Jumat, 29 Januari 2016


Oleh: Ahmad Syafi’i Ma’arif 

Jika kita membaca Anggaran Dasar (AD) I Muhammadiyah tahun 1912, khususnya artikel 2a, seakan-akan yang menjadi ranah dakwahnya hanyalah sebatas “residensi Jogjakarta”. Bukan wilayah Hindia Belanda, yang kemudian menjadi Indonesia. Puluhan tahun saya sendiri berpegang kepada bunyi AD itu. Mungkin yang lain juga tidak berbeda, karena itulah fakta tertulis autentik yang jadi pegangan. Tetapi pendapat ini menjadi buyar sama sekali setelah saya membaca Khutbah Iftitah Kiai H. Ibrahim, seminggu sepeninggal KH. Ahmad Dahlan yang wafat pada 23/24 Februari 1923.

Inilah kutipan terjemahan Khutbah Iftitah Kiai Ibrahim itu yang disampaikan dalam bahasa Jawa: “Sesungguhnya tujuan Muhammadiyah itu akan mengajak setanah Hindia…, tetapi pada saat itu pemerintah tidak mengizinkan, yang diizinkan hanya Ngayogyakarta. Jadi sampai tahun 1919 Muhammadiyah dapat dikatakan hanya menjalankan kewajiban (dakwah) di daerah Ngayogyakarta saja. “ (Lih. Imron Nasri dan Faozan Amar (penyunting), Kata yang mencerahkan. Jakarta: Al-Wasat, 2010, halaman 7). Keterangan Kiai Ibrahim yang juga adik ipar Kiai Dahlan ini sudah dengan sendirinya menyatakan bahwa Muhammadiyah sejak awal sudah membidik wilayah Nusantara sebagai sasaran dakwahnya yang pada waktu itu berada di bawah penjajahan Belanda. Dalam ungkapan lain, gerakan Islam ini sudah memiliki embrio wawasan kebangsaan sejak masa dini. Tentu pada masa itu istilah nasionalisme belum muncul ke permukaan.

Ungkapan Kiai Ibrahim “akan mengajak se tanah Hindia” adalah bukti bahwa teropong Muhammadiyah jauh melampaui wawasan BU (Budi Utomo) yang semula hanya untuk priyayi Jawa dan kemudian Madura. Sekiranya pemerintah kolonial memberi izin, maka dalam AD 1912 itu yang akan muncul adalah perkataan Hindia Belanda, bukan “residensi Jogjakarta.” Saya tidak tahu mengapa pada awal dasa warsa kedua abad ke-20 para kiai pendiri Muhammadiyah itu telah punya jangkauan wawasan yang jauh ke depan. Ini penting untuk diingat karena pada 1912 itu perang Aceh yang telah menguras energi kolonial baru saja usai, berkat terutama lantaran jasa Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam Belanda. Boleh jadi wawasan luas para kiai ini juga disebabkan oleh pergaulannya dengan tokoh-tokoh BU, sekalipun golongan yang terakhir ini tidak menyebut Hindia Belanda sebagai sasaran gerakan pencerahan kulturalnya.

Sasaran dakwah Muhammadiyah yang semula dibatasi pada radius “residensi Jogjakarta” hanya bertahan dua tahun. Dalam AD 1914 telah berubah menjadi “Hindia Nederland” sebagaimana yang tertulis pada artikel 2a. Tentunya sudah mendapat izin dari pemerintah kolonial. Dengan AD 1914 ini Muhammadiyah telah punya dasar konstitusional melebarkan sayap dakwahnya ke seluruh Nusantara. Memang Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang taat hukum, sekalipun itu hukum kolonial. Adapun secara diam-diam melawan, itu adalah bagian dari siasat perjuangan di bawah sistem penjajahan, sebagaimana diakui oleh orientalis Perancis D.H. Bouquet di era 1930-an.

Sekarang kita berada pada awal dasa warsa kedua abad ke-21. Penduduk Indonesia kini telah melonjak menjadi 237 juta. Seiring dengan bergulirnya zaman secara dinamis, Muhammadiyah terus saja berkspansi tanpa perasaan lelah. Hindia Nederland secara kultural telah berubah menjadi Indonesia sejak tahun 1920-an dan secara politik telah tampil sebagai negara merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945. Banyak sudah kemajuan yang diraih, di samping yang kedodoran juga tidak kurang. Dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno berkata: “… di dalam Indonesia merdeka tak kan ada lagi kemiskinan.” Sudah hampir 66 tahun merdeka, kemiskinan masih menghimpit sebagian besar rakyat kita. Untuk melawan kemiskinan ini Muhammadiyah belum banyak bisa berbuat. Jangankan Muhammadiyah, negara pun setengah gagal melakukannya. Tidak saja kita bergumul dengan kemiskinan, wabah korupsi pun seperti tidak mampu dibendung.

Muhammadiyah relatif berhasil mengisi dan mencerahkan hati dan otak rakyat Indonesia, tetapi belum banyak berbuat untuk mengisi perut manusia. Memang dalam AD fokus kiprah Muhammadiyah lebih tertuju kepada proses pecerahan dan pencerdasan. Dengan bekal dua nilai ini diharapkan kemiskinan bangsa ini akan jauh berkurang, tetapi pengalaman empirik mengatakan sebaliknya. Inilah salah satu tantangan terbesar bangsa ini dan sekaligus tantangan terberat bagi Muhammadiyah. Dengan wawasan kita yang telah berusia satu abad, apakah belum sangat mendesak bagi Persyarikatan untuk berfikir keras menolong bangsa ini agar ke luar dari anomali moral dan pasungan kemiskinan yang dapat membuat orang menjadi mata gelap dan putus asa?

*Tulisan ini diterbitkan di Majalah Suara Muhammadiyah No. 10/TH ke 96. 16-31 Mei 2011.

0 komentar: