Mengulang kejadian lima tahun
yang lalu, hasil voting calon anggota Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah
2015-2020 pada sidang Tanwir pra-Muktamar ke-47 di Makassar kembali
menghasilkan 39 nama tanpa satu pun perempuan. Sudah barang tentu, 13 nama
anggota PP Muhammadiyah yang akan dipilih dalam forum Muktamar nantinya
kesemuanya laki-laki. Lima tahun yang lalu, jelang Muktamar ke-46 di
Yogyakarta, hasil serupa memunculkan nota keberatan yang dilayangkan oleh
entitas perempuan Muhammadiyah (khususnya Aisyiyah) kepada PP Muhammadiyah dan
panitia pemilihan. Kali ini, Norma Sari selaku Ketua Umum PP Nasyiatul Aisyiyah
(NA) merilis pernyataan yang menyayangkan tidak adanya perempuan dalam
nama-nama terpilih karena menurutnya semua bidang garap dakwah Muhammadiyah
memerlukan perspektif perempuan.
Lebih lanjut, Mbak Norma
sebagaimana dikutip liputan6.com (2/8/2015) mengungkapkan, “Gerakan ini juga
berkomitmen untuk mengembangkan relasi sosial yang berkeadilan tanpa
diskriminasi, memuliakan martabat manusia laki-laki dan perempuan. …
Muhammadiyah selama ini juga mendorong dan men-support penuh perempuan untuk berkiprah lebih luas mengisi posisi
jabatan publik. … Harapan masuknya unsur perempuan dalam kepemimpinan inti di
Muhammadiyah sama sekali tidak mengerdilkan arti dari kiprah gerakan sayap
perempuan Aisyiyah dan NA.” Sementara itu, merespon hal yang sama lima tahun
yang lalu, Trias Setyawati, Sekretaris PP Aisyiyah, dalam republika.co.id (5/7/2010)
menyatakan, “Perempuan adalah termasuk dalam anggota Muhammadiyah, sehingga
seharusnya ada keterwakilan perempuan oleh perempuan dalam kepemimpinan
persyarikatan itu.” Ibu Trias juga meminta agar PP Muhammadiyah
mempertimbangkan strategi affirmative
action guna memastikan keterwakilan perempuan.
Tanggapan terhadap protes atau
kekecewaan di atas menurut amatan saya terdapat tiga jenis. Pertama, tidak ada perempuan karena
memang tidak terpilih. Hal ini seperti diungkapkan Prof. Yunahar Ilyas, Ketua
PP Muhammadiyah, pada Muktamar ke-46 (detik.com, 4/7/2010). Pandangan ini
didasari adanya nama-nama perempuan yang masuk daftar bakal calon PP
Muhammadiyah, tetapi tidak masuk 39 besar dalam forum Tanwir. Kedua, sudah ada Aisyiyah dan NA.
Pandangan ini sebagaimana diutarakan Prof. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP
Muhammadiyah 2005-2015, “Kalau yang terpilih di Tanwir Muhammadiyah itu semua
laki-laki maka wadahnya perempuan Muhammadiyah di Tanwir Aisyiyah” (sp.beritasatu.com,
2/8/2015). Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyatakan pendapat yang
sama, hanya saja ditambahkan bahwa sesuai aturan jika tidak ada perempuan yang
terpilih dalam jajaran PP, Ketua Umum PP Aisyiyah otomatis menjadi ex-officio PP Muhammadiyah (detik.com,
2/8/2015). Ketiga, pandangan sebagian
warga atau simpatisan Muhammadiyah yang meyakini bahwa kodrat perempuan
bukanlah menjadi pemimpin, apalagi membawahi laki-laki. Pendapat demikian dapat
dijumpai dalam komentar-komentar pada berita tentang protes atau kekecewaan perempuan
Muhammadiyah, baik di news portal
maupun di media sosial. Sebagian bahkan menunjukkan sikap antipati pada ide
kesetaraan gender karena dianggap produk barat.
Kekecewaan perempuan
Muhammadiyah dan tanggapan pimpinan Muhammadiyah di atas melahirkan beberapa
pertanyaan: apakah tidak masuknya perempuan dalam PP Muhammadiyah dan tidak
adanya langkah afirmatif yang signifikan menggambarkan ideologi gender elit
Muhammadiyah (peserta Tanwir) yang cenderung misoginis? Ataukah karena adanya
anggapan bahwa secara organisasional telah ada wadah khusus yaitu Aisyiyah dan NA
sehingga Muhammadiyah untuk laki-laki saja?
Ideologi
Gender Muhammadiyah
Jika kita tilik sejarah pembentukan
perkumpulan Sapa Tresna pada 1914 dan menjadi Aisyiyah pada 1917, juga
bagaimana aktivisme Nyai Walidah, kita dapati bahwa sejak awal berdirinya
Muhammadiyah sudah mengaplikasikan ideologi gender yang berkemajuan, tentu saja
jika dibandingnkan dengan ideologi gender pada masanya. Lebih-lebih jika kita lihat
bagaimana partisipasi aktif Aisyiyah dalam penyelenggaraan Kongres Perempoean
Indonesia yang pertama tahun 1928 di Yogyakarta. Akademisi dan aktivis
perempuan Neng Dara Affiah menyebutkan bahwa Kiai Dahlan telah membawa
perempuan pada peran yang luas di wilayah kultural dan sosial agar terbebas
dari pengucilan dan subordinasi.
Dalam perkembangannya, kita
dapat mengkaji pandangan Muhammadiyah terhadap perempuan dan relasi gendernya
dengan laki-laki dalam dokumen-dokumen yang menjadi landasan normatif
Muhammadiyah. Siti Ruhaini Dzuhayatin
dalam makalahnya yang berjudul Rezim
Gender dan Implikasinya terhadap Perempuan di Muhamamdiyah (2015) menengarai
dinamika ideologi gender Muhammadiyah dari tiga dokumen. Pertama, Toentoenan Mentjapai
Isteri Islam Jang Berarti (1930-an) yang menurut Dzuhayatin bernuansa
konservatif dan tidak menggambarkan semangat pembaharuan Muhammadiyah-Aisyiyah.
Kedua, Adabul Mar’ah fil Islam (1975) yang membolehkan perempuan mengisi
peran-peran publik seperti hakim, lurah, camat, bupati, walikota, maupun
direktur. Sedangkan untuk menjadi presiden masih ditangguhkan (mauquf) karena masih terjadi perbedaan
pendapat. Ketiga, buku Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah (1989)
yang oleh banyak kalangan disebut sebagai kemunduran karena cenderung
mendomestifikasi perempuan dan oleh Dzuhayatin dikatakan imbas hegemoni rezim
gender Orde Baru.
Selanjutnya, Dzuhayatin berdasarkan
observasi partisipatorisnya, mencatat Munas Tarjih ke-27 di Malang jelang
Muktamar seabad Muhammadiyah (2010) sebagai manifestasi keinginan untuk mendukung
peran perempuan yang lebih substantif dan setara. Dalam Munas Tarjih tersebut
akhirnya disepakati bahwa perempuan boleh menjadi presiden, bahkan dalam
kondisi tertentu (bukan kondisi umum) boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki
dewasa. Terkait poligami, meskipun tidak melarangnya tetapi Muhammadiyah
mengikuti norma keluarga monogami yang dipandang lebih mampu mewujudkan
keluarga sakinah.
Dalam konteks perempuan menjadi
pimpinan Muhammadiyah, hal tersebut telah ditegaskan dalam Anggaran Rumah
Tangga (ART) Muhammadiyah pasal 10 ayat 2 yang berbunyi “Anggota Pimpinan Pusat
dapat terdiri dari laki-laki dan perempuan.” Demikian pula anggota Pimpinan Wilayah
hingga Pimpinan Ranting (pasal 11-14). Singkatnya, Muhammadiyah secara ideologis
tidak lagi mempermasalahkan kepemimpinan perempuan, baik di internal maupun di
ranah yang lebih luas.
Pada ranah praksis, kita
saksikan peran Aisyiyah dan NA yang makin meluas, baik di bidang keagamaan,
sosial, pendidikan, kesehatan, hingga politik. Di organisasi otonom (ortom) Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang
anggotanya laki-laki dan perempuan, sudah hal biasa perempuan masuk jajaran
pimpinan atau malah menjadi ketua umum. Pun demikian di amal usaha, seperti
Prof. Masyitoh Chusnan yang pernah menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah
Jakarta (UMJ).
Dalam disertasinya yang
berjudul Rezim Gender Muhammadiyah:
Kontestasi Gender, Identitas dan Eksistensi (2012), Dzuhayatin menyimpulkan
bahwa pada abad kedua Muhammadiyah mengalami pergeseran isu gender yang
mendekati ideologi kemitra‐setaraan
(equal partnership) yang terjadi pada
ranah teologis dan ranah praksis secara bersamaan. Walaupun tentu saja tidak
semua warga Muhammadiyah menyepakati kepemimpinan perempuan, apalagi dengan gencarnya
pengaruh paham keagamaan yang cenderung skriptural belakangan ini.
Muhammadiyah:
Bapak-bapak Tanpa Kamar
Dari pembahasan di atas, pertanyaannya adalah: jika
ideologi gender Muhammadiyah tidak mempermasalahkan kepemimpinan perempuan,
mengapa hingga Muktamar ke-47 ini tidak ada perempuan yang terpilih menjadi
anggota PP Muhammadiyah selain ex-officio?
Jawaban Pak Din di atas barangkali menggambarkan pandangan umum elit
Muhammadiyah, yaitu: ada Aisyiyah. Jika kita panjangkan kira-kira berbunyi: ada
Aisyiyah kok mau masuk PP Muhammadiyah?
Dalam pernyataan protesnya terhadap hasil pemilihan calon
anggota PP Muhammadiyah 2010-2015, Trias Setyawati mengatakan “dalam sebuah
rumah yang beranggotakan kaum laki-laki dan perempuan seharusnya kedua belah
pihak memiliki hak yang sama untuk bersuara, sehingga perempuan tidak hanya
bersuara di kamar sendiri untuk kemudian didengarkan kaumnya sendiri.”
Analogi rumah dan kamar ini memang tepat untuk membaca
sistem fraksionalisasi dalam tubuh Muhammadiyah. Ortom-ortom adalah kamar,
sehingga ada kamar IPM untuk pelajar, IMM untuk mahasiswa, Pemuda Muhammadiyah
(PM) untuk pemuda, NA untuk pemudi, dan Aisyiyah (ortom khusus) untuk perempuan
khususnya usia ibu-ibu. Sedangkan Tapak Suci (TS) untuk minat seni bela diri
dan Hizbul Wathan (HW) untuk minat kepanduan. Kamar-kamar tersebut berada di
dalam rumah bernama Muhammadiyah, sehingga disebut dengan Persyarikatan
Muhammadiyah. Pertanyaannya, di mana kamar untuk laki-laki (bapak-bapak)? Tidak
ada, sehingga kamarnya adalah rumah itu sendiri.
Dalam fraksionalisasi pemuda dan pemudi semuanya telah clear, NA tentu tidak akan protes jika pimpinan
PM semuanya laki-laki, ya karena PM memang khusus untuk pemuda. Sedangkan dalam
kasus Muhammadiyah dan Aisyiyah menjadi berbeda karena adanya “bapak” yang
tidak terfraksionalisasi, seperti kaum factionless
dalam cerita Divergent. Bedanya, factionless tersingkirkan dan menjadi homeless, “bapak” dalam rumah
Muhammadiyah justru menguasai rumah selain kamar-kamar yang ada. Di sisi lain,
para penghuni kamar beranggapan bahwa mereka juga berhak atas pengaturan rumah
itu selain kamar-kamar yang lain. Hal inilah yang saya anggap sebagai kerancuan
organisasi.
Dari analogi di atas terlihat bahwa meskipun ideologi
gender patriarkhal memang satu per satu ditinggalkan dalam paham keagamaan
Muhammadiyah, akan tetapi model keluarga patriarkhal di mana bapak sebagai
figur otoritatif dan omnipresent masih
berlaku dalam struktur organisasinya. Solusi radikalnya adalah, perbaharui
sistem fraksionalisasi persyarikatan. Kuntowijoyo menganggap pengelompokan
berdasar usia dan jenis kelamin justru mengabaikan realitas diferensiasi sosial
serta membuat Muhammadiyah gagap dalam merespon transformasi sosial.
Penutup
Solusi paling sederhana dan cepat dari persoalan ini
adalah affirmative action, sediakan
beberapa kursi PP Muhammadiyah khusus untuk perempuan dan angkatan muda. Logika
persaingan bebas yang mengakomodasi perempuan sebagai bakal calon tetapi kalau
tidak terpilih “ya sudah” adalah tidak tepat dalam masa transisi ideologi
gender. Hal itu sama saja dengan logika “pasar tradisional masih ada, tapi kalau
masyarakat lebih suka ke toko modern ya sudah, mau gimana lagi.”
Selebihnya, perlu dipertimbangkan untuk memperbaharui
fraksionalisasi organisasi untuk mewujudkan struktur organisasi yang berbasis
pada equal partnership. Misalnya,
Muhammadiyah dan Persyarikatan Muhammadiyah dipisahkan menjadi dua institusi
yang berbeda. Muhammadiyah berstatus sama dengan Aisyiyah yang khusus untuk
laki-laki, sedangkan Persyarikatan Muhammadiyah menjadi ruang keluarga tempat
para peghuni kamar berkumpul dengan keterwakilan yang adil dan proporsional.
Atau, mengikuti Kuntowijoyo, perlu kontemplasi dan elaborasi atas pertanyaan:
apakah pengelompokan berdasar usia dan jenis kelamin masih relevan?
Inamul Haqqi Hasan. Alumni IMM UGM.
0 komentar:
Posting Komentar