dalam perjuangan membela republik, terutama sekali insitusi pesantren. Setelah kasultanan Aceh ditaklukkan tentara kolonial pada akhir tahun 1900an, praktis kekuasaan politik ummat Islam di Nusantara telah berakhir. Namun meskipun kekuasaan politik berakhir, namun kekuatan ummat Islam tidaklah ikut sirna pula, sebab basis kebudayaan masyarakat masih dipegang oleh para ulama. Pesantren pesantren yang terus tumbuh di awal abad 19 berkat politik etis menjadi semakin independen dan bahkan mengembangkan suatu jenis semangat radikalisme baru, sutau semangat yang disebut oleh Mitsuo Nakamura sebagai tradisionalisme radikal . Akibat semakin dipinggirkan dalam sistem pendidikan kolonial, pesantren justru berhasil mengambil peran oposan terbesar kolonial kala itu, pesantren menjadi basis penyemaian semangat kebangsaan kaum muda dan pusat perlawanan paling radikal di nusantara, kiai memainkan peranan yang begitu besar dalam membakar semangat juang kaum santri dan mengobarkan panggilan jihad fii sabilillah membela republik. Kisah paling heroik adalah ketika Hadratusy Syaikh Hasyim Asyari, mengeluarkan fatwa kewajiban jihad fii sabillillah dalam peperangan 10 november di Suarabaya, fatwa ini berhasil memobilisasi dukungan ratusan ribu santri di seantero Jawa Timur. Ada begitu banyak kisah kisah yang menunjukan bahwa di awal abad 20, pesantren menjadi basis perlawanan kaum santri terhadap kolonialisme belanda. Saat itu Islam dijadikan api perjuangan melawan jahatnya kolonialisme Belanda. Dalam konteks yang lebih luas, Islam di Nusantara sesungguhnya juga telah berhasil melakukan “purifikasi” terhadap konsep nasionalisme, nasionalisme di barat yang sejatinya berwatak sekularistik, di Indonesia ditransformasikan menjadi rasa kebangsaan yang dijiwai semangat transedental teramat tinggi, para ulama ketika itu menggunakan mutiara hikmah “Hubbul Wathan Minal Iman” sebagai landasan teologis bahwa Islam dan Nasionalisme tidaklah bertentangan, bahkan nasionalisme sangat dianjurkan oleh Islam dan sebagian dari kepercayaan seorang muslim (iman), inilah saat saat dimana keislaman dan keindonesiaan bergandeng tangan dengan penuh kemesraan.

Meretas Islam Nusantara 
Dari uraian di atas sesungguhnya terbukti sudah bahwa Islam sebagai sebuah kekuatan yang dinamis, mampu selalu hadir untuk menjawab tantangan zaman melalui pergerakan historis yang digerakkan oleh umatnya. Dalam hal ini penting dikemukakan pandangan begawan ilmu sosial profetik, Kuntowijoyo, dia menyebutkan karakteristik kebudayaan Islam ada dua, pertama universal dan yang kedua kosmopolit . Universal berarti nilai nilai prinsipil dalam Islam selalu relevan dengan segala tempat dan zaman, melintasi batas batas ruang dan waktu. Sedangkan kosmopolit berarti Islam selalu mampu hadir dalam berbagai ragam dan mampu menyerap bentuk bentuk kebudayaan yang lain tanpa kehilangan identitasnya. Universalisme dan Kosmpolitanisme Islam terlihat dalam corak perkembangan Islam di Nusantara. Islam Nusantara sebagaimana dijelaskan di atas, mampu hadir beriringan dengan kebudayaan lokal pada saat yang bersamaan, Islam melintas batas geografi dengan mampu hadir dan eksis di bumi nusantara, hal ini menunjukan Islam bukanlah agama hanya untuk suku Quraisy atau bangsa Arab saja, melainkan agama untuk semua bangsa bangsa di dunia, universalisme menemukan bentuknya. Sedangkan kosmopolitanisme mewujud dengan akulturasi kebudayaan Jawa dan kebudayaan Islam yang membentuk kebudayaan Islam Nusantara, tradisi pesantren sebagai basis perkaderan ulama adalah salah satu buktinya, pesantren adalah lembaga pendidikan yang inovatif karena mampu menggabungkan unsur lokalitas dan universalitas Islam, pesantren juga menjadi basis tumbuhnya kebudayaan santri yang telah mencerap nilai nilai Islam.

Kini Islam Nusantaratelah menjadi suatu alternasi cara keberagamaan masyarakat Indonesia. Islam nusantara tidak berarti me-nativekan Islam, atau melokalisasi ajaran Islam, Islam sebagai sistem nilai (value system) tetaplah bersifat universal, namun dalam praktik praktik sosial kemasyarakatannya boleh jadi bersifat sangat partikular, bergantung pada konteks budaya masyarakat setempat. Dalam hal ini, Islam Nusantara telah melewati ‘ujian’ yang serius dalam beberapa periode zaman, dari zaman hindu budha, kolonialisme hingga sekarang ketika gelombang demokratisasi menerpa Islam nusantara ditantang kembali relevansinya oleh zaman. Tantangan zaman ke depan memerlukan formulasi cara keberagamaan yang tepat. Globalisasi cenderung membawa kepada kehidupan yang serba materialistik-sekular, nilai dan moralitas baik yang bersumber dari agama maupun masyarakat lokal dianggap tidak relevan lagi bagi arus modernisasi, institusi-institusi moral seperti keluarga dan lembaga keagamaan kian kehilangan signifikansi dalam masyarakat. Individu-individudalam masyarakat merasa berhak menentukan sikap dan perbuatannya atas rasionya masing masing, dan mengabaikan tuntunan moralitas yang ada, atomisasi sebagaimana dijelaskan Emile Durkheim kini benar benar terjadi, khususnya di masyarakat perkotaan. Belum lagi terjangan paham neoliberalisme dalam segala bentuk, neoliberalisme dalam bidang ekonomi menyebabkan liberalisasi perdagangan, privatisasi BUMN, ketergantungan import dan dihapuskannya subsidi untuk rakyat. Liberalisasi politik menyebabkan politik biaya tinggi (high cost politic) dan perselingkuhan penguasa penguasaha kian marak terjadi.

Di tengah kondisi yang serba limbung di atas, Islam Nusantara dengan segala khazanah kebudayaan, tradisi, warisan intelektual, basis ekonomi dan kekuatan politk etik nya mampu menjadi salah satu alternasi jalan untuk keluar dari jeratan masalah. Konkretnya, lembaga pesantren misalnya sesungguhnya memiliki potensi pemberdayaan ummat yang sangat besar, dengan jumlah ribuan santri dan luasnya jaringan yang dibangun pesantren sesungguhnya mampu melakukan fungsi pemberdayaan (empowering) masyarakat, memberdayakan masyarakat secara ekonomi, sosial, budaya dan politik. Konsep pemberdayaan berbasis pesantren ini telah terbukti di Pesantren Maslakhul Huda di Pati, yang diasuh oleh KH Sahal Mahfudz. Pesantren ini mampu merintis program program pemberdayaan masyarakat yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat . Kemudian juga pesantren terbukti telah mencetak wirausahawan wirausahawan yang ulet, pekerja keras, dan sukses, konsep ini telah mendahului maraknya kampanye pentingnya menumbuhkan semangat entrepreunership yang ada baru baru ini saja.

Islam nusantara juga sesungguhnya mampu menjadi katalisator dari dua kutub ekstremisme dalam keberagamaan, mampu mendayung di antara gelombang radikalisasi dan liberalisasi Islam. Tidak dapat dipungkiri ummat Islam kini sedang terbelah menjadi dua arus besar, didikotomikan menjadi kubu ‘revivalis’ dan ‘liberalis’, dua duanya selalu ‘bertempur’ secara pemikiran yang jika tidak dikelola dengan baik akanmenguras habis energi ummat Islam di Indonesia. Islam Nusantara telah menawarkan jalan moderasi di antara keduanya, meretas Mazhab Ketiga (The Third Way) yang mendayung diantara dua karang. Islam Nusantara mampu mensitesakan nilai nilai kosmopolitanisme dan universalisme Islam pada saat yang bersamaan, menghargai kebudayan lokal sekaligus tetap setia kepada ajaran universal Islam, mengisi konsep nasionalisme, demokrasi, negara-bangsa, dan Pancasila dengan ruh transedental yang Maha Tinggi, ruh Api Islam.


DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syamsuddin, 2000, Islam Nusantara : Historiografi dan Metodologi, Jakarta
Al Attas, Naquib, 1990, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Kuala Lumpur,Penerbit Universiti Kebangsaan Malasyia
Aziz,  Ali, 2005, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat : Paradigma Aksi Metodologi, Yogyakarta, Pustaka Pesantren LkiS
Kuntowijoyo,2008, Paradigma Islam : Interpretasi Untuk Aksi, Bandung, Penerbit Mizan Pustaka
Madjid, Nurcholish, 2009, Islam, Keindonesiaan dan Modernisasi, Jakarta, Penerbit Mizan Pustaka
Nakamura, Mitsuo, Ed, 1997. Tradisionalisme Radikal : Persinggungan NU-Negara, Yogyakarta, LkiS.
Suminto, Aqib, 1984, Politik Islam dalam Hindia Belanda, Jakarta, Lembaga Pendidikan Pelatihan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES
Suryanegara, Mansur, 2010, Api Sejarah : Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bandung, Penerbit Salamadani Pustaka Semesta

0 komentar: