Jumat, 29 Januari 2016


Oleh: Mustofa W. Hasyim

Masjid, Musholla, atau surau Muhammadiyah yang dengan susah payah didirikan oleh generasi dulu sebaiknya jangan dibiarkan sepi dari pengajian. Ruang, lampu, tikar, karpet, meja, mikrofon, pengeras suara, kitab suci, buku agama, kitab-kitab lain yang ada di masjid jangan dibiarkan tergeletak tanpa disentuh dan ‘dihidupkan’ oleh takmir dan jamaah masjid. Jangan biarkan masjid, musholla atau surau mirip stasiun di pelosok desa yang hanya sekali-kali didatangi orang, lalu mereka pergi, tempat itu pun hanya dihuni oleh kekosongan. 

Masjid, musholla, surau Muhammadiyah yang biasanya dengan susah payah dibangun hendaknya dijadikan tempat yang produktif untuk menghasilkan pahala, produktif menghasilkan amal shalih, produktif untuk menghasilkan pergaulan yang positifm peroduktif menghasilkan kegatan dan gerakan yang dapat mengubah masyrakat dan produktif menghasilkan ilmu. Paling tidak, di tempat ibadah ini produktif menghasikan ilmu lewat majelis imu yang menyelenggarakan pengajian-pengajian. 
Tentu saja, kalau aktivis Muhammadiyah menyelenggarakan pengajian maka bukan sembarang pengajian yang akan ditampilkan. Akan tetapi pengajian yang betul-betul dikonsep, dirancang, dan dilaksanakan untuk menjawab kebutuhan jamaahnya. Misalnya, kalau masjid ini berada di tengah kampung atau desa yang kebanyakan warganya adalah orang yang masih memerlukan bimbingan yang mendasar atau yang elementer dalam bergama, maka pengajian bernuansa bimbingan itu yang diadakan.

Berdasar enelusuran SM di berbagai daerah, banyak sekali warga yang selama ini sesungguhnya membutuhkan sentuhan dakwah, juga sentuhan bimbingan agama. Di daerah yang dulu dikenal sebagai basis Muhammadiyah saja ternyata ada warga yang belum bisa mengaji, belum bisa shalat, belum bisa berdoa menurut ajaran Islam dan belum tahu apa-apa tentang bagaimana menjalani hidup berdasar tuntunan Islam. Para orang tua atau mereka yang telah dewasa itu ketika diajak mengaji lewat TPA, mereka bersemangat sekali, bahkan ketika lulus mereka mau diwisuda. Juga ada yang mau diajak mengaji dengan menggunakan kitab Qoidah Baghdadiyah, yang dilantunkan ramai-ramai, dan ketika sudah bisa mengaji mereka pun bangga menjadi orang Islam. Ada juga para perempuan miskin yang ingin shalat tetapi tidak mampu membeli mukena, apalagi mukena bordiran yang amat mahal. Mereka mau shalat berjamaah dengan menggunakan kain seadanya. Demikian juga anak-anaknya. 

Setelah lenyap dan musnahnya pengajian anak-anak gratisan setiap habis maghrib di masjid-masjid, musholla, dan surau bermunculan TPA-TPA. Karena untuk masuk TPA harus membayar, bahkan ada yang sangat mahal, maka banyak anak warga yang tidak mampu kemudian tidak mengaji. Mereka menjadi buta huruf Al-Quran. Ini perlu disantuni.

Pengajian yang menggarap kebutuhan warga yang berada pada posisi ‘mualaf’ yang nyaris permanen perlu digalakkan, manakala kebanyakan warga di seputar masjid, musholla atau surau memang termasuk warga yang kesadaran dan keilmuan agama Islamnya masih lemah seperti itu. Mereka harus dikuatkan kesadaran dan keilmuan agama Islamnya terlebih dahulu. Sebab inilah yang mereka butuhkan, dan mendesak untuk dilayani. 

Ada warga masyarakat yang potensial menjadi jamaah masjid, musholla, dan surau Muhammadiyah yang membutuhkan bimbingan praktis dalam beribadah. Mereka perlu dilayani oleh takmir. Ada pengajian khusus yang ditujukan kepada mereka. 

Selain itu, tentu saja diperlukan pengajian umum. Semua warga diminta untuk hadir. Maksudnya adalah, mereka diajak untuk bersama-sama menyegarkan jiwa. Pengajian diisi dengan hal-hal yang menggemberikan, menyenangkan, kisah sukses dan semacam itu. Pengajian umum yang disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami, dilengkapi dengan berbagai kisah pengalaman ruhani para sahabat Nabi, dan pengalaman para ulama atau para tokoh Islam ini dapat dijadikan sumber inspirasi, dan sumber rujukan pendengarnya. Biasanya para ibu dan bapak yang sebelum pengajian merasa hidupnya sangat berat dan pikirannya terasa sempit, setelah mendengar pengajian, pulang dengan wajah berseri-seri, penuh harapan memandang hidup. Mereka masuk rumah masing-masing membawa kegembiraan dan semangat hidup yang meluap-luap sehingga seluruh anggota keluarga pun menjadi terpengaruh, ikut merasa beban hidupnya terkurangi. Pak AR dikenal sebagai mubaligh Muhammadiyah yang mampu berbuat demikian. 

KEbutuhan pembaca yang lain juga perlu digali dan diteliti, kemudian dirumuskan untuk dijadikan panduan dalam menyusun kegiatan dan materi pengajian berikutnya. Kombinasi antara pengajian umum dan pengajian khusus dapat membuat jamaah tidak bosan untuk selalu datang ke masjid, musholla, dan suaru manakala takmir memanggil mereka untuk mengikuti pengajian. 

*Tulisan ini diterbitkan di Majalah Suara Muhammadiyah No. 10/TH ke 96. 16-31 Mei 2011.


Next
This is the most recent post.
Posting Lama

0 komentar: