Kamis, 13 Agustus 2015




Mengulang kejadian lima tahun yang lalu, hasil voting calon anggota Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah 2015-2020 pada sidang Tanwir pra-Muktamar ke-47 di Makassar kembali menghasilkan 39 nama tanpa satu pun perempuan. Sudah barang tentu, 13 nama anggota PP Muhammadiyah yang akan dipilih dalam forum Muktamar nantinya kesemuanya laki-laki. Lima tahun yang lalu, jelang Muktamar ke-46 di Yogyakarta, hasil serupa memunculkan nota keberatan yang dilayangkan oleh entitas perempuan Muhammadiyah (khususnya Aisyiyah) kepada PP Muhammadiyah dan panitia pemilihan. Kali ini, Norma Sari selaku Ketua Umum PP Nasyiatul Aisyiyah (NA) merilis pernyataan yang menyayangkan tidak adanya perempuan dalam nama-nama terpilih karena menurutnya semua bidang garap dakwah Muhammadiyah memerlukan perspektif perempuan.

Lebih lanjut, Mbak Norma sebagaimana dikutip liputan6.com (2/8/2015) mengungkapkan, “Gerakan ini juga berkomitmen untuk mengembangkan relasi sosial yang berkeadilan tanpa diskriminasi, memuliakan martabat manusia laki-laki dan perempuan. … Muhammadiyah selama ini juga mendorong dan men-support penuh perempuan untuk berkiprah lebih luas mengisi posisi jabatan publik. … Harapan masuknya unsur perempuan dalam kepemimpinan inti di Muhammadiyah sama sekali tidak mengerdilkan arti dari kiprah gerakan sayap perempuan Aisyiyah dan NA.” Sementara itu, merespon hal yang sama lima tahun yang lalu, Trias Setyawati, Sekretaris PP Aisyiyah, dalam republika.co.id (5/7/2010) menyatakan, “Perempuan adalah termasuk dalam anggota Muhammadiyah, sehingga seharusnya ada keterwakilan perempuan oleh perempuan dalam kepemimpinan persyarikatan itu.” Ibu Trias juga meminta agar PP Muhammadiyah mempertimbangkan strategi affirmative action guna memastikan keterwakilan perempuan.

Tanggapan terhadap protes atau kekecewaan di atas menurut amatan saya terdapat tiga jenis. Pertama, tidak ada perempuan karena memang tidak terpilih. Hal ini seperti diungkapkan Prof. Yunahar Ilyas, Ketua PP Muhammadiyah, pada Muktamar ke-46 (detik.com, 4/7/2010). Pandangan ini didasari adanya nama-nama perempuan yang masuk daftar bakal calon PP Muhammadiyah, tetapi tidak masuk 39 besar dalam forum Tanwir. Kedua, sudah ada Aisyiyah dan NA. Pandangan ini sebagaimana diutarakan Prof. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015, “Kalau yang terpilih di Tanwir Muhammadiyah itu semua laki-laki maka wadahnya perempuan Muhammadiyah di Tanwir Aisyiyah” (sp.beritasatu.com, 2/8/2015). Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyatakan pendapat yang sama, hanya saja ditambahkan bahwa sesuai aturan jika tidak ada perempuan yang terpilih dalam jajaran PP, Ketua Umum PP Aisyiyah otomatis menjadi ex-officio PP Muhammadiyah (detik.com, 2/8/2015). Ketiga, pandangan sebagian warga atau simpatisan Muhammadiyah yang meyakini bahwa kodrat perempuan bukanlah menjadi pemimpin, apalagi membawahi laki-laki. Pendapat demikian dapat dijumpai dalam komentar-komentar pada berita tentang protes atau kekecewaan perempuan Muhammadiyah, baik di news portal maupun di media sosial. Sebagian bahkan menunjukkan sikap antipati pada ide kesetaraan gender karena dianggap produk barat.

Kekecewaan perempuan Muhammadiyah dan tanggapan pimpinan Muhammadiyah di atas melahirkan beberapa pertanyaan: apakah tidak masuknya perempuan dalam PP Muhammadiyah dan tidak adanya langkah afirmatif yang signifikan menggambarkan ideologi gender elit Muhammadiyah (peserta Tanwir) yang cenderung misoginis? Ataukah karena adanya anggapan bahwa secara organisasional telah ada wadah khusus yaitu Aisyiyah dan NA sehingga Muhammadiyah untuk laki-laki saja?


Ideologi Gender Muhammadiyah

Jika kita tilik sejarah pembentukan perkumpulan Sapa Tresna pada 1914 dan menjadi Aisyiyah pada 1917, juga bagaimana aktivisme Nyai Walidah, kita dapati bahwa sejak awal berdirinya Muhammadiyah sudah mengaplikasikan ideologi gender yang berkemajuan, tentu saja jika dibandingnkan dengan ideologi gender pada masanya. Lebih-lebih jika kita lihat bagaimana partisipasi aktif Aisyiyah dalam penyelenggaraan Kongres Perempoean Indonesia yang pertama tahun 1928 di Yogyakarta. Akademisi dan aktivis perempuan Neng Dara Affiah menyebutkan bahwa Kiai Dahlan telah membawa perempuan pada peran yang luas di wilayah kultural dan sosial agar terbebas dari pengucilan dan subordinasi.

Dalam perkembangannya, kita dapat mengkaji pandangan Muhammadiyah terhadap perempuan dan relasi gendernya dengan laki-laki dalam dokumen-dokumen yang menjadi landasan normatif Muhammadiyah.  Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam makalahnya yang berjudul Rezim Gender dan Implikasinya terhadap Perempuan di Muhamamdiyah (2015) menengarai dinamika ideologi gender Muhammadiyah dari tiga dokumen. Pertama, Toentoenan Mentjapai Isteri Islam Jang Berarti (1930-an) yang menurut Dzuhayatin bernuansa konservatif dan tidak menggambarkan semangat pembaharuan Muhammadiyah-Aisyiyah. Kedua, Adabul Mar’ah fil Islam (1975) yang membolehkan perempuan mengisi peran-peran publik seperti hakim, lurah, camat, bupati, walikota, maupun direktur. Sedangkan untuk menjadi presiden masih ditangguhkan (mauquf) karena masih terjadi perbedaan pendapat. Ketiga, buku Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah (1989) yang oleh banyak kalangan disebut sebagai kemunduran karena cenderung mendomestifikasi perempuan dan oleh Dzuhayatin dikatakan imbas hegemoni rezim gender Orde Baru.

Selanjutnya, Dzuhayatin berdasarkan observasi partisipatorisnya, mencatat Munas Tarjih ke-27 di Malang jelang Muktamar seabad Muhammadiyah (2010) sebagai manifestasi keinginan untuk mendukung peran perempuan yang lebih substantif dan setara. Dalam Munas Tarjih tersebut akhirnya disepakati bahwa perempuan boleh menjadi presiden, bahkan dalam kondisi tertentu (bukan kondisi umum) boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki dewasa. Terkait poligami, meskipun tidak melarangnya tetapi Muhammadiyah mengikuti norma keluarga monogami yang dipandang lebih mampu mewujudkan keluarga sakinah.

Dalam konteks perempuan menjadi pimpinan Muhammadiyah, hal tersebut telah ditegaskan dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) Muhammadiyah pasal 10 ayat 2 yang berbunyi “Anggota Pimpinan Pusat dapat terdiri dari laki-laki dan perempuan.” Demikian pula anggota Pimpinan Wilayah hingga Pimpinan Ranting (pasal 11-14). Singkatnya, Muhammadiyah secara ideologis tidak lagi mempermasalahkan kepemimpinan perempuan, baik di internal maupun di ranah yang lebih luas.

Pada ranah praksis, kita saksikan peran Aisyiyah dan NA yang makin meluas, baik di bidang keagamaan, sosial, pendidikan, kesehatan, hingga politik. Di organisasi otonom (ortom) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang anggotanya laki-laki dan perempuan, sudah hal biasa perempuan masuk jajaran pimpinan atau malah menjadi ketua umum. Pun demikian di amal usaha, seperti Prof. Masyitoh Chusnan yang pernah menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).

Dalam disertasinya yang berjudul Rezim Gender Muhammadiyah: Kontestasi Gender, Identitas dan Eksistensi (2012), Dzuhayatin menyimpulkan bahwa pada abad kedua Muhammadiyah mengalami pergeseran isu gender yang mendekati ideologi kemitrasetaraan (equal partnership) yang terjadi pada ranah teologis dan ranah praksis secara bersamaan. Walaupun tentu saja tidak semua warga Muhammadiyah menyepakati kepemimpinan perempuan, apalagi dengan gencarnya pengaruh paham keagamaan yang cenderung skriptural belakangan ini.



Muhammadiyah: Bapak-bapak Tanpa Kamar

Dari pembahasan di atas, pertanyaannya adalah: jika ideologi gender Muhammadiyah tidak mempermasalahkan kepemimpinan perempuan, mengapa hingga Muktamar ke-47 ini tidak ada perempuan yang terpilih menjadi anggota PP Muhammadiyah selain ex-officio? Jawaban Pak Din di atas barangkali menggambarkan pandangan umum elit Muhammadiyah, yaitu: ada Aisyiyah. Jika kita panjangkan kira-kira berbunyi: ada Aisyiyah kok mau masuk PP Muhammadiyah?

Dalam pernyataan protesnya terhadap hasil pemilihan calon anggota PP Muhammadiyah 2010-2015, Trias Setyawati mengatakan “dalam sebuah rumah yang beranggotakan kaum laki-laki dan perempuan seharusnya kedua belah pihak memiliki hak yang sama untuk bersuara, sehingga perempuan tidak hanya bersuara di kamar sendiri untuk kemudian didengarkan kaumnya sendiri.”

Analogi rumah dan kamar ini memang tepat untuk membaca sistem fraksionalisasi dalam tubuh Muhammadiyah. Ortom-ortom adalah kamar, sehingga ada kamar IPM untuk pelajar, IMM untuk mahasiswa, Pemuda Muhammadiyah (PM) untuk pemuda, NA untuk pemudi, dan Aisyiyah (ortom khusus) untuk perempuan khususnya usia ibu-ibu. Sedangkan Tapak Suci (TS) untuk minat seni bela diri dan Hizbul Wathan (HW) untuk minat kepanduan. Kamar-kamar tersebut berada di dalam rumah bernama Muhammadiyah, sehingga disebut dengan Persyarikatan Muhammadiyah. Pertanyaannya, di mana kamar untuk laki-laki (bapak-bapak)? Tidak ada, sehingga kamarnya adalah rumah itu sendiri.

Dalam fraksionalisasi pemuda dan pemudi semuanya telah clear, NA tentu tidak akan protes jika pimpinan PM semuanya laki-laki, ya karena PM memang khusus untuk pemuda. Sedangkan dalam kasus Muhammadiyah dan Aisyiyah menjadi berbeda karena adanya “bapak” yang tidak terfraksionalisasi, seperti kaum factionless dalam cerita Divergent. Bedanya, factionless tersingkirkan dan menjadi homeless, “bapak” dalam rumah Muhammadiyah justru menguasai rumah selain kamar-kamar yang ada. Di sisi lain, para penghuni kamar beranggapan bahwa mereka juga berhak atas pengaturan rumah itu selain kamar-kamar yang lain. Hal inilah yang saya anggap sebagai kerancuan organisasi.

Dari analogi di atas terlihat bahwa meskipun ideologi gender patriarkhal memang satu per satu ditinggalkan dalam paham keagamaan Muhammadiyah, akan tetapi model keluarga patriarkhal di mana bapak sebagai figur otoritatif dan omnipresent masih berlaku dalam struktur organisasinya. Solusi radikalnya adalah, perbaharui sistem fraksionalisasi persyarikatan. Kuntowijoyo menganggap pengelompokan berdasar usia dan jenis kelamin justru mengabaikan realitas diferensiasi sosial serta membuat Muhammadiyah gagap dalam merespon transformasi sosial.


Penutup

Solusi paling sederhana dan cepat dari persoalan ini adalah affirmative action, sediakan beberapa kursi PP Muhammadiyah khusus untuk perempuan dan angkatan muda. Logika persaingan bebas yang mengakomodasi perempuan sebagai bakal calon tetapi kalau tidak terpilih “ya sudah” adalah tidak tepat dalam masa transisi ideologi gender. Hal itu sama saja dengan logika “pasar tradisional masih ada, tapi kalau masyarakat lebih suka ke toko modern ya sudah, mau gimana lagi.”

Selebihnya, perlu dipertimbangkan untuk memperbaharui fraksionalisasi organisasi untuk mewujudkan struktur organisasi yang berbasis pada equal partnership. Misalnya, Muhammadiyah dan Persyarikatan Muhammadiyah dipisahkan menjadi dua institusi yang berbeda. Muhammadiyah berstatus sama dengan Aisyiyah yang khusus untuk laki-laki, sedangkan Persyarikatan Muhammadiyah menjadi ruang keluarga tempat para peghuni kamar berkumpul dengan keterwakilan yang adil dan proporsional. Atau, mengikuti Kuntowijoyo, perlu kontemplasi dan elaborasi atas pertanyaan: apakah pengelompokan berdasar usia dan jenis kelamin masih relevan?



Inamul Haqqi Hasan. Alumni IMM UGM.

0 komentar: