Senin, 10 November 2014


Oleh: Fadel Basrianto
Mahasiswa FISIPOL UGM dan Bergiat di Komunitas Muda Muhammadiyah Bulaksumur

Kenyataan bahwa banyaknya diskusi dan seminar mengenai intoleransi diselenggarakan diberbagai tempat seperti di hotel berbintang lima, kampus-kampus, sekolah-sekolah sampai dijoglo-joglo desa tidak secara kebetulan menunjukkan bahwa upaya penyelesaian masalah intoleransi sebegitu kompleksnya dalam masyarakat kita.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia diguncang oleh aksi intoleransi yang kian lama jika terus-menerus dibiarkan semakin menambah keprihatinan. Penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah, pembakaran pemukiman warga Syiah di Madura, dan masih adanya penyerangan rumah ibadah disana-sini menunjukkan masalah intoleransi telah merusak kohesi sosial yang sudah terajut lembut didalam masyarakat kita.
Seperti yang dilaporan oleh Wahid Institute bahwa aksi intoleransi dalam kurun waktu tahun 2009-2012 trend nya selalu meningkat. Yakni pada tahun 2009 terdapat 121 kasus, 2010 terdapat 184 kasus, 2011 ada 267 kasus, dan 2012 meingkat menjadi 278 kasus (Wahid Institute, 2012).

Tidak berhenti pada laporan itu, diakhir bulan Mei kemarin, hanya dalam kurun waktu empat hari, Yogyakarta diguncang oleh dua peristiwa yang seakan-akan langsung meruntuhkan julukannya sebagai the city of tolerance. Kasus pertama terjadi pada kamis, 29 Mei lalu. Umat Katolik yang baru selesai berdoa bersama dan latihan panduan suara di Ngaglik, Sleman diserang oleh sekelompok orang tak dikenal yang memakai sorban. Lalu tiga hari setelahnya, tepat pada peringatan hari kelahiran Pancasila, juga lagi-lagi terjadi penyerangan terhadap umat Kristen yang sedang menggelar kebaktian di Desa Tridadi, Sleman. Hal ini sungguh ironi ditengah peringatan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila yang mensyaratkan toleransi terhadap perbedaan malah terjadi pengingkaran terhadap keberagaman itu sendiri (Basrianto, 2014).

Dengan realita kebangsan kita yang tergambar seperti itu, timbul pertanyaan besar. Sebenarnya apa yang membuat masyarakat bertingkah intoleran terhadap sesama bangsanya sendiri? Apakah konstitusi kita tidak menjamin adanya kebebasan beragama? Atau ada faktor lain yang membuat masyarakat berbuat banal seperti itu? Untuk itu tulisan ini lahir sebagai respon kegelisahan masih maraknya aksi-aksi intoleransi yang menjadi riak-riak kehidupan berbangsa kita. Terutama aksi kekerasan yang bermotif agama. Seperti yang dikatakan oleh Romo Magnis bahwa kekerasan bermotif agama adalah kekerasan yang paling mengkhawatirkan dan juga mengerikan (Suseno, 2010)

Oleh sebab itu, untuk menguraikan penyebab-penyebab mengapa masyarakat bertindak kekerasan bermotif agama tersebut akan disampaikan dalam beberapa bagian. Bagian pertama akan memaparkan landasan hukum jaminan kebebasan beragama di Indonesia. Untuk mengetahui permasalah lebih dalam, bagian kedua akan menjabarkan faktor-faktor yang membuat masyarakat bertindak intoleran. Bagian ketiga akan disampaikan rekomendasi strategis kepada pemerintah dan diakhiri dengan penutup.

Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia
Mengenai kebebasan beragama secara umum di Indonesia dijamin oleh konstitusi dan beragam peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam Pasal 28 E UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” (ayat 1) dan bahwa “ Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya” (ayat 2). Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 memperkuat kembali bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Selain itu kebebasan beragama di Indonesia juga ditopang oleh berbagai konvensi internasional yang dewasa ini semakin mengarah pada pembelaan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan yang merupakan bagian dari HAM. Fauzi dan Mujani (Ed) dalam laporannya Gerakan Kebebasan Sipil (2009) yang akan banyak saya ambil data-datanya dalam bagian ini, mengatakan bahwa Jaminan kebebasan beragama di Indonesia juga ditopang oleh posisi Indonesia ditengah dunia yang makin gencar membela dan mempertahankan kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai bagian dari anggota PBB. Indonesia telah merativikasi berbagai konvensi-konvensi, baik tingkat regional maupun internasional.

Salah satu dokumen internasional yang tegas membela kebebasan beragama dan berkeyakinan yang telah dirativikasi dan dikampanyekan oleh pemerintah Indonesia adalah Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (Resolusi Majelis Umum PBB 217 [III], 10 Desember 1948). Pasal 18 deklarasi itu menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik ditempat umum maupun ditempat sendiri”.

Dokumen PBB yang lain terkait kebebasan beragama dan berkeyakninan adalah Deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk Ketidakrukunan dan Diskriminasi berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Resolusi Majelis Umum PBB 36.55, 25 November 1981), yang antara lain menyatakan “Tidak seorang pun boleh dijadikan sasaran diskriminasi oleh negara, lembaga, kelompok, orang-orang, atau orang mana pun atas alasan-alasan agama atau kepercayaan.”

Dan yang tak kalah penting, sebagai negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia tentunya juga harus menghormati Memorandum Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1978 yang salah satu butir memorandumnya menyebutkan bahwa “Setiap manusia berhak berfikir bebas, mendengar, melihat, dan mengeluarkan pendapat, mengungkapkan (ide) dan beragama”.

Meskipun kebebasan beragama dijamin penuh oleh konstitusi maupun konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi dan disahkan pemerintah Indonesia, namun keduanya juga memberikan titik tekan penting mengenai pembatasan kebebesan beragama. Pembatasan itu adalah terhadap tindakan sebagai pelaksanaan beragama, bukan keyakinan beragama. Karena kebebesan atas keyakinan agama tidak dapat dibatasi oleh siapa pun.

Seperti UUD 1945 Pasal 28J menyebutkan “Dalam menjalankan hak dan kebebasanannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebsan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Secara landasan hukum dan etika yang berkembang dalam pergaulan internasional sudah tidak dapat disangkal lagi bahwa jaminan kebebasan beragama di Indonesia itu benar-benar nyata tertuang dalam peraturan perundang-undangan kita. Jika demikian, muncul pertanyaan selanjutnya. Kalau konstitusi kita sudah jelas menjamin kebebasan beragama bagi seluruh warga negara, mengapa mereka tetap melanggar konstitusi tersebut? Faktor apa yang membuat mereka berani mengabaikan konstitusi tersebut demi melampiaskan hasrat fundamentalis sesatnya itu?

Faktor-faktor Aksi Intoleransi
Ada banyak faktor yang dapat dijelaskan mengapa mereka bertindak intoleran. Dalam tulisan ini paling tidak akan disebutkan tiga faktor utama yang membuat mereka berbuat demikian. Pertama, karena rendahnya kesadaran berbangsa dan bertanah air dikalangan mereka. Aksi-aksi intoleransi atas nama agama tidak bukan karena gagalnya negara dalam menyempurnakan imaji kebangsaan seseorang atau sekelompok masyarakat sebagai seorang citizen yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama tak terkecuali menjalankan hak beribadah dan sama-sama berkewajiban menjaga perdamaian. Yang kesemuanya itu sudah dijamin penuh dalam konstitusi UUD 1945. Alhasil kekosongan imajinasi tersebut diisi oleh faham-faham fundamentalis yang cenderung destruktif terhadap rajutan kedamaian sosial masyarakat yang sudah mapan dalam masyarakat kita (Basrianto, 2014).

Kedua, karena mereka merasa menjadi korbal atas ketidakadilan ekonomi. Sekalipun menjadi bagian dari G-8, rasio gini Indonesia masih pada angka 0,41 persen (Kompas.com, 2014). Artinya semakin mendekati angka 1, ketimpangan semakin sempurna. Hanya sedikit orang saja yang benar-benar menikmati kue pembangunan selama ini. Di Indonesia sekarang, tidak kurang dari 400 alumni Afganistan ini yang sudah kembali. Mereka ini semua perlu disantuni secara ekonomi, sebab hanyalah sebagian (kecil) yang terlibat dalam perbuatan teror. Pendekatan kekerasan untuk mengatasi terorisme selama ini terbukti tidak mempan. Faktor kesenjangan sosial ekonomi yang tajam di Indonesia saat ini dapat dijadikan jerami kering bagi berlanjutnya kegiatan teror yang sangat menyakitkan kita semua (Maarif, 2013).

Ketiga, karena minimnya role model yang dapat dijadikan sebagai teladan. Kasus korupsi, skalndal seks, ketidak profesionalitasan tengah melanda elit-elit dinegeri ini. Hal inilah yang semakin membuat mereka tidak percaya kepada pemerintah dan memilih tindakan teror dan main hakim sendiri untuk menyikapi perbedaan diantara mereka. Dampak minimnya tauladan kepemimpinan di Indonesia sekarang ini sangat dirasakan oleh generasi muda. LaKip (Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian) pernah melakukan survei bahwa hanya sebanyak 59,8 persen siswa merasa bahwa sistem demokrasi saat ini adalah yang paling tepat, tetapi dengan catatan ada sebanyak 25,8 persen siswa kita yang menganggap Pancasila tidak lagi relevan sebagai ideologi negara. Kekurangpuasan siswa tentang sistem demokrasi Indonesia di atas salah satunya diakibatkan oleh anggota DPR/DPRD cenderung mementingkan kepentingan pribadi dibanding kepentingan rakyat pada umumnya (80,7 persen) (Baedowi, 2013).

Kembali Pada Pancasila dan UUD 1945
Sudah bukan saatnya kita hanya berpangku tangan dan meratapi keadaan yang menggelisahkan ini. Selain bertindak sebagai warga negara yang bijak dan sadar tentang kesejarahan bangsanya sendiri, kita dapat memberikan rekomendasi strategis kepada presiden baru kita sebagai pemegang otoritas tertinggi di republik ini. Tidak lain dan tidak bukan adalah kembali memegang teguh Pancasila dan UUD 1945.

Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila hendaknya diamalkan secara khidmat dan amanat konstitusi benar-benar dilaksakan oleh negara yang notabene sebagai pemegang otoritas tertinggi didalam sistem ketata-negaraan kita. Seperti amanat konstitusi bahwa negara menjamin setiap warganya dalam berkeyakinan dan menjalankan aktivitas kepercayaannya itu. Ketika ada sekelompok masyarakat yang tergolong minoritas sekalipun diserang oleh kelompok lain, negara adalah aktor yang paling pertama hadir bertanggung jawab dalam menyelesaikan persoalan tersebut.

Negara juga wajib melakukan pemerataan ekonomi seperti bunyi Pancasila sila ke-5 bahwa “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan adanya rasa keadilan yang dapat diterima oleh semua golongan, diharapkan tidak akan timbul frustasi sosial yang berujung pada kekerasan bertopeng keagamaan. Jika tugas-tugas negara sudah dilaksanakan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, maka secara otomatis penyelenggara negara sudah menjadi role model yang baik bagi rakyatnya.

Penutup
Singkat kata bahwa sumber permasalahan intoleransi berwajah agama yang menjadi ancama kebangsaan kita wujudnya sangat kompleks. Permasalahan ini tidak dapat diselesaikan melalui satu sisi dan mengabaikan sisi yang lain. Lagi-lagi negara menjadi aktor utama yang diharapkan untuk menyelesaikan masalah ini. Bukan hanya fokus pada perlindungan terhadap golongan-golongan minoritas, tetapi juga memikirkan mereka yang istilahnya Buya Syafii “merasa benar dijalan yang sesat”. Keadilan dalam menegakkan konstitusi dan Pancasila merupakan kunci masuk utama dalam menyelesaikan masalah ini.  Dengan berlaku adil, negara telah memainkan role model yang baik, mencegah ketimpangan ekonomi, yang berujung pada pengisian kekosongan imajinasi masyarakat karena mereka telah merasakan kehadiran negara. Sehingga faham-faham fundamentalis tidak mendapatkan ruang karena perasaan mereka telah dipenuhi oleh rasa keadilan dan kesejahteraan.          

Daftar Pustaka
Baedowi. Ahmad, 2013, Paradoks Kebangsaan Siswa Kita, MAARIF Vol. 8. No. 1- Juli 2013
Basrianto. Fadel, 2014, Isu Intoleransi di Tengah Hiruk-pikuk Pencapresan, Balkon Edisi 145, Juni 2014
Diah. Sakina R, 2014, Ketimpangan Ekonomi di Indonesia Makin Menganga, Kompas.com, diakses pada tanggal 30 Juli 2014 melalui: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/02/18/1929283/Ketimpangan.Ekonomi.di.Indonesia.Makin.Menganga
Fauzi. Ihsan Ali, Mujani. Syaiful (ed), 2009, Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis atas Perda Syariah, Jakarta: Nalar.
Maarif. Ahmad Syafii, 2013, Agama, Terorisme, dan Peran Negara, MAARIF Vol. 8. No. 1- Juli 2013
Magnis. Frans Suseno, 2010, Kekerasan Atas Nama Agama, MAARIF Vol. 5, No. 2-Desember 2010
Wahid Institute, 2012, Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012, Jakarta: Wahid Institte dan Yayasan Tifa

Tulisan ini juga dipublikasikan di Jurnal Indonesia No.5/Tahun V/Agustus 2014
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

0 komentar: